Cingkariak
Rabu, 04 Februari 2015
Sabtu, 17 Januari 2015
Pemilihan Umum (Pemilu)
PEMBAHASAN
SEJARAH DEMOKRASI
A.
Latar Belakang Sejarah
Demokrasi (Pemilu)
1.
Sejarah Demokrasi
Eropa
Berbicara mengenai
demokrasi, tentu merupakan sebuah pembicaraan klasik yang sudah terjadi ketika
kalender masehi belum ditetapkan. Pada abad ke-6 SM, ketika zaman Yunani kuno
ide mengenai demokrasi sudah terpikirkan oleh ilmuan masa itu saat terjadi perkembangan
pesat mengenai pemikiran tentang hukum dan negara. Ditandai dengan adanya
penerapan sebuah konsep demokrasi klasik, berupa pemilihan secara langsung oleh
rakyat (demokrasi langsung/ direct
democracy). Sehingga rakyat diberikana hak secara langsung untuk terlibat
dalam pembuatan keputusan politik.[1]
Pengertian mengenai
demokrasi dapat dilihat dari tinjauan bahasa (etimologis) dan istilah
(terminologis). Secara etimologis “demokrasi” terdiri dari dua kata yang
berasal dari bahasa Yunani yakni “demos” berarti rakyat dan cratein atau cratos
berarti kekuasaan atau kedaulatan. Jadi secara istilah demokrasi dapat
diartikan keadaan Negara dimana sistem pemerintahannya kedaulatan berada
ditangan rakyat, kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan bersama rakyat,
rakyat berkuasa, pemerintahan rakyat dan kekuasaan oleh rakyat.[2]
Menurut pendapat
Herodotus (5 SM)-seorang filosof Yunani sebagaimana dikutip oleh Lorenz Bagus
dalam bukunya, pada awalanya demokrasi merupakan sebuah kerangka pandangan
filosofis yang kemudian berkembang menjadi sebuah sistem politik.[3]
Pendapat ini sejak awal telah mendapat kritik dari berbagai filosof lain yang
berpandangan bahwa rakyat biasa tidak mungkin mampu memerintah karena mereka
memiliki keterbatasan pada kemampuan untuk mengetahui hal yang jauh ke depan.[4]
Namun dalam era Yunani kuno menggunakan konsep demokrasi langsung masih
dimungkinkan sebab kondisi geografis yang masih berupa City State (Negara Kota)
dengan sedikti jumlah penduduk. Selain itu permasalahan yang dihadapi negara
masih belum terlalu kompleks. Tercatat bahwa negara kota tersebut hanya
memiliki jumlah penduduk 300.000 orang dan masih ada klasifikasi tentang siapa
saja yang mendapatkan hak demokrasi. Hak tersebut rupanya hanya dimiliki oleh
warga negara resmi, sedangkan warga negara dengan status budak belian, pedagang
asing, perempuan dan anak-anak tidak mendapatkan hak demokrasi.[5]
Gagasan mengenai
demokrasi kemudian mengalami masa surut ketika memasuki abad pertengahan.
Intervensi gereja dengan slogam “wakil tuhan“ di bumi dan keadaan
sosial-masyarakat dengan ciri feodalisme menjadi faktor penghambat
berkembangnya demokrasi. Struktur keagamaan dikuasi oleh Paus dan struktur
politik dikuasi oleh kaum bangsawan. Pada jaman abad pertengahan ini tidak
banyak memberikan kesempatan terhadap perkembangan pemikiran tentang negara dan
hukum, serta ilmu pengetahuan lainya, karena cara pikir orang pada abad
pertengahan kurang kritis. Segala hal di dunia ini selalu dikembalikan kepada
asalnya yakni Tuhan. Terjadinya sesuatu di dunia ini karena sudah dikehendaki
Tuhan. Dengan demikian lenyaplah alasan yang kuat bagi orang untuk mengadakan
pemikiran tentang negara dan hukum.[6]
Di akhir abad
pertengahan tumbuh keinginan untuk
menghidupakn kembali demokrasi. Dengan muncul Magna Charta (Piagam Besar)
sebuah piagam perjanjian kaum bangsawan dan raja John di Inggris menandai
kemunculan demokrasi empirik. Dalam Magna Charta ditegaskan bahwa Raja mengakui dan menjamin
beberapa hak dan hak khusus (preveleges) bawahannya. Selain itu piagam tersebut
juga menganut dua prinsip yang sangat mendasar: pertama, adanya pembatasan
kekuasaan raja; kedua, hak asasi manusia lebih penting dari kedaulatan raja.[7]
Faktor lain yang
mempengaruhi kelahiran kembali demokrasi di Eropa adalah rennaisance dimana
hasrat akan ilmu pengethaun kembali muncul. Sekaligus menandai bergesernya alur
pemikiran dari takhayul menuju pemikrian kritis dan rasional. Gerakan
renaissance berusaha menghidupkan kembali minat pada sastra dan budaya Yunani
Kuno. Hal tersebut terjadi karena persinggungan dan interaksi antara Barat dan
Islam. Sebab perlu di ketahui bahwa Islam pada masa itu tengah mengalami masa
kemajuan berkat upaya penerjemahan karya-karya Yunani kuno oleh ilmuan muslim,
hingga lahirlah pemikir Islam diantaranya Ibnu khaldun, Ar-Razi, Al-Khawarizmi
dll. Selain itu, pemberontakan yang di
motori Marthin Luther juga menjadi sebab selanjutnya kelahiran kembali
demokrasi. Pemberontakan tersebut ditujukan terhadap dominasi gereja yang telah
mengungkung kebebasan berfikir dan bertindak, dengan tujuan memperbaiki keadaan
dalam gereja katolik. Hasilnya adalah munculnya peninjauan terhadap gereja
katolik yang berkembang menjadi protestanisme.[8]
Penentangan terhadap
gereja merupakan sebuah gerakan didasari oleh teori rasionalitas sebagai social-contrac dengan salah satu asasnya
adalah bahwa dunia ini dikuasai oleh hukum dengan prinsip hukum alam. Sehingga
memuat prinsip keadilan universal, berlaku untuk semua orang (raja, bangsawan,
rakyat). Sehinggaa memiliki implikasi pada hubungan antara raja dan rakyat
diselenggarakan melalui sebuah perjanjian yang mengikat kedua-belah pihak.
Tokoh yang juga berperan dalam menggalakkan kembali demokras di Eropa adalah
John Lock (Inggris) dengan gagasannya bahwa hak politik rakyat mencakup hak
hidup, kebebasan dan hak milik. Kemudian Montesquieu (Perancis) merupakan tokoh
lain yang juga memunculkan gagasan Trias
Politica.[9]
Pada masa itu di Eropa
isu HAM dan hak individu merupakan grand tema dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sehingga dibuatlah konstitusi yang baik dengan bentuk tertulis maupun tidak tertulis. Konstitusi
tersebut berperan sebagai pembatas kewenangan pemerintah dan jaminan hak
politik rakyat. Negara yang menganut hal tersebut bisa dinamakan Negara
demokrasi konstitusioal dengan ciri pemerintahan yang pasif, karena pemerintah
hanya sebagai wasit (penjaga malam). Sistem tersebut pada abad-19 biasa disebut
Negara Hukum Formal (klasik). Tetapi setelah pertengahan abad ke-20 keadaan itu
banyak mendapat tentangan, tepatnya setelah World
War II. Kesangsian tersebut membuat suatu pergeseran pada gagasan baru bahwa Negara yang awalnya hanya
penjaga malam dan dilarang ikut campur dalam urusan warga negara (social maupun
ekonomi), kini dituntut untuk bertanggungjawab atas kesejahteraan rakyat.
Pemerintah dilarang bersifat pasif dan harus aktif untuk menyelenggarakan
kesejahteraan rakyat dengan turut melakukan pengaturan dalam bidang social dan
ekonomi. Demokrasi pada masa ini harus mencakup pada aspek ekonomi dengan
sistem yang dapat menguasai kekuatan ekonomi dan berusahan memeprkecil
perbedaan social dan ekonomi terutama harus mampu mengatasi ketidakmerataan
distribsi kekayaa di kalangan masyarakat. Gagasan baru ini dinamakan Welfare State.[10]
2.
Sejarah Demokrasi
Indonesia
Demokrasi
Parlementer
Setelah Indonesia
merdeka pada 17 Agustus 1945 praktis ini mengawali kebangkitan kembali
kemandirian bangsa dalam hidup bernegara. Munculnya demokrasi ditandai dengan
keluarnya maklumat No. X pada 3 November 1945 ditandatangani oleh Mohammad
Hatta. Maklumat tersebut berisi tentang pentingnya pembentukan/ didirkan partai
politik sebagai bagian dari demokrasi, sekaligus rencana pemrintah
menyelenggarakan pemilu pada Januari 1946. Dengan lahirnya maklumat tersebut
tentu memberikan legitimasi terhadap partai olitik yang telah lahir sebelumnya
sekaligus mendorong munculnya partai politik baru. Sehingga pada tahun 1953
Kabinet Wilopo berhasil menyelesaikan regulasi pemilu dengan ditetapkannya UU
No. 7 Tahun 1953.[11]
Era tersebut menandai
era demokrasi liberal atau dapat juga disebut demokrasi parlementer, dimana
lembaga yang memegang kekuasaan menentukan terbentuknya dewan (cabinet) berada
ditangan parlemen atau DPR. Demokrasi liberal memiliki ciri yakni adanya
golongan mayoritas/minoritas, dan penggunaan sistem voting,oposisi, mosi dan
demonstrasi, serta multipartai. Seperti disebutkan diatas bahwa maklumat No. X
pada 3 November 1945 merupakan salah satu landasan munculnya demokrasi liberal,
selain itu konstitusi RIS 1949 (pasak 116 ayat 2), dan konstitusi UUD sementara
tahun 1950 (pasal 83 ayat 2) juga merupakan landasan penyelenggaraan demokrasi
liberal.[12]
Pada tahun 1955
Indonesia menyelenggarakan pemilu untuk pertama kali. Pemilu tersebut bertujuan
memilih anggota DPR (260 kursi) dan Badan Konstituante (520 kursi+14 wakil
golongan minoritas). Dengan demikian pemilu tersebut dibagi menjadi dua tahab,
Tahap pertama adalah Pemilu untuk memilih anggota DPR. Tahap ini diselenggarakan
pada tanggal 29 September 1955, dan diikuti oleh 29 partai politik dan
individu. Tahap kedua adalah Pemilu untuk memilih anggota Konstituante, tahap
ini diselenggarakan pada tanggal 15 Desember 1955.[13]
Lima besar dalam Pemilu
ini adalah Partai Nasional Indonesia mendapatkan 57 kursi DPR dan 119 kursi
Konstituante (22,3 persen), Masyumi 57 kursi DPR dan 112 kursi Konstituante
(20,9 persen), Nahdlatul Ulama 45 kursi DPR dan 91 kursi Konstituante (18,4
persen), Partai Komunis Indonesia 39 kursi DPR dan 80 kursi Konstituante (16,4
persen), dan Partai Syarikat Islam Indonesia (2,89 persen). Partaipartai
lainnya, mendapat kursi di bawah 10. Seperti PSII (8), Parkindo (8), Partai
Katolik (6), Partai Sosialis Indonesia (5). Dua partai mendapat 4 kursi (IPKI
dan Perti). Enam partai mendapat 2 kursi (PRN, Partai Buruh, GPPS, PRI, PPPRI,
dan Partai Murba). Sisanya, 12 partai, mendapat 1 kursi (Baperki, PIR
Wongsonegoro, PIR Hazairin, Gerina, Permai, Partai Persatuan Dayak, PPTI, AKUI,
PRD, ACOMA dan R. Soedjono Prawirosoedarso. Oleh beberapa kalangan pemilu ini
diangap sebuah proses demokrasi yang mendekati criteria demokrastis. Alasannya
adalah jumlah parpol tidak dibatasi dan berlangsung dengan langsung umum bebas
rahasia (luber), serta mencerminkan pluralisme dan representativness.[14]
Demokrasi
Terpimpin
Badan konstituante
merupakan badan yang dibentuk untuk merumuskan Dasar Negara. Tetapi pada
pelaksanaanya dipandang tidak efektif karena didalam rapat hanya terjadi
perselisihan dengan tiada ujung. Maka Soekarno dengan langkah cepat
mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Implikasinya adalah membubarkan badan
konstituante, memebrlakukan kembali UUD 1945, sekaligus mengakhiri demokrasi
parlementer menuju demokrasi terpimpin.
Berikut ciri khas dari
Demokrasi Terpimpin adalah :
1.
Dominasi dari
presiden,
2.
Terbatasnya peranan
partai politik,
3.
Berkembagnya
pengaruh komunis, dan
4.
Meluasnya peranan
ABRI (TNI) sebagai unsur sosial politik.
5.
Adanya rasa gotong
royong,
6.
Tidak mencari
kemenangan atas golongan lain,
7.
Selalu mencari sintesa
untuk melaksanakan amanat penderitaan rakyat,
8.
Melarang propaganda
anti nasakom, dan menghendeaki konsultasi sesama aliran progresif revolusioner.
[15]
Demokrasi
Pancasila (Orde Baru)
Demokrasi Pancasila
merupakan sebuah konsep demokrasi yang diusulkan oleh pemerintahan Soeharto,
yakni sebuah demokrasi yang disesuaikan dengan budaya maupun tradisi bangsa
Indonesia. Kebijakan yang timbul pada masa ini adalah adanya penggabungan
partai politik pada tahun 1973. Dari 10 partai dilebut menjadi 3 partai yakni
PPP, PDI dan Golkar. Namun ternyata ada politik demokrasi yang tidak sedap
berjalan disini, sebagaimana diutarakan oleh Wasino,[16]
sejak pertengahan 1980-an, sebuah momen perkembangan yang oleh Huntington
dinamakan “gelombang demokrasi ketiga” Soeharto menjawab dengan kebijakan
“mulur mungkret” liberalisasi politik terbatas, yang oleh para pengkritik
disebut sebagai demokrasi seolah-olah (democracy as if), tetapi sekaligus
mempertahankan instrumen represif terhadap kelompok yang mencoba-coba keluar
dari “aturan main” yang ditentukan rezim. Lebih jauh wasino menuturkan Praktik
demokrasi diktatorship yang diterapkan Soeharto mulai tergerus dan jatuh dalam
krisis bersamaan dengan runtuhnya mitos ekonomi Orde Baru sebagai akibat
terjadinya krisis moneter mulai 1997.
Dalam pelaksanaannya
ternyata tidak sejalan dengan prinsip demokrasi pancasila itu sendiri. Bahwa
demokrasi itu memiliki ciri[17]
sebagai Mengutamakan musyawarah mufakat. mengutamakan kepentingan negara dan
masyarakat, tidak memaksakan kehendak pada orang lain, selalu diliputi semangat
kekeluargaan, adanya rasa tanggung jawab dalam melaksanakan hasil musyawarah,
dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur,
kepurtusan dapat dipertanggung jawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan
nilai-nilai kebenaran dan keadilan, demokrasi Pancasila mulai berlaku sejak
Maret 1966- Mei 1998 dan mulai Mei 1998 sampai sekarang berlaku Demokrasi
Pancasila dalam Reformasi. Pada saat itulah terjadi ambiguitas dalam das sollen dan das
sein. Gelombang perlawanan dari rakyat dan mahasiswa akhirnya menurunkan
Soeharto dari kursi Presdien sekaligus mengakhiri Demokrasi Pancasila Orde
Baru.
Demokrasi
Setelah Reformasi
Setelah Soeharto
lengser maka tonggak kepemimpinan digantikan oleh Habibie, yang sebelumnya
menjadi wakil presiden. Pada masa ini reformasi besar-besaran dalam bidang demokrasi sangat masif terjadi yakni
adanya kebebasan pers, pembebasan para tahanan politik (tapol), kebebasan bagi
pendirian partai-partai politik, kebijakan desentralisasi (otonomi daerah),
amandemen konstitusi antara lain berupa pembatasan masa jabatan presiden
maksimal dua periode, pencabutan beberapa UU politik yang represif dan tidak
demokratis, dan netralitas birokrasi dan militer dari politik praktis. Tetapi demokrasi
procedural yang coba diupayakan presiden Habibie juga masih memiliki noda
hitam, yakni dengan lepasnya Papua Nugini[18]
serta konflik suku dan agama di berbagai wilayah.[19]
Proses demokrasi
Indonesia terus berlanjut hingga pemilu pertama pasca reformasi diselenggarakan
pada tahun 1999. Dalam pemilu tersebut terpilih sebagai pasangan Presiden dan
wakil presiden adalah Abdurrahman Wahid-Megawati. Namun pemerintahan tersebut
tidak bertahan lama karena Presiden dilengserkan oleh MPR. Pada Tahun 2004
diselenggaraka pemilu kedua, dengan memilih anggota DPR/DPRD sekaligus memilih
Presiden secara langsung. Terpilihlah Susilo Bambang Yudoyono sebagai presiden
dan Yusuf Kala sebagai wakil presiden. Berlanjut pada Tahun 2009 kembali
digelar Pemilihan Umum, Pemilihan pertama dilakukan tanggal 9 April 2009 untuk
memilih DPR/DPRD dan DPD[20],
kemudian dilakukan pemilihan presiden secara langsung, dengan hasil
SBY-Boediono sebagai presiden-wakil presiden. Lantas pada tahun 2014
diselenggarakan Pemilu untuk memilih anggota parlemen dan presiden,
menghasilkan Jokowi-Yusuf Kalla sebagai presiden dan wakil presiden.
Asas – asas Pemilihan Umum
A.
Latar Belakang
Demokrasi adalah
pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat dengan perantara
wakil-wakilnya atau pemerintahan rakyat. Salah satu wujud dari demokrasi adalah
pemilihan umum yang dilaksanakan untuk memilih wakil-wakil yang duduk didalam
pemerintahan.Pemilihan
umum dapat diartikan pula dalam sebagai proses pergantian kekuasaan secara
damai yang dilakukan secara berkala.
Dalam implementasinya,
demokrasi yangdianut oleh bangsa Indonesia setelah terjadinya reformasi pada tahun 1998, diadakan Pemilihan Umum (Pemilu)
untuk memilih wakil rakyat (Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah)
Presiden dan Wakil Presiden secara
langsung oleh rakyat setiap 5 (lima) tahun sekali sesuai dengan Pasal 22E.
Keberhasilan Pemilu dapat diartikan keberhasilan pelaksanaan sistem demokrasi
yang dianut oleh suatu negara. Akan tetapi keberhasilan tersebut bergantung
pada rakyat. Apabila rakyat faham akan pentingnya demokrasi, maka rakyat akan
menggunakan hak pilihnya dengan sebaik-baiknya tanpa terpengaruh dengan
noda-noda politik didalamnya. Oleh karena itu, makalah ini akan menjelaskan apa
yang dimaksud Pemilu di Indonesia beserta asas-asanya.
B.
Pengertian
Pemilu
Pemilihan umum (Pemilu)
adalah salah satu cara dalam sistem demokrasi untuk memilih wakil-wakil rakyat
yang akan duduk di lembaga perwakilan rakyat, serta salah satu bentuk pemenuhan
hak asasi warga Negara di bidang politik sehingga pada akhirnya akan tercipta
suatu hubungan kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat yang
merupakan inti kehidupan demokrasi.
Pemilu dilaksanakan
untuk mewujudkan kedaulatan rakyat. Sebab, rakyat tidak mungkin memerintah
secara langsung. Karena itu, diperlukan cara untuk memilih wakil rakyat dalam
memerintah suatu Negara selama jangka waktu tertentu[21].
Hal ini, dalam konteks Indonesia sesuai dengan yang diamanatkan dalam staatsfundamentalnorms bangsa Indonesia,
yaitu sila keempat Pancasila.
Pemilu dapat dipahami juga sebagai berikut:
Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999
tentang Pemilihan Umum dalam bagian menimbang butir a sampai c disebutkan:
Bahwa
berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945, Negara Republik Indonesia adalah negara
yang berkedaulatan rakyat;
Bahwa
pemilihan umum merupakan sarana untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dalam rangka
keikutsertaan rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan negara
Bahwa
pemilihan umum umum bukan hanya bertujuan untuk memilih wakil-wakil rakyat yang
akan duduk dalam lembaga Permusyawaratan/Perwakilan, melainkan juga merupakan
suatu sarana untuk mewujudkan penmyusunan tata kehidupan Negara yang dijiwai
semangat Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia.[22]
Demikian juga dalam Bab I ketentuan umum
pasal 1 ayat 1 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2012 disebutkan bahwa: "
Pemilihan Umum, selanjutnya disebut Pemilu, adalah sarana pelaksanaan
kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia,
jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”[23]
Menurut Austin Ranney, pemilu dikatakan
demokratis apabila memenuhikriteria sebagai berikut:
a.
Penyelenggaraan secara periodik atau
berkala (regular election)
b.
Pilihan yang bermakna (meaningful choices)
c.
Kebebasan untuk mengusulkan calon (freedom to put forth candidate)
d.
Hak pilih umum bagi kaum dewasa (universal adult suffrage)
e.
Kesetaraan bobot suara (equal weighting votes)
f.
Kebebasan untuk memilih (free registration oh choice)
g.
Kejujuran dalam perhitungan suara dan pelaporan hasil (accurate counting ofchoices
and reporting of results)
A.
Macam-macam Pemilu
a.
Cara langsung
Dimana rakyat secara
langsung memilih wakil-wakilnya yang akan duduk di badan-badan perwakilan
rakyat. Contohnya, pemilu di Indonesia untuk memilih anggota DPRD, DPR, dan
Presiden.
b. Cara bertingkat
Dimana rakyat terlebih
dahulu memilih wakilnya (senat), lantas wakil rakyat itulah yang memilih wakil
rakyat yang akan duduk di badan-badan perwakilan rakyat Pemilihan umum (pemilu)
di Indonesia pada awalnya ditujukan untuk memilih anggota lembaga perwakilan,
yaitu DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Setelah amandemen keempat
UUD 1945 pada 2002, pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres), yang
semula dilakukan oleh MPR, disepakati untuk dilakukan langsung oleh rakyat
sehingga pilpres pun dimasukkan ke dalam rezim pemilu. Pilpres sebagai bagian
dari pemilu diadakan pertama kali pada Pemilu 2004. Pada 2007, berdasarkan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007, pemilihan kepala daerah danwakil kepala
daerah (pilkada) juga dimasukkan sebagai bagian dari rezim pemilu. Pada
umumnya, istilah "pemilu" lebih sering merujuk kepada pemilihan
anggota legislatif dan presiden yang diadakan setiap 5 tahun sekali.[24]
B.
Tujuan Pemilu
Tujuan penyelenggaraan pemilihan umum minimal ada
4 (empat), yaitu:
a.
untuk memungkinkan
terjadinya peralihan kepemimpinan pemerintahan secara tertib dan damai;
b.
untuk memungkinkan
terjadinya pergantian pejabat yang akan mewakili kepentingan rakyat di lembaga
perwakilan;
c.
untuk melaksanakan
prinsip kedaulatan rakyat; dan
d.
untuk melaksanakan
prinsip hak-hak asasi warga negara.[25]
Sedangkan dalam
peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia, pemilu merupakan sarana
perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan negara yang
demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Sesuai dengan
Pasal 6A ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 22E ayat (2), ayat (3) dan ayat (4)
Undang-Undang Dasar 1945 pemilu dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
a.
Pemilu legislative
Sesuai dengan ketentuan Pasal 22E ayat (2), ayat (3) dan
ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa Pemilihan umum
legislative ini diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Peserta pemilihan umum
untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah adalah partai politik sedangkan peserta pemilihan umum untuk
memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah perseorangan.
Pemilihan Umum anggota DPR, DPD dan DPRD diselenggarakan
dengan tujuan untuk memilih wakil rakyat dan wakil daerah, serta untuk
membentuk pemerintahan yang demokratis, kuat, dan memperoleh dukungan rakyat
dalam rangka mewujudkan tujuan nasional sebagaimana diamanatkan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Republik Indonesia tahun 1945 Ketentuan lebih lanjut
dalam pemilu legislative diatur dalam Undang-undang No. 12 tahun 2003 tentang
Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD jo. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008
tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD jo. Undang-Undang Nomo 8 Tahun 2012
tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD,
dan DPRD yang menyatakan bahwa Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah Pemilu untuk
memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
kabupaten/kota dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
b.
Pemilu Presiden dan Wakil Presiden
Sesuai dengan ketentuan
Pasal 6A ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 22E ayat (2) yang menyatakan bahwa
Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh
rakyat. Peserta pemilu Presiden dan Wakil Presiden adalah Pasangan calon
Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan
partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.
Tujuan diselenggarakan
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden adalah untuk memilih Presiden dan
Wakil Presiden yang memperoleh dukungan yang kuat dari rakyat sehingga mampu
menjalankan fungsi-fungsi kekuasaan pemerintahan negara dalam rangka
tercapainya tujuan nasional sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 Indonesia Tahun 1945.[26]
Ketentuan lebih lanjut
mengenai pemilu Presiden dan wakil Presiden diatur dalam Undang-Undang Nomor 23
tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil Presiden jo. Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
UUD 1945 yang merupakan Konstitusi
Negara Republik Indonesia mengatur masalah pemilihan umum dalam Bab VIIB
tentang Pemilihan Umum Pasal 22E sebagai hasil Amandemen ketiga UUD 1945 tahun
2001. Secara lengkap, bunyi Pasal 22E tersebut adalah:
a.
Pemilihan umum dilaksanakan secara
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.
b.
Pemilihan umum diselenggarakan untuk
memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan
Wakil Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
c.
Peserta pemilihan umum untuk memilih
anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
adalah partai politik.
d.
Peserta pemilihan umum untuk memilih
anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah perseorangan.
e.
Pemilihan umum diselenggarakan oleh
suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.
C.
ASAS PEMILU
Menurut Pasal 22E ayat
(1) Undang-Undang Dasar 1945 pelaksanaan Pemilu berdasarkan asas langsung,
umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.Lalu ada perluasan yang perlu ditambahkan
dalam asas pemilu yaitu asas dapat dipertanggungjawabkan. Perluasan asas pemilu
semacam ini memang dirasa terlalu “membabi buta”. Akan tetapi berdasarkan
penglaman Pemilu di Indonesia yang selalu bernuansa maniulatif, penuh
intimidasi, tidak jujur, sewenang-wenang, maka memang masuk akal jika asas-asas
pemilihan umum tersebut dikembangkan sedemikian rupa.
Asas-asas Pemilu yang
berlaku semasa Orde Baru dan sebelum terjadi perubahan Undang-Undang Dasar 1945
adalah “LUBER” (lansung, umum,
bebas, dan rahasia). Asas-asas semacam ini pada hakikatnya hanya dipergunakan
pada saat pemungutan suara. Sementara untuk memberikan landasan filosofis bagi
seluruh rangkaian proses penyelenggaraan Pemilu belum ada asasnya:
1.
Langsung berarti
pemilih diharuskan memberikan suaranya secara langsung dan tidak boleh
diwakilkan.
2.
Umum berarti
pemilihan umum dapat di ikuti seluruh warga Negara yang sudah memiliki hak
menggunakan suara.
3.
Bebas berarti
pemilih diharuskan memberikan suaranya tanpa ada paksaan dari pihak manapun.
4.
Rahasia berarti
suara yang diberikan oleh pemilih bersifat rahasia hanya diketahui oleh si
pemilih itu sendiri.
Kemudian di era
reformasi berkembang pula asas "Jurdil" yang merupakan singkatan dari
"Jujur dan Adil". Penyelenggaraan Pemilu dengan asas-asas
berdasarkan Pasal 22E ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, Pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur, dan adil yang dijabarkan lebih lanjut dalam penjelasan
Undang-undang nomor 12 tahun 2003 tentang pemilihan umum. Yang didalam
penjelasan tersebut menjelaskan bahwa, Langsung
artinya rakyat sebagai pemilih mempunyai hak untuk memberikan suaranya secara
langsung sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara. Umum artinya pada dasarnya semua warga
negara yang memenuhi persyaratan sesuai dengan undang-undang ini berhak
mengikuti Pemilu. Pemilihan yang bersifat umum mengandung makna menjamin
kesempatan yang berlaku menyeluruh bagi semua warga negara, tanpa diskriminasi
berdasarkan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, kedaerahan, pekerjaan,
dan status social. Bebas artinya
setiap warga negara yang berhak memilih bebas menentukan pilihannya tanpa
tekanan dan paksaan dari siapa pun. Di dalam melaksanakan haknya, setiap warga
negara dijamin keamanannya, sehingga dapat memilih sesuai dengan kehendak hati
nurani dan kepentingannya. Rahasia
artinya dalam memberikan suaranya, pemilih dijamin bahwa pilihannya tidak akan
diketahui oleh pihak mana pun dan dengan jalan apa pun. Pemilih memberikan
suaranya pada surat suara dengan tidak dapat diketahui oleh orang lain kepada
siapa pun suaranya diberikan. Jujur
artinya dalam penyelenggaraan Pemilu, setiap penyelenggara Pemilu, aparat
Pemerintah, peserta Pemilu, pengawas Pemilu, pemantau Pemilu, pemilih, serta
semua pihak yang terkait harus bersikap dan bertindak jujur sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. Adil
artinya dalam penyelenggaraan Pemilu, setiap pemilih dan peserta Pemilu
mendapat perlakuan yang sama, serta bebas dari kecurangan pihak mana pun.
Sistem Pemilihan Umum(Pemilu)
Di Indonesia
A.
Sistem Pemilihan Umum
1.
Sistem Pemilu Mekanis dan Organis
Karena pemilihan umum
merupakan salah satu cara untuk menentukan wakil-wakil rakyat yang akan duduk
dalam Badan Perwakilan Rakyat, dengan sendirinya terdapat berbagai sistem
pemilihan umum. Sistem pemilihan umum berbeda satu sama lain, tergantung dari
sudut mana hal itu dilihat. Dari sudut kepentingan rakyat, apakah rakyat
dipandang sebagai individu yang bebas untuk menentukan pilihannya, dan
sekaligus mencalonkan dirinya sebagai calon wakil rakyat, atau apakah rakyat
hanya dipandang sebagai anggota kelompok yang sama sekali tidak berhak
menentukan siapa yang akan menjadi wakilnya.di lembaga perwakilan rakyat, atau
juga tidak berhak untuk mencalonkan diri sebagai wakil rakyat.
Berdasarkan hal
tersebut, sistem pemilihan umum dapat dibedakan dalam dua macam, yaitu antara:
(i) sistem pemilihan mekanis; (ii) sistem pemilihan organis. Sistem pemilihan
mekanis mencerminkan pandangan yang bersifat mekanis yang melihat rakyat
sebagai massa individu-individu yang sama. Baik aliran liberalisme, sosialisme,
dan komunisme sama-sama mendasarkan diri pada pandangan mekanis.
Liberalisme lebih
mengutamakan individu sebagai kesatuan otonom dan memandang masyarakat sebagai
suatu kompleks huhungan-hubungan antar individu yang bersifat kontraktual,
sedangkan pandangan sosialisme dan khususnya komunisme, lebih mengutamakan
totalitas kolektif masyarakat dengan mengecilkan peranan individu. Namun, dalam
semua aliran pemikiran di atas, individu tetap dilihat sebagai penyandang hak
pilih yang bersifat aktif dan memandang korps pemilih sebagai massa individu-individu,
yang masing-masing memiliki satu suara dalam setiap pemilihan, yaitu suaranva
masing-masing secara sendiri-sendiri.
Sementara itu, dalam
sistem nemilihan yang bersifat organis, pandangan organis menempatkan rakyat
sebagai sejumlah individu-individu yang hidup bersama dalam berbagai macam
persekutuan hidup berdasarkan geneologis (rumah tangga, keluarga), fungsi
tertentu (ekonomi, industri), lapisan-lapisan sosial (buruh, tani,
cendekiawan), dan lembaga-lembaga sosial (universitas). Kelompok-kelompok dalam
masyarakat dilihat sebagai suatu organisms yang terdiri atas organ-organ yang
mempunyai kedudukan dan fungsi tertentu dalam totalitas organisms, seperti
komunitas atau persekutuan-persekutuan hidup. Dengan pandangan demikian,
persekutuan-persekutuan hidup itulah yang diutamakan sebagai penyandang dan
pengendali hak pilih. Dengan perkataan lain, persekutuan-persekutuan yang
mempunyai hak untuk mengurus wakil-wakilnya kepada badan badan perwakilan
masyarakat.
Apabila dikaitkan
dengan sistem perwakilan seperti yang sudah diuraikan di atas, pemilihan
organis ini dapat dihubungkan dengan sistem penwakilan fungsional (function representation) yang biasa
dikenal dalam sistem parlemen dua kamar, seperti di Inggris dan Pemilihan
anggota Senat Irlandia dan juga para Lords yang akan duduk di House of Lords
Inggris, didasarkan atas pandangan yang bersifat organis tersebut. Dalam sistem
pemilihan mekanis, partai-partai politiklah yang mengorganisasikan
pemilih-pemilih dan memimpin pemilih berdasarkan sistem dua-partai ataupun
multipartai menurut paham liberalisme dan sosialisme, ataupun berdasarkan
sistem satu-partai menurut paham komunisme. Tetapi dalam sistem pemilihan
organis, partai-partai politik tidak perlu dikembangkan, karena pemilihan
diselenggarakan dan dipimpin oleh tiap-tiap persekutuan hidup itu sendiri,
yaitu melalui mekanisme yang berlaku dalam lingkungannya sendiri.
Menurut sistem mekanis,
lembaga perwakilan rakyat merupakan lembaga perwakilan kepentingan umum rakyat
seluruhnya. Sedangkan, menurut sistem yang kedua (organis), lembaga perwakilan
rakyat itu mencerminkan perwakilan kepentingan-kepentingan khusus
persekutuan-persekutuan hidup itu masing-masing. Dalam bentuknva yang paling
ekstrem, sistem yang pertama (mekanis) menghasilkan parlemen, sedangkan yang
kedua (organis) menghasilkan dewan korporasi (korporatif). Kedun sistem ini seeing dikombinasikan dalam struktur
parlemen dua-kamar (bikameral), yaitu
di negara-negara yang mengcnal. sistem parlemen bikameral.
Seperti yang sudah
dikemukakan di atas, misalnya, parlemen Inggris dan Irlandia yang bersifat
bikameral mencerminkan hal itu, yaitu pada sifat perwakilan majelis tingginya.
Di Inggris hal itu terlihat pada House of Lords, dan di Irlandia pada Senatnya
yang para anggotanya semua dipilih tidak melalui sistem yang mekanis, tetapi
dengan sistem organis.
2.
Sistem Distrik dan Proporsional
Sistem yang lebih umum,
dan karena itu perlu diuraikan. lebih rinci, adalah sistem pemilihan yang
bersifat mekanis. Sistem ini biasa dilaksanakan dengan dua cara yaitu:
a)
Sistem Distrik (Single Member
Constituency)
Sistem ini merupakan sistem pemilihan dimana suatu daerah
pemilihan memiliki satu wakil. Disini wilayah Negara dibagi dalam sejumlah
besar distrik dan jumlah wakil rakyat dalam DPR ditentukan dalam jumlah
distrik. Calon yang dianggap menang adalah calon yang dalam satu distrik
memperoleh suara yang terbanyak, sedangkan suara-suara yang ditujukan kepada
calon-calon lain dalam distrik itu dianggap hilang dan tidak diperhitungkan
lagi, bagaimanapun kecil selisih kekalahannya. Jadi tidak ada sistem menghitung
suara lebih dalam sistem pemilu distrik.
Sistem
yang pertama, yaitu sistem distrik, biasa dinamakan juga sebagai sistem single
member constituencies' atau sistem the winner's Dinamakan demikian, karena
wilayah negara dibagi dalam distrik-distrik pemilihan atau daerah-daerah
pemilihan (dapil) yang jumlahnya sama dengan jumlah anggota lembaga penvakilan
rakyat yang diperlukan untuk dipilih. Misalnya, jumlah anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, ditentukan 500 orang. Maka, wilayah negara dibagi dalam 500 distrik
atau daerah pemilihan (dapil) atau constituencies. Artinya, setiap distrik atau
daerah pemilihan akan diwakili oleh hanya satu orang wakil yang akan duduk di
Dewan Penvakilan Rakyat. Oleh karena itu, dinamakan sistem distrik, atau single
member constituencies.
Sebagian
sarjana juga menamakan sistem ini sebagai sistem mayoritas karena yang dipilih
sebagai wakil rakyat dari suatu daerah ditentukan oleh siapa yang memperoleh
suara yang terbanyak atau suara mayoritas untuk daerah itu, sekalipun
kemenangannya hanya bersifat mayoritas relatif (tidak mayoritas mutlak).
Misalnya, di daerah pemilihan 1, calon A memperoleh suara 100.000, B memperoleh
suara 99.999, C memperoleh 100.001, maka yang dinyatakan terpilih menjadi wakil
dari daerah pemilihan 1 untuk menjadi anggota lembaga perwakilan rakyat adalah
C sebab, setiap distrik hanya diwakili oleh satu orang yang memperoleh suara
yang paling banyak, meskipun bukan mayoritas mutlak.
Kelebihan
sistem ini tentu saja banyak. Setiap calon dari suatu distrik, biasanya adalah
warga daerah itu sendiri, atau meskipun datang dari daerah lain, tetapi yang
pasti bahwa orang itu dikenal secara baik oleh warga daerah yang bersangkutan.
Dengan demikian, hubungan antara para pemilih dengan para calon harus erat dan
saling mengenal dengan baik. Bagi para pemilih tentunya calon yang paling
mereka kenal sajalah yang akan dipilih. Sebaliknya, karena calon yang dipilih
adalah orang yang sudah dikenal dengan baik, tentu diharapkan bahwa yang
bersangkutan juga sudah sangat mengerti keadaan-keadaan yang perlu
diperjuangkannya untuk kepentingan rakyat daerah yang diwakilinya itu.
b)
Sistem
Proporsional (Multi Member Constituency)
Sementara itu, pada
sistem yang kedua, yaitu sistem perwakilan berimbang atau perwakilan
proporsionil, persentase kursi di lembaga perwakilan rakyat dibagikan kepada
tiap-tiap partai politik, sesuai dengan persentase jumlah suara yang diperoleh
tiap-tiap partai politik. Umpamanya, jumlah pemilih yang sah pada suatu
pemilihan umum tercatat ada 1.000.000 (satu juta) orang. Misalnya, jumlah kursi
di lembaga perwakilan rakyat ditentukan 100 kursi, berarti untuk satu orang
wakil rakyat dibutuhkan suara 10.000. Pembagian kursi di Badan Perwakilan
Rakyat tersebut tergantung kepada berapa jumlah suara yang didapat setiap
partai politik yang ikut pemilihan umum. Jika sistem ini dipakai, bentuk
aslinya tidak perlu lagi membagikan korps pemilih atas jumlah daerah pemilihan.
Korps pemilih boleh dibagi atas sejumlah daerah pemilihan dengan ketentuan
bahwa tiap-tiap daerah pemilihan (dapil) disediakan beberapa kursi sesuai
dengan jumlah penduduknya.
Meskipun jumlah kursi
untuk suatu pemilihan ditentukan sesuai dengan jumlah penduduk yang boleh
mengikuti pemilihan, dan ditentukan pula bahwa setiap kursi membutuhkan suara
dalam jumlah tertentu, namun apabila ternyata tidak semua penduduk memberikan
suara atau ada sebagian yang tidak sah, persentase untuk satu kursi juga
melijadi beriibah. Oleh karena itu, sistem proporsional ini dikenal agak rumit
cara perhitungannya. Bahkan, sistem proporsional ini dapat dilaksanakan dengan
ratusan variasi yang berbeda-beda. Namun, secara garis besar, ada dua metode
utama yang biasa dikenal sebagai variasi, yaitu metode single transferable vote
dengan hare system, dan metode list-system.
Pada metode pertama, Single Transferable Vote dengan Hare
System, pemilih diberi kesempatan untuk memilih pilihan pertama, kedua, dan
seterusnya dari daerah pemilihan yang, bersangkutan. Jumlah perimbangan suara
yang diperlukan untuk pemilih ditentukan, dan segera jumlah keutamaIn pertama
dipenuhi, dan apabila. ada sisa suara, maka kelebihan suara itu dapat
dipindahkan kepada calon pada urutan berikutnya, dan demikian seterusnya.
Dengan kemungkinan penggabungan suara itu, partai politik yang kecil
dimungkinkan mendapat kursi di lembaga perwakilan rakyat, meskipun semu la
tidak mencapai jumlah imbangan suara yang ditentukan. Konsekuensi dari sistem
ini adaiah bahwa penghitungan suara agak berbelit-belit dan membutuhkan
kecermatan yang saksama. Sementara itu, pada metode list system, para pemilih
diminta memilih diantara daftar-daftar calon yang berisi sebanvak mungkin
nama-nama wakil rakyat yang akan dipilih dalam pemilihan umum.
Partai politik yang
kecil-kecil biasanya sangat menyukai sistem pemilihan proporsionil karena
dimungkinkan adanya penggabungan suara. Jika partai politik A, berdasarkan
jumlah imbangan suara hanva akan mempunyai satu orang wakil yang duduk di
lembaga perwakilan, tetapi karena metode perhitungan berdasarkan hare system, dapat saja memperoleh dua
kursi lebih banyak. Sebaliknya, sistem proporsional ini kurang disenangi oleh
partai politik yang besar, karena perolehannya dapat terancam oleh
partai-partai yang kecil.
Sistem
proporsonal memiliki beberapa varian, misalnya sistem pemilu proporsional
menggunakan daftar tertutup, terbuka, daftar bebas. Kata daftar terbuka dan
tertutup dapat diartikan adanya kebebasan pemilih untuk memilih wakil caleg
yang di sukai oleh masyarakat.
1.
Daftar
tertutup. kursi yang dimenangkan partai politik diisi dengan
kandidat-kandidat sesuai dengan rangking mereka dalam daftar kandidat, yang
ditentutkan oleh partai. Biasanya hanya nama partai yang dimunculkan dalam
surat suara dalam sebuah distrik jamak, meskipun urutan kandidat-kandidat dalam
daftar partai biasanya diumumkan dan biasanya tidak diubah setelah tanggal
nominasi ditentukan. Oleh karena itu, partai politik memilki kekuasaan yang
cukup besar dalam penentuan kandidat
partai yang terpilih untuk mengisi kursi-kursi yang tersedia. Dalam hal ini
para kandidat memiliki keterikatan tertentu dengan partai dan pemimpinya atau
pada pra-pemilihan terikat pada pimpinan sayap partai yang bersangkutan
2.
Daftar
terbuka. Pemilih memilih partai politik yang mereka sukai dan dalam
partai tersebut, juga memilih kandidat yang mereka ingnkan untuk mengisi kursi
yang dimenangkan oleh partai tersebut. Biasanya, jumlah kandidat dalam daftar
partai yang ditampilkan dalam surat suara adalah dua kali jumlah kursi yang
tersedia. Dengan sistem ini ada kemungkinan untuk mengubah urutan kandidat di
dalam daftar calon. Para pemilih secara umum dapat memilih kandidat-kandidat
dalam daftar kandidat suatu partai sebanyak kursi yang tersedia
3.
Daftar bebas. Setiap
partai menentukan daftar kandidatnya, dengan partai dan kandidat ditampilkan
terpisah dalam surat suara. Pemilih dapat memilih dari daftar partai
sebagaimana adanya atau mencoret atau mengulangi nama, membagi pilihan mereka
di antara daftar-daftar partai atau memilih nama dari daftar manapun dengan
membuat daftar mereka sendiri dalam sebuah surat suara kosong.
Namun, terlepas dari
perbedaan antara metode single transferable vote dengan hare system dan list system,
yang jelas sistem pemilihan perwakilan berimbang atau perwakilan proporsional
ini diakui mempunyai banyak kelebihan dibandingkan dengan sistem distrik.
Misalnya, tidak adanya suara pemilih yang hilang dan diabaikan dalam mekanisme
penentuan wakil rakyat yang akan Akibat dari hare system, memang tidak ada suara yang hilang sehingga sistem ini
sering dikatakan lebih demokratis, dan mengakibatkan lembaga perwakilan rakyat
cenderung bersifat lebih nasional daripada kedaerahan. Namun, sistem ini banyak
juga kelemahannya, misalnya cara perhitungannya agak rumit, dan cenderung
mengutamakan peranan partai politik daripada para wakil rakyat secara langsung.
Pendek kata, setiap
sistem selalu mengandung kelebihan dan kelemahannya sendiri-sendiri. Tidak ada
yang sempuma di dunia ini. Bahkan, negara-negara yang tadinya menganut sistem
distrik cenderung berusaha untuk mengadopsi sistem proporsional, tetapi
negara-negara yang biasa dengan sistem proporsional dan banyak mengalami
sendiri kekurangan-kekurangannya, cenderung berusaha untuk menerapkan sistem
distrik yang dianggapnya lebih baik. Semua pilihan itu tergantung tingkat
kebutuhan riil yang dihadapi setiap masyarakat yang ingin memperkembangkan
tradisi dan sistem demokrasi yang diterapkan di masing-masing negara.
Di Indonesia tidak memakai salah satu dari kedua
macam sistem pemilihan diatas, tetapi merupakan kombinasi dari keduanya.
Hal ini terlihat pada satu sisi menggunakan
sistem distrik, antara lain pada Bab VII pasal 65 Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD tentang tata cara
Pencalonan Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dimana
setiap partai Politik peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPD,
DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/ Kota dengan memperhatikan keterwakilan
perempuan sekurang-kurangnya 30%.
Disamping itu juga menggunakan sistem berimbang,
hal ini terdapat pada Bab V pasal 49 tentang Daerah Pemilihan dan Jumlah Kursi
Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dimana : Jumlah kursi
anggota DPRD Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada jumlah
penduduk provinsi yang bersangkutan dengan ketentuan :
a. Provinsi dengan jumlah penduduk
sampai dengan 1000.000 (satu juta) jiwa mendapat 35 (tiga puluh lima) kursi
b. Provinsi dengan julam
penduduk lebih dari 1.000.000 (satu juta) sampai dengan 3.000.000 (tiga juta)
jiwa mendapat 45 (empat puluh lima) kursi;
c. Provinsi dengan jumlah
penduduk 3.000.000 (tiga juta) sampai dengan 5.000.000 (lima juta) jiwa
mendapat 55 (lima puluh lima) kursi;
d. Provinsi dengan jumlah
penduduk 5.000.000 (lima juta) sampai dengan 7.000.000 (tujuh juta) jiwa
mendapat 65 (enam puluh lima) kursi;
e. Provinsi dengan jumlah
penduduk 7.000.000 (tujuh juta) sampai dengan 9.000.000 (sembilan juta) jiwa
mendapat 75 (tujuh puluh lima) kursi;
f. Provinsi dengan jumlah
penduduk 9.000.000 (sembilan juta) sampai dengan 12.000.000 (dua belas juta)
jiwa mendapat 85 (delapan puluh lima) kursi;
g. Provinsi
dengan jumlah penduduk lebih dari 12.000.000 (dua belas juta) jiwa mendapat 100
(seratus) kursi.[28]
PENYELENGGARA
PEMILU
1.
Komisi
Pemilihan Umum (KPU)
Dalam Pasal 22E ayat 5 ditentukan
bahwa Pemilihan Umum diselenggarakan oleh suatu Komisi Pemilihan Umum yang
bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Penyelenggara pemilu harus bersifat netral dan tidak memihak. Komisi Pemilihan
Umum tidak boleh dikendalikan oleh partai politik ataupun pejabat negara yang
mencerminkan kepentingan partai politik atau peserta atau calon peserta
Pemilihan Umum. Peserta Pemilu dapat terdiri atas:
1. partai politik beserta para anggotanya yang dapat menjadi
calon dalam rangka pemilihan umum
2. calon atau anggota Dewan Perwakilan Rakyat
3. calon atau anggota Dewan Perwakilan Daerah
4. calon atau anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
5. calon atau Presiden atau Wakil Preesiden
6. calon atau Gubernur atau Wakil Gubernur
7. calon atau Bupati atau Wakil Bupati
8. calon atau walikota atau wakil walikota.
Pemberhentian
Anggota KPU
1)
Anggota KPU, KPU
Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota berhenti antarwaktu karena:
a. meninggal dunia;
b. mengundurkan diri dengan alasan yang dapat diterima;
c. berhalangan tetap lainnya; atau
d. diberhentikan dengan tidak hormat.
2)
Anggota KPU, KPU
Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota diberhentikan dengan tidak hormat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf d apabila:
a. tidak lagi memenuhi syarat sebagai anggota KPU, KPU
Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota;
b. melanggar sumpah/janji jabatan dan/atau kode etik;
c. tidak dapat melaksanakan tugas selama 3 (tiga) bulan
secara berturut-turut tanpa alasan yang sah;
d. dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang
diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
e. dijatuhi pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana Pemilu;
f. tidak menghadiri rapat pleno yang menjadi tugas dan
kewajibannya selama 3 (tiga) kali berturut-turut tanpa alasan yang jelas; atau
g. melakukan perbuatan yang terbukti menghambat KPU, KPU
Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota dalam mengambil keputusan dan penetapan
sebagaimana ketentuan peraturan perundang-undangan.
Di Inggris komisi penyelenggara
Pemilihan Umum dinamakan The Electoral Comission dengan jumlah anggota
antara lima sampai sembilan orang Comissioner yang ditetapkan olehRatu
ata usul House of Commons untuk masa jabatan 10 tahun dan referendum
yang dilaksanakan di Inggris, baik ytang bersifat lokal, regional, maupun
nasional.
Di
Indonesia, pada Pemilu 2004 mengenai penyelenggara dan penyelenggaraan
Pemiludiatur dalam UU No. 12 tahun 2003. Selain itu, pengaturan tentang
penyelenggara Pemilu juga terdapat dalam UU Nomor 23 Tahun 2003 tentang
pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, dan UU Nomor 32 tahun 2004 tentang
pemerintahan daerah. Kemudian Pemerintah
beserta DPR melakukan revisi terhadap Undang-Undang Penyelenggara Pemilu dengan
tujuan:
1.
Menyatukan
Undang-Undang Penyelenggara Pemilu, dalam satu Undang-undang, yaitu UU No. 22
Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu jo UU No. 15 Tahun 2011 tentang
Penyelenggara Pemilu.
2.
Untuk mewujudkan
suatu Pemilu yang lebih berkualitas, dalam Undang-Undang baru ini diatur upaya
peningkatan fungsi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi dari
Penyelenggara Pemilu.
3.
Mengingat Pemilu di
Indonesia sangat kompleks, maka perlu ditingkatkan profesionalitas dan kualitas
Penyelenggaraan Pemilu, agar mampu menyelenggarakan Pemilu dengan baik, sesuai
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
4.
Penyelenggara
Pemilu adalah lembaga yang menyelenggarakan Pemilu yang terdiri atas Komisi
Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu sebagai satu kesatuan fungsi
penyelenggaraan Pemilu untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Presiden dan Wakil Presiden
secara langsung oleh rakyat, serta untuk memilih gubernur, bupati, dan walikota
secara demokratis.
KPU disetiap tingkatan berkedudukan di ibukota
masing-masing daerah, yaitu KPU berkedudukan di ibukota Negara Republik
Indonesia, KPU Provinsi berkedudukan di ibukota Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota
berkedudukan di ibukota Kabupaten/Kota. KPU Kabupaten/Kota bertanggung jawab
kepada KPU Provinsi dan KPU Provinsi bertanggung jawab kepada KPU.
Dalam menjalankan tugasnya, KPU dibantu oleh Sekretariat
Jendral yang dipimpin oleh Sekretaris Jendral dan Wakil Sekretaris Jendral, KPU
Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota masing-masing dibantu oleh Sekretariat yang
dibantu oleh Sekretaris. Sekretaris Jenderal, Wakil Sekretaris jenderal serta
Sekretaris KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota adalah Pegawai Negeri Sipil.
Keanggota KPUberjumlah 7 orang. Dimana keanggotaan KPU
terdiri dari seorang ketua merangkap anggota dan anggota. Ketua dipilih dari
dan oleh anggota KPU sendiri, masa tugas KPU sendiri adalah 5 tahun, terhitung
sejak pengucapan sumpah atau janji. Dari 7 orang anggota KPU, 3 orang
diantaranya adalah perempuan. Sedangkan dalam keanggotaan KPU Provinsi dan KPU
Kabupaten/Kota terdiri atas 5 orang, dengan seorang ketua yang merangkap
menjadi anggota dan anggota. Ketua dipilih dari dan oleh anggota sendiri, masa tugasnya
5 tahun terhitung sejak pengucapan sumpah atau janji.
Tugas ketua KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota
adalah:
a)
Memimpin rapat
pleno dan seluruh kegiatan
b)
Bertindak untuk dan
atas nama lembaga, keluar dan kedalam
c)
Memberikan
keterangan resmi, tentang kebijaksanaan, dan kegiatan lembaga
d)
Menandatangani
seluruh peraturan dan keputusan lembaga
Untuk menjadi
anggota KPU, seseorang harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1.
Warga Negara
Indonesia
2.
Pada saat
pendaftaran berusia paling rendah 35 tahun atau pernah menjadi anggota KPU
3.
Setia kepada
Pancasila sebagai dasar negara, UUD Tahun 1945
4.
Mempunyai
integritas, pribadi yang kuat, jujur, dan adil
5.
Memiliki
pengetahuan dan keahlian dibidang tertentu yang berkaitan dengan
penyelenggaraan Pemilu atau memiliki pengalaman sebagai penyelenggara Pemilu
6.
Berpendidikan
paling rendah S-1
7.
Berdomisili di
wilayah RI
8.
Sehat jasmani dan
rohani berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan menyeluruh dari rumah sakit
9.
Tidak pernah
menjadi anggota Partai Politilk yang dimyatakan dalam surat pernyataan yang sah
atau sekurang-kurangnya dalam jangka waktu 5 tahun tidak lagi menjadi anggota
Partai Politik
10. Tidak pernah dipidana
11.
Tidak sedang
menduduki jabatan politik, jabatan struktural, dan jabatan fungsional dalam
jabatan negeri
12.
Bersedia tidak
menduduki jabatan di pemerintahan dan Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha
Milik Daerah.
Pemilu diselenggarakan oleh suatu
Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri Sesuai dengan amanat
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 22E ayat (5),
“Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat
nasional, tetap, dan mandiri”. Komisi
ini memiliki tanggungjawab penuh atas penyelenggaraan pemilu, dan dalam
menjalankan tugasnya, KPU menyampaikan laporan kepada Presiden dan DPR. Maksud
dari sifat nasional, tetap, dan mandiri adalah:
a.
Sifat “nasional”
dimaksudkan bahwa KPU sebagai penyelenggara mencakup seluruh wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
b.
Sifat “tetap”
dimaksudkan bahwa KPU sebagai lembaga menjalankan tugasnya secara
berkesinambungan, meskipun keanggotaannya dibatasi oleh masa jabatan tertentu.
c.
Sifat “mandiri”
dimaksudkan bahwa dalam menyelenggarakan dan melaksanakan Pemilu, KPU bersikap
mandiri dan bebas dari pengaruh pihak mana pun, disertai dengan transparansi
dan pertanggungjawaban yang jelas sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Menurut Pasal 25 UU No. 12 Tahun
2003 jo. UU No. 15 Tahun 2011, tugas dan wewenang KPU adalah:
a.
Merencanakan penyelenggaraan KPU.
b.
Menetapkan organisasi dan tata cara semua tahapan
pelaksanaan pemilu.
c.
Mengkoordinasikan, menyelenggarakan, dan mengendalikan
semua tahapan pelaksanaan pemilu.
d.
Menetapkan peserta pemilu.
e.
Menetapkan daerah pemilihan, jumlah kursi, dan calon
anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
f.
Menetapkan waktu, tanggal, tatacara pelaksanaan kampanye,
dan pemungutan suara.
g.
Menetapkan hasil pemilu dan mengumumkan calon terpilih
anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
h.
melakukan evaluasi dan pelaporan pelaksanaan pemilu.
2. Kewajiban KPU
a)
memperlakukan Pemilu secara adil dan serta guna
menyukseskan Pemilu;
b)
menetapkan standarisasi serta kebutuhan barang dan
jasa yang berkaitan dengan penyelenggaraan Pemilu berdasarkan peraturan
perundang-undangan;
c)
memelihara arsip dan dokumen Pemilu serta mengelola
barang inventaris KPU berdasarkan peraturan perundang-undangan;
d)
menyampaikan informasi kegiatan kepada masyarakat;
e)
melaporkan penyelenggaraan, Pemilu kepada Presiden
selambat- lambatnya 7 (tujuh) hari sesudah pengucapan sumpah/janji anggota DPR
dan DPR;
f)
mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran yang
diterima dari APBN; dan
g)
melaksanakan kewajiban lain yang diatur undang-undang.
Dalam menjalankan tugas yang berkaitan dengan keungan,
KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota bertanggung jawab sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan yang berkaitan dengan
penyelenggaraan seluruh tahapan Pemilu, dan tugas lainnya, KPU memberikan
laporan kepada Presiden dan DPR. Laporan disampaikan secara periodik dalam
setiap tahapan Pemilu, sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Laporan juga
ditembuskan kepada Bawaslu.
Untuk menjamin tercapainya penyelenggaraan Pemilu yang
transparan dan dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan
undang-undang ini, diperlukan pengawas Pemilu dengan kewenangan yang jelas
sehingga fungsi pengawasannya dapat berjalan efektif.
2.
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu)
Badan Pengawas Pemilihan Umum (disingkat Bawaslu) adalah
badan yang bertugas mengawasi penyelenggaraan Pemilu di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bawaslu ditetapkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 Pasal 70 tentang Pemilihan Umum. Jumlah anggota Bawaslu sebanyak 5 (lima) orang. Keanggotaan
Bawaslu terdiri atas kalangan professional yang mempunyai kemampuan dalam
melakukan pengawasan dan tidak menjadi anggota partai politik.
Tugas dan wewenang
Bawaslu diatur dalam Pasal 73 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 Tentang
Penyelenggara Pemilihan Umum meliputi:
a. mengawasi persiapan penyelenggaraan Pemilu yang terdiri
atas:
1.
perencanaan dan
penetapan jadwal tahapan Pemilu;
2.
perencanaan
pengadaan logistik oleh KPU;
3.
pelaksanaan
penetapan daerah pemilihan dan jumlah kursi pada setiap daerah pemilihan untuk
pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dan anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota oleh KPU sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
4.
sosialisasi
penyelenggaraan Pemilu; dan
5.
pelaksanaan tugas
pengawasan lain yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
b.
mengawasi
pelaksanaan tahapan penyelenggaraan Pemilu yang terdiri atas:
1.
pemutakhiran data
pemilih dan penetapan daftar pemilih sementara serta daftar pemilih tetap;
2.
penetapan peserta
Pemilu;
3.
proses pencalonan
sampai dengan penetapan anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, pasangan calon presiden dan wakil
presiden, dan calon gubernur, bupati, dan walikota sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
4.
pelaksanaan
kampanye;
5.
pengadaan logistik
Pemilu dan pendistribusiannya;
6.
pelaksanaan
pemungutan suara dan penghitungan suara hasil Pemilu di TPS;
7.
pergerakan surat
suara, berita acara penghitungan suara, dan sertifikat hasil penghitungan suara
dari tingkat TPS sampai ke PPK;
8.
pergerakan surat
tabulasi penghitungan suara dari tingkat TPS sampai ke KPU Kabupaten/Kota;
9.
proses rekapitulasi
hasil penghitungan perolehan suara di PPS, PPK, KPU Kabupaten/Kota, KPU
Provinsi, dan KPU;
10.
pelaksanaan
penghitungan dan pemungutan suara ulang, Pemilu lanjutan, dan Pemilu susulan;
11.
pelaksanaan putusan
pengadilan terkait dengan Pemilu;
12.
pelaksanaan putusan
DKPP; dan
13.
proses penetapan
hasil Pemilu.
c.
mengelola,
memelihara, dan merawat arsip/dokumen serta melaksanakan penyusutannya
berdasarkan jadwal retensi arsip yang disusun oleh Bawaslu dan ANRI;
d.
memantau atas
pelaksanaan tindak lanjut penanganan pelanggaran pidana Pemilu oleh instansi
yang berwenang;
e.
mengawasi atas
pelaksanaan putusan pelanggaran Pemilu;
f.
evaluasi pengawasan
Pemilu;
g.
menyusun laporan
hasil pengawasan penyelenggaraan Pemilu; dan
h.
melaksanakan tugas
lain yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4)
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), Bawaslu berwenang:
a.
menerima laporan dugaan pelanggaran
terhadap pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Pemilu;
b.
menerima laporan adanya dugaan
pelanggaran administrasi Pemilu dan mengkaji laporan dan temuan, serta
merekomendasikannya kepada yang berwenang;
c.
menyelesaikan sengketa Pemilu;
d.
membentuk Bawaslu Provinsi;
e.
mengangkat dan memberhentikan anggota
Bawaslu Provinsi; dan
f.
melaksanakan wewenang lain yang diatur dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan.
LEMBAGA SENGKETA PEMILU
Sengketa Pemilu
Salah
satu jenis pelanggaran yang menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang
Penyelenggara Pemilihan Umum, menjadi salah satu kewenangan Panitia Pengawas
Pemilu (Panwaslu) kabupaten/kota untuk menyelesaikannya adalah pelanggaran
Pemilu yang bersifat sengketa. Sengketa adalah perbenturan antara dua
kepentingan, antara kepentingan dan kewajiban hukum, atau antara kewajiban
hukum dengan kewajiban hukum (konflik), yang dalam konteks Pemilu dapat terjadi
antara peserta Pemilu dengan penyelenggara Pemilu, maupun antara peserta Pemilu
dengan peserta Pemilu lainnya. Pada Pemilu tahun 2004, tata cara penyelesaian
terhadap jenis pelanggaran ini diatur dalam satu pasal tersendiri, yaitu Pasal
129 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003. Terhadap sengketa Pemilu ini, yaitu
perselisihan Pemilu selain yang menyangkut perolehan hasil suara, Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2008 tidak mengatur mekanisme penyelesaiannya.
Perselisihan
hasil Pemilu adalah keberatan pemohon terhadap penetapan hasil Pemilu oleh
KPU. Keberatan dimaksud karena jika
pemohon memiliki alasan bahwa penghitungan hasil perolehan suara yang
ditetapkan oleh KPU berbeda dengan penghitungan hasil perolehan suara menurut
pemohon.
Sengketa
juga dapat terjadi antara KPU dengan peserta Pemilu atau pihak lain yang timbul
akibat dikeluarkannya suatu Peraturan dan Keputusan KPU. Kebijakan tersebut,
karena menyangkut banyak pihak, dapat dinilai merugikan kepentingan pihak lain
seperti peserta Pemilu (partai politik dan perorangan), media/pers, lembaga
pemantau, pemilih maupun masyarakat. Berbeda dengan Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2003 yang menegaskan bahwa Keputusan KPU bersifat final dan mengikat,
dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008
tidak ada ketentuan yang menegaskan bahwa Keputusan KPU bersifat final dan
mengikat. Dengan demikian maka Keputusan KPU yang dianggap merugikan terbuka
kemungkinan untuk diubah. Persoalannya, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 (UU
Pemilu) juga tidak memberikan “ruang khusus” untuk menyelesaikan ketidakpuasan
tersebut.
Contoh
kasus yang telah nyata ada adalah : (1) sengketa antara calon peserta Pemilu
dengan KPU yang menyangkut Keputusan KPU tentang Penetapan Partai Politik
Peserta Pemilu. Keputusan KPU tersebut dianggap merugikan salah satu atau
beberapa calon peserta Pemilu. (2) sengketa antara partai politik peserta
Pemilu dengan anggota atau orang lain mengenai pendaftaran calon legislatif.
Pencalonan oleh partai politik tertentu dianggap tidak sesuai dengan atau tanpa
seijin yang bersangkutan.
Untuk
sengketa Pemilu yang berkaitan dengan hasil perolehan suara Pemilu,
lembaga kehakiman yang berwenang menyelesaikan adalah Mahkamah
Konstitusi. Jika melihat pada sejarah bangsa Indonesia, pemikiran mengenai
pembentukan Mahkamah Konstitusi sudah muncul sebelum Indonesia merdeka. Hal ini
dapat diketahui dari pembahasan Rancangan Undang-Undang Dasar oleh BPUPKI.
Anggota BPUPKI, yaitu Prof. MR. M. Yamin mengusulkan agar selain Mahkamah Agung
seharusnya dibentuk juga Mahkamah Konstitusi yang berfungsi sebagai pembanding
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Namun akhirnya usulan itu gagal.
Usulan
atas pembentukan Mahkamah Konstitusi muncul kembali setelah era reformasi terutama
pada waktu pembahasan rancangan perubahan Undang-Undang Dasar 1945. Perubahan
yang terjadi pada masa reformasi telah menyebabkan perubahan dari supremasi
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menjadi supremasi konstitusi. Karena
perubahan yang mendasar itu, maka perlu disediakan sebuah mekanisme
institusional dan konstitusional, serta hadirnya lembaga yang mengatasi
sengketa antar lembaga negara yang kini telah menjadi sederajat, saling
mengimbangi, dan saling mengendalikan (checks and balances). Seiring
dengan itu, muncul desakan agar pengujian peraturan perundang-undangan tidak
hanya terbatas pada peraturan di bawah undang-undang melainkan juga atas
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Kewenangan melakukan pengujian
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar itu diberikan kepada sebuah mahkamah
tersendiri di luar Mahkamah Agung (MA). Atas dasar pemikiran itu, adanya
Mahkamah Konstitusi (MK) yang berdiri sendiri di samping MA menjadi sebuah
keniscayaan.
Setelah
melalui proses pembahasan yang mendalam, akhirnya MK menjadi kenyataan dengan
disahkannya Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 24C Undang-Undang Dasar 1945, yang
menjadi perubahan ketiga dari Undang-Undang Dasar 1945 pada Sidang Tahunan MPR
tanggal 21 November 2001. Dengan disahkannya kedua pasal tersebut, maka
Indonesia menjadi negara ke-78 yang membentuk Mahkamah Konstitusi dan menjadi
negara pertama pada abad ke-21 yang membentuk lembaga kekuasaan kehakiman
tersebut. Untuk menjalankan amanat Undang-Undang Dasar 1945 tersebut,
pemerintah telah mengeluarkan peraturan khusus, yaitu Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Kewenangan MK tersebut kemudian
dijabarkan dalam UU No.23 Tahun 2003.
Pasal 10 mengatakan MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final untuk:
1.
Menguji
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
2.
Memutus sengketa
kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
3.
Memutus
pembubaran partai politik; dan
4.
Memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
5.
Wajib memberikan
putusan atas pendapat DPR jika Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga
telah melakukan pelanggaran hukum berupa
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya,
atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden
dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.
Dalam
Perkara perselisihan penghitungan hasil Pemilu UU No. 23 tahun 2004
menysyratkan: Pertama, pemohon
adalah: 1. perorangan warga negara
Indonesia calon anggota DPD peserta pemilihan umum; 2. pasangan Capres dan
Cawapres peserta pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden; dan c. Parpol
peserta Pemilu. Kedua, permohonan
hanya dapat diajukan terhadap penetapan hasil Pemilu yang dilakukan secara
nasional oleh KPU yang mempengaruhi: a.terpilihnya calon anggota DPD; b.
penentuan pasangan calon yang masuk pada putaran kedua pemilihan Presiden dan
Wakil Presiden serta terpilihnya pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden; c.
perolehan kursi Parpol peserta Pemilu di suatu daerah pemilihan. Ketiga, permohonan hanya dapat diajukan
dalam jangka waktu paling lambat 3 X 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak
KPU mengumumkan penetapan hasil Pemilu secara nasional.
Syarat
penting dari permohonan adalah uraian yang jelas tentang: Pertama, kesalahan hasil
penghitungan suara yang diumumkan oleh KPU dan hasil penghitungan yang benar menurut pemohon. Kedua, permintaan untuk membatalkan hasil penghitungan suara yang
diumumkan oleh KPU dan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar menurut
pemohon. Putusan Mahkamah Konstitusi
mengenai permohonan atas perselisihan hasil Pilpres wajib diputus dalam jangka
waktu: paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak permohonan diregister
dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi; paling lambat 30 (tiga puluh) hari
kerja sejak permohonan atas hasil Pemilu legislatif diregister dalam Buku
Registrasi Perkara Konstitusi.
Bagaimana
isi putusan MK dalam perkara hasil Pemilu. UU MK mengatakan: dalam hal MK berpendapat bahwa pemohon
dan/atau permohonannya tidak memenuhi syarat, maka amar putusan menyatakan permohonan
tidak dapat diterima, sebaliknya dalam hal MK berpendapat bahwa permohonan
beralasan, maka amar putusan
menyatakan permohonan dikabulkan.
Dalam
hal permohonan dikabulkan MK menyatakan membatalkan hasil penghitungan suara
yang diumumkan oleh KPU dan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar.
Jika permohonan ternyata menurut MK tidak beralasan, maka amar putusan
menyatakan permohonan ditolak.
Mekanisme Penyelesaian Sengketa
Pemilu di Mahkamah Konstitusi
Sesuai
dengan Konstitusi yang dijabarkan dalam ketentuan Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, perselisihan
tentang hasil perolehan suara Pemilu diselesaikan melalui
Mahkamah Konstitusi. Tata cara penyelesaian perselisihan perolehan hasil
suara pemilihan umum tahun 2009 telah diatur dalam Peraturan Mahkamah
Konstitusi Nomor 14 Tahun 2008 tentang Pedoman Beracara
Dalam Perselisihan Hasil Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD.
Pada
sengketa hasil Pemilu tahun 2004, Mahkamah Konstitusi telah memutus 252 perkara
yang diajukan oleh partai politik, 23 perkara yang diajukan oleh calon anggota
DPD, dan 1 perkara yang diajukan oleh pasangan calon presiden/calon wakil
presiden. Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap 252 perkara yang diajukan
partai-partai politik itu terbagi kepada empat jenis, yaitu permohonan
dikabulkan sebanyak 41 perkara (14,96%), permohonan ditolak sebanyak 135
perkara (49,27%), permohonan tidak dapat diterima sebanyak 89 perkara (32,48%)
dan 9 perkara (3,28%) ditarik kembali oleh pemohon. Sedangkan pada Pemilu legislatif
2009, Mahkamah Konstitusi telah menerima 71 permohonan yang meliputi 42
permohonan untuk partai politik dan 29 permohonan dari calon anggota DPD.
Permohonan yang diajukan oleh partai politik meliputi seluruh partai politik
peserta Pemilu 2009, baik nasional maupun partai lokal di Aceh, kecuali
Partai Rakyat Aceh dan Partai Aceh Aman Sejahtera. Sementara itu perkara yang
diajukan calon anggota DPD berasal dari daerah pemilihan Sulawesi Tenggara,
Papua Barat, Papua, Maluku, Sumatera Utara, Jawa Tengah, Gorontalo, Kepulauan
Riau, Lampung, Nanggroe Aceh Darussalam, lampung, Jambi, Banten, Sulawesi
Barat, Sulawesi Tengah dan Maluku Utara.
Permohonan sengketa
Pemilu diajukan oleh peserta Pemilu paling lambat 3 x 24 jam sejak KPU
mengumumkan penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara nasional. Pengajuan
permohonan disertai dengan alat bukti pendukung seperti sertifikat hasil
penghitungan suara, sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan setiap jenjang,
berita acara penghitungan beserta berkas pernyataan keberatan peserta, serta
dokumen tertulis lainnya. Apabila kelengkapan dan syarat permohonan
dianggap tidak cukup, panitera Mahkamah Konstitusi memberitahukan
kepada pemohon untuk diperbaiki dalam tenggat waktu 1 x 24 jam.
Apabila dalam waktu tersebut perbaikan kelengkapan dan syarat tidak dilakukan,
maka permohonan tidak dapat diregistrasi.
Tiga hari
kerja sejak permohonan tercatat dalam Buku Registrasi Perkara
Konstitusi, panitera mengirimkan permohonan kepada KPU. Dalam permohonan
tersebut disertakan juga permintaan keterangan tertulis dari KPU yang
dilengkapi dengan bukti-bukti hasil penghitungan suara yang diperselisihkan.
Keterangan tertulis tersebut harus sudah diterima
Mahkamah Konstitusi paling lambat satu hari sebelum hari
persidangan. Mahkamah menetapkan hari sidang pertama dalam waktu
7 (tujuh) hari kerja sejak permohonan diregistrasi. Penetapan hari
sidang pertama diberitahukan kepada pemohon dan KPU paling lambat
3 (tiga) hari sebelum hari persidangan.
Pemeriksaan
permohonan dibagi menjadi :
1)
pemeriksaan
pendahuluan, untuk memeriksa kelengkapan dan kejelasan materi permohonan.
Panel Hakim yang terdiri atas 3 orang hakim konstitusi wajib memberi nasihat
kepada pemohon untuk melengkapi dan/atau memperbaiki permohonan apabila
terdapat kekurangan paling lambat 1 x 24 jam.
2)
pemeriksaan
persidangan, yang dilakukan untuk memeriksa kewenangan
Mahkamah Konstitusi, kedudukan pemohon, pokok permohonan, keterangan KPU
dan alat bukti oleh Panel Hakim dan/atau Pleno Hakim dalam sidang yang terbuka
untuk umum.
Putusan
Mahkamah Konstitusi dijatuhkan paling lambat 30 hari kerja sejak
permohonan dicatat dalam buku registrasi perkara konstitusi. Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat
final dan selanjutnya disampaikan kepada pemohon, KPU dan Presiden serta dapat disampaikan
kepada pihak terkait. KPU, KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota wajib
menindaklanjuti Putusan tersebut.
Sebagai
salah satu tahapan dalam penyelenggaraan Pemilu, penyelenggaraan peradilan
sengketa hasil Pemilu yang menjadi wewenang MK sangat dipengaruhi oleh
pelaksanaan tahapan-tahapan sebelumnya. Adanya perselisihan hasil penghitungan
suara antara penyelenggara dengan peserta Pemilu pada kenyataannya tidak hanya
terjadi karena kekeliruan dalam proses penghitungan suara atau rekapitulasi
suara disetiap tingkatan, tetapi juga dapat terjadi karena adanya pelanggaran
Pemilu yang mempengaruhi hasil penghitungan suara. Karena itu peran
lembaga-lembaga lain dalam penyelesaian pelanggaran Pemilu disetiap tahapan
sangat penting artinya bagi kelancaran peradilan perselisihan hasil Pemilu.
Pada
saat pelaksanaan wewenang memutus sengketa hasil pemilu, kesiapan pemohon dan
termohon sangat menentukan kelancaran persidangan. Pemohon yang dalam hal ini
adalah peserta Pemilu dibatasi waktunya mengajukan permohonan selambat-lambatnya
3x24 jam setelah pengumuman hasil secara nasional oleh KPU. Karena itu untuk
dapat membuat dan mengajukan permohonan yang didukung alat bukti kuat, pemohon
harus memiliki data dan saksi yang lengkap. Hal itu membutuhkasn kesiapan baik dari
sisi mekanisme internal maupun sumber daya manusia peserta Pemilu. Kesiapan
juga diperlukan oleh KPU sebagai termohon serta pihak terkait lainnya.
Untuk
melaksanakan wewenang konstitusional memutus hasil Pemilu 2009, Mahkamah
Konstitusi telah melakukan berbagai persiapan, antara lain dari sisi hukum
acara, koordinasi dan hubungan antar lembaga, serta sarana dan prasarana. Dari
sisi hukum acara, yaitu dikeluarkannya peraturan tentang Pedoman Beracara
Perselisihan Hasil Pemilu. Mengingat pelaksanaan wewenang memutus sengketa
hasil Pemilu terkait dengan tahapan pelaksanaan Pemilu sebelumnya serta terkait
pula dengan kesiapan pihak-pihak yang akan bersengketa, Mahkamah Konstitusi
telah berkoordinasi dengan berbagai lembaga, antara lain dengan KPU, Bawaslu, partai
politik dan Mahkamah Agung. Koordinasi tersebut akan dilanjutkan secara
intensif selama pelaksanaan Pemilu serta diperluas dengan lembaga-lembaga lain
yang terlibat dan memiliki peran dalam penyelenggaraan Pemilu.
Untuk
memberikan pelayanan terbaik kepada semua pihak dalam perkara perselisihan
hasil Pemilu, sekaligus untuk memberikan akses yang mudah dan cepat kepada
keadilan dan pengadilan, telah dioperasikan pula sarana video conference.
Malalui sarana tersebut dapat dilakukan konsultasi perkara secara online,
penyampaian dokumen online, persidangan jarak jauh serta akses risalah dan
putusan secara online. Fasilitas video conference tersebut ditempatkan di 34
perguruan tinggi yang tersebar diseluruh Indonesia sehingga masyarakat
diseluruh pelosok Indonesia memiliki akses yang sama terhadap MK dan jarak
tidak lagi menjadi penghambat terciptanya persamaan di hadapan hukum (equality
before the law).
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pada zaman
Yunani kuno ide mengenai demokrasi sudah terpikirkan oleh ilmuan masa itu saat
terjadi perkembangan pesat mengenai pemikiran tentang hukum dan negara.
Ditandai dengan adanya penerapan sebuah konsep demokrasi klasik, berupa
pemilihan secara langsung oleh rakyat (demokrasi langsung/ direct democracy). Sehingga rakyat diberikana hak secara langsung
untuk terlibat dalam pembuatan keputusan politik. Secara etimologis “demokrasi”
terdiri dari dua kata yang berasal dari bahasa Yunani yakni “demos” berarti
rakyat dan cratein atau cratos berarti kekuasaan atau kedaulatan.
Sejarah demokrasi di
Indonesia antara lain, Demokrasi
Parlementer (18 Agustus 1945 - 5 Juli 1959), Demokrasi Terpimpin (5 Juli 1959 –
11 Maret 1966), Demokrasi
Pancasila (Orde Baru) (11 Maret 1966 – 21 Mei 1999), Demokrasi Setelah Reformasi (21 Mei 1999 – sekarang)
Pemilihan umum (Pemilu)
adalah salah satu cara dalam sistem demokrasi untuk memilih wakil-wakil rakyat
yang akan duduk di lembaga perwakilan rakyat, serta salah satu bentuk pemenuhan
hak asasi warga Negara di bidang politik. Pemilu dilaksanakan untuk mewujudkan
kedaulatan rakyat
Pemilihan umum dapat dilakukan dengan
dua cara, yaitu:
·
Cara langsung
·
Cara bertingkat
3.
Pemilu
merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan
negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Dengan berbagai
variasiatau model pemilu, diantaranya Sistem
Pemilu Mekanis dan Organis, Sistem
Distrik (Single Member Constituency) dan Sistem Proporsional (Multi
Member Constituency)
Pemilihan umum di
Indonesia menganut asas "Luber" yang merupakan singkatan dari
"Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia". Kemudian di era reformasi berkembang
pula asas "Jurdil" yang merupakan singkatan dari "Jujur dan
Adil".
Sesuai dengan amanat
Pasal 22E ayat (5), bahwa pemilihan umum diselenggarakan oleh sebuah komisi pemilihan
umum yang telah dijabarkan dan diatur dalam Undang-undang nomor 15 tahyn 2011
tentang penyelenggara pemilu. Menurut UU no. 15 tahun 2011 penyelenggara pemilu
terdiri dari Komisi pemilihan umum (KPU) yang bertugas sebagai pelaksana
(eksekutor) dalam penyelenggaraan pemilu dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu)
yang mengawasi penyelenggaraan Pemilu di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Disamping KPU dan Bawaslu diatur
sebuahu lembaga independent pula yang memiliki tugas menjaga harkat dan
martabat penyelenggara pemilu.
B.
Saran
Pemilu sebagai wujud
pelaksanaan demokrasi di Indonesia seharusnya menjadi hal penting dan sakral
bagi setiap orang yang melaksanakannya. Tetapi seperti yang kita ketahui
sekarang, walaupun pendidikan kewarganegaraan telah diberikan semenjak jenjang
sekolah dasar, tetap tidak mendorong elit politik maupun masyarakat sendiri
untuk bersikap Luber Jurdil. Ketika kita memandang secara luas, tentu
penyampaian sikap kewarganegaraan melalui jenjang sekolah masih belum
maksimalkarena masih banyaknya anak tidak bersekolah. Meski perkembangan
teknologi semakin canggih, segala informasi tercakup didalamnya, namun tidak
semua rakyat sempat mengenyam canggihnya teknologi tersebut sehingga dapat
dipastikan masih membutuhkan komunikasi langsung kepada masyarakat sendiri.
Dengan adanya Otonomi Daerah, Pemerintah Pusat dapat memberikan penyuluhan pada
setiap daerah, melalui Pemerintah Daerah yang disampaikan kepada setiap
perwakilan organisasi muda yang ada di setiap desa (Karang Taruna) agar
penyuluhan kepada masyarakat merata dan lebih maksimal.
Kepada elit politik
secara khusus, mestinya mereka lebih memahami makna demokrasi dan pelaksanaan
pemilu. Tidak mementingkan ambisi kekuasaan dan kepentingan golongan. Mengingat
demokrasi sendiri adalah kepemimpinan dari rakyat,oleh rakyat, dan untuk
rakyat. Maka segala kebijakan politik harus mempertimbangkan suara rakyat
dengan tidak melupakan unsur moralitas kebudayaan bangsa.
DAFTAR
PUSTAKA
Abudullah, Rozali. Mewujudkan Pemilu
yang Lebih Berkualitas, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2009.
Ahmad Syafi’I Ma’arif, Islam Dan Politik; Teori Belahan Bamboo Masa
Demokrasi Terpimpin (1959-1965), Yogyakarta: Gema Insani Press, 1996.
Asshiddiqie, Jimly. Pengantar Ilmu
Hukum Tata Negara, Raja Wali, Jakarta, 2014.
Budiardjo,
Miriam, Dasar-dasar Ilmu Politik,
Jakarta, Gramedia, 1986.
Dede Rosyanda, A.Ubaidillah, dkk. Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education)
: Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, Edisi Revisi, Jakarta
Timur: Prenada Media, 2003.
Hastomo, Makalah Pelaksanaan demokrasi di Indonesia dari Tahun 1945-sekarang,
Lorenz Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia, 1996.
Martitah
dan Hery Abduh,E-book Hukum Tata Negara,
Pusat Penjamin Mutu UNNES, Semarang: t. th
Miriam
Budiardjo, edisi revisi Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta:Gramedia
Pustaka Utama,2008.
Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu
Politik, Jakarta : PT Gramedia, 1983.
R. Saragih,
Bintan, Lembaga Perwakilan dan Pemilihan
Umum di Indonesia, Jakarta, Gaya Media Pratama,1988.
Soehino, Ilmu Negara, cet-8,Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2008.
Wasino, Demokrasi, Dulu, Kini, Dan Esok,
Makalah disampaikan dalam Diskusi Sejarah “Wajah Demokrasi Indonesia” diselenggarakan oleh Balai Pelestarian
Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta, Departmen Kebudayaan dan Pariwisata,
di Gedung LPMP, Semarang, tanggal 30-31 Maret 2009.
Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Amandemen I, II, III dan IV.
Undang-undang Nomor 12 tahun 2003 tentang Pemilihan
Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu
Anggota DPR, DPD, dan DPRD.
Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum.
Undang-Undang
Nomor 23 tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil Presiden.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum.
Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan
Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD yang
menyatakan bahwa Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
[1] Dede Rosyanda, A.Ubaidillah, dkk. Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education)
: Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, Edisi Revisi (Jakarta
Timur: Prenada Media, 2003), hlm. 125.
[3] Lorenz
Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta:
Gramedia, 1996), hlm. 154.
[4] Ahmad
Syafi’I Ma’arif, Islam Dan Politik; Teori
Belahan Bamboo Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965), (Yogyakarta: Gema
Insani Press, 1996), hlm. 196.
[11] Wasino, Demokrasi, Dulu, Kini, Dan Esok,
Makalah disampaikan dalam Diskusi Sejarah “Wajah Demokrasi Indonesia” diselenggarakan oleh Balai Pelestarian
Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta, Departmen Kebudayaan dan Pariwisata,
di Gedung LPMP, Semarang, tanggal 30-31 Maret 2009, hlm.6.
[18] Karena
jalan demokratis berupa referendum dari rakyat sehingga menghasilkan suara
bahwa Papua Nugini memilih untuk memisahkan diri dari wilayah NKRI dan
membentuk Negara sendiri.
[19] Wasino,
Demokrasi,
Dulu…., hlm. 16
[20] Ibid, hlm. 17
[21]Miriam Budiardjo, Dasar-dasar
Ilmu Politik, (Jakarta:Gramedia, 1986), hlm. 120.
[22]Undang-UndangNomor 3 Tahun 1999 tentangPemilihanUmum
[24]Bintan R. Saragih, Lembaga Perwakilan dan Pemilihan Umum di
Indonesia, (Jakarta: Gaya
Media Pratama, 1988), hlm. 78.
[25]Martitah dan Hery Abduh,E-book Hukum Tata Negara, (Pusat Penjamin Mutu UNNES, Semarang: t.
th), hlm. 46
[27]Tim Eska Media, Edisi Lengkap UUD 1945, (Jakarta: Eska
Media. 2002, hlm.51.
[28]Miriam Budiardjo,
edisi revisi Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta:Gramedia Pustaka
Utama,2008), hlm. 58-64.
[29]UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilu
DPR, DPD, dan DPRD. hlm.18
Langganan:
Postingan (Atom)