Sabtu, 17 Januari 2015

Pemilihan Umum (Pemilu)

PEMBAHASAN

SEJARAH DEMOKRASI

A.    Latar Belakang  Sejarah  Demokrasi (Pemilu)

1.    Sejarah Demokrasi Eropa
Berbicara mengenai demokrasi, tentu merupakan sebuah pembicaraan klasik yang sudah terjadi ketika kalender masehi belum ditetapkan. Pada abad ke-6 SM, ketika zaman Yunani kuno ide mengenai demokrasi sudah terpikirkan oleh ilmuan masa itu saat terjadi perkembangan pesat mengenai pemikiran tentang hukum dan negara. Ditandai dengan adanya penerapan sebuah konsep demokrasi klasik, berupa pemilihan secara langsung oleh rakyat (demokrasi langsung/ direct democracy). Sehingga rakyat diberikana hak secara langsung untuk terlibat dalam pembuatan keputusan politik.[1]
Pengertian mengenai demokrasi dapat dilihat dari tinjauan bahasa (etimologis) dan istilah (terminologis). Secara etimologis “demokrasi” terdiri dari dua kata yang berasal dari bahasa Yunani yakni “demos” berarti rakyat dan cratein atau cratos berarti kekuasaan atau kedaulatan. Jadi secara istilah demokrasi dapat diartikan keadaan Negara dimana sistem pemerintahannya kedaulatan berada ditangan rakyat, kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan bersama rakyat, rakyat berkuasa, pemerintahan rakyat dan kekuasaan oleh rakyat.[2]
Menurut pendapat Herodotus (5 SM)-seorang filosof Yunani sebagaimana dikutip oleh Lorenz Bagus dalam bukunya, pada awalanya demokrasi merupakan sebuah kerangka pandangan filosofis yang kemudian berkembang menjadi sebuah sistem politik.[3] Pendapat ini sejak awal telah mendapat kritik dari berbagai filosof lain yang berpandangan bahwa rakyat biasa tidak mungkin mampu memerintah karena mereka memiliki keterbatasan pada kemampuan untuk mengetahui hal yang jauh ke depan.[4] Namun dalam era Yunani kuno menggunakan konsep demokrasi langsung masih dimungkinkan sebab kondisi geografis yang masih berupa City State (Negara Kota) dengan sedikti jumlah penduduk. Selain itu permasalahan yang dihadapi negara masih belum terlalu kompleks. Tercatat bahwa negara kota tersebut hanya memiliki jumlah penduduk 300.000 orang dan masih ada klasifikasi tentang siapa saja yang mendapatkan hak demokrasi. Hak tersebut rupanya hanya dimiliki oleh warga negara resmi, sedangkan warga negara dengan status budak belian, pedagang asing, perempuan dan anak-anak tidak mendapatkan hak demokrasi.[5]
Gagasan mengenai demokrasi kemudian mengalami masa surut ketika memasuki abad pertengahan. Intervensi gereja dengan slogam “wakil tuhan“ di bumi dan keadaan sosial-masyarakat dengan ciri feodalisme menjadi faktor penghambat berkembangnya demokrasi. Struktur keagamaan dikuasi oleh Paus dan struktur politik dikuasi oleh kaum bangsawan. Pada jaman abad pertengahan ini tidak banyak memberikan kesempatan terhadap perkembangan pemikiran tentang negara dan hukum, serta ilmu pengetahuan lainya, karena cara pikir orang pada abad pertengahan kurang kritis. Segala hal di dunia ini selalu dikembalikan kepada asalnya yakni Tuhan. Terjadinya sesuatu di dunia ini karena sudah dikehendaki Tuhan. Dengan demikian lenyaplah alasan yang kuat bagi orang untuk mengadakan pemikiran tentang negara dan hukum.[6]
Di akhir abad pertengahan tumbuh keinginan  untuk menghidupakn kembali demokrasi. Dengan muncul Magna Charta (Piagam Besar) sebuah piagam perjanjian kaum bangsawan dan raja John di Inggris menandai kemunculan demokrasi empirik. Dalam Magna Charta  ditegaskan bahwa Raja mengakui dan menjamin beberapa hak dan hak khusus (preveleges) bawahannya. Selain itu piagam tersebut juga menganut dua prinsip yang sangat mendasar: pertama, adanya pembatasan kekuasaan raja; kedua, hak asasi manusia lebih penting dari kedaulatan raja.[7]
Faktor lain yang mempengaruhi kelahiran kembali demokrasi di Eropa adalah rennaisance dimana hasrat akan ilmu pengethaun kembali muncul. Sekaligus menandai bergesernya alur pemikiran dari takhayul menuju pemikrian kritis dan rasional. Gerakan renaissance berusaha menghidupkan kembali minat pada sastra dan budaya Yunani Kuno. Hal tersebut terjadi karena persinggungan dan interaksi antara Barat dan Islam. Sebab perlu di ketahui bahwa Islam pada masa itu tengah mengalami masa kemajuan berkat upaya penerjemahan karya-karya Yunani kuno oleh ilmuan muslim, hingga lahirlah pemikir Islam diantaranya Ibnu khaldun, Ar-Razi, Al-Khawarizmi dll.  Selain itu, pemberontakan yang di motori Marthin Luther juga menjadi sebab selanjutnya kelahiran kembali demokrasi. Pemberontakan tersebut ditujukan terhadap dominasi gereja yang telah mengungkung kebebasan berfikir dan bertindak, dengan tujuan memperbaiki keadaan dalam gereja katolik. Hasilnya adalah munculnya peninjauan terhadap gereja katolik yang berkembang menjadi protestanisme.[8]
Penentangan terhadap gereja merupakan sebuah gerakan didasari oleh teori rasionalitas sebagai social-contrac dengan salah satu asasnya adalah bahwa dunia ini dikuasai oleh hukum dengan prinsip hukum alam. Sehingga memuat prinsip keadilan universal, berlaku untuk semua orang (raja, bangsawan, rakyat). Sehinggaa memiliki implikasi pada hubungan antara raja dan rakyat diselenggarakan melalui sebuah perjanjian yang mengikat kedua-belah pihak. Tokoh yang juga berperan dalam menggalakkan kembali demokras di Eropa adalah John Lock (Inggris) dengan gagasannya bahwa hak politik rakyat mencakup hak hidup, kebebasan dan hak milik. Kemudian Montesquieu (Perancis) merupakan tokoh lain yang juga memunculkan gagasan Trias Politica.[9]
Pada masa itu di Eropa isu HAM dan hak individu merupakan grand  tema dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sehingga dibuatlah konstitusi yang baik dengan bentuk  tertulis maupun tidak tertulis. Konstitusi tersebut berperan sebagai pembatas kewenangan pemerintah dan jaminan hak politik rakyat. Negara yang menganut hal tersebut bisa dinamakan Negara demokrasi konstitusioal dengan ciri pemerintahan yang pasif, karena pemerintah hanya sebagai wasit (penjaga malam). Sistem tersebut pada abad-19 biasa disebut Negara Hukum Formal (klasik). Tetapi setelah pertengahan abad ke-20 keadaan itu banyak mendapat tentangan, tepatnya setelah World War II. Kesangsian tersebut membuat suatu pergeseran pada  gagasan baru bahwa Negara yang awalnya hanya penjaga malam dan dilarang ikut campur dalam urusan warga negara (social maupun ekonomi), kini dituntut untuk bertanggungjawab atas kesejahteraan rakyat. Pemerintah dilarang bersifat pasif dan harus aktif untuk menyelenggarakan kesejahteraan rakyat dengan turut melakukan pengaturan dalam bidang social dan ekonomi. Demokrasi pada masa ini harus mencakup pada aspek ekonomi dengan sistem yang dapat menguasai kekuatan ekonomi dan berusahan memeprkecil perbedaan social dan ekonomi terutama harus mampu mengatasi ketidakmerataan distribsi kekayaa di kalangan masyarakat. Gagasan baru ini dinamakan Welfare State.[10]


2.    Sejarah Demokrasi Indonesia
Demokrasi Parlementer
Setelah Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945 praktis ini mengawali kebangkitan kembali kemandirian bangsa dalam hidup bernegara. Munculnya demokrasi ditandai dengan keluarnya maklumat No. X pada 3 November 1945 ditandatangani oleh Mohammad Hatta. Maklumat tersebut berisi tentang pentingnya pembentukan/ didirkan partai politik sebagai bagian dari demokrasi, sekaligus rencana pemrintah menyelenggarakan pemilu pada Januari 1946. Dengan lahirnya maklumat tersebut tentu memberikan legitimasi terhadap partai olitik yang telah lahir sebelumnya sekaligus mendorong munculnya partai politik baru. Sehingga pada tahun 1953 Kabinet Wilopo berhasil menyelesaikan regulasi pemilu dengan ditetapkannya UU No. 7 Tahun 1953.[11]
Era tersebut menandai era demokrasi liberal atau dapat juga disebut demokrasi parlementer, dimana lembaga yang memegang kekuasaan menentukan terbentuknya dewan (cabinet) berada ditangan parlemen atau DPR. Demokrasi liberal memiliki ciri yakni adanya golongan mayoritas/minoritas, dan penggunaan sistem voting,oposisi, mosi dan demonstrasi, serta multipartai. Seperti disebutkan diatas bahwa maklumat No. X pada 3 November 1945 merupakan salah satu landasan munculnya demokrasi liberal, selain itu konstitusi RIS 1949 (pasak 116 ayat 2), dan konstitusi UUD sementara tahun 1950 (pasal 83 ayat 2) juga merupakan landasan penyelenggaraan demokrasi liberal.[12]
Pada tahun 1955 Indonesia menyelenggarakan pemilu untuk pertama kali. Pemilu tersebut bertujuan memilih anggota DPR (260 kursi) dan Badan Konstituante (520 kursi+14 wakil golongan minoritas). Dengan demikian pemilu tersebut dibagi menjadi dua tahab, Tahap pertama adalah Pemilu untuk memilih anggota DPR. Tahap ini diselenggarakan pada tanggal 29 September 1955, dan diikuti oleh 29 partai politik dan individu. Tahap kedua adalah Pemilu untuk memilih anggota Konstituante, tahap ini diselenggarakan pada tanggal 15 Desember 1955.[13]
Lima besar dalam Pemilu ini adalah Partai Nasional Indonesia mendapatkan 57 kursi DPR dan 119 kursi Konstituante (22,3 persen), Masyumi 57 kursi DPR dan 112 kursi Konstituante (20,9 persen), Nahdlatul Ulama 45 kursi DPR dan 91 kursi Konstituante (18,4 persen), Partai Komunis Indonesia 39 kursi DPR dan 80 kursi Konstituante (16,4 persen), dan Partai Syarikat Islam Indonesia (2,89 persen). Partaipartai lainnya, mendapat kursi di bawah 10. Seperti PSII (8), Parkindo (8), Partai Katolik (6), Partai Sosialis Indonesia (5). Dua partai mendapat 4 kursi (IPKI dan Perti). Enam partai mendapat 2 kursi (PRN, Partai Buruh, GPPS, PRI, PPPRI, dan Partai Murba). Sisanya, 12 partai, mendapat 1 kursi (Baperki, PIR Wongsonegoro, PIR Hazairin, Gerina, Permai, Partai Persatuan Dayak, PPTI, AKUI, PRD, ACOMA dan R. Soedjono Prawirosoedarso. Oleh beberapa kalangan pemilu ini diangap sebuah proses demokrasi yang mendekati criteria demokrastis. Alasannya adalah jumlah parpol tidak dibatasi dan berlangsung dengan langsung umum bebas rahasia (luber), serta mencerminkan pluralisme dan representativness.[14]

Demokrasi Terpimpin
Badan konstituante merupakan badan yang dibentuk untuk merumuskan Dasar Negara. Tetapi pada pelaksanaanya dipandang tidak efektif karena didalam rapat hanya terjadi perselisihan dengan tiada ujung. Maka Soekarno dengan langkah cepat mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Implikasinya adalah membubarkan badan konstituante, memebrlakukan kembali UUD 1945, sekaligus mengakhiri demokrasi parlementer menuju demokrasi terpimpin.
Berikut ciri khas dari Demokrasi Terpimpin adalah :
1.    Dominasi dari presiden,
2.    Terbatasnya peranan partai politik,
3.    Berkembagnya pengaruh komunis, dan
4.    Meluasnya peranan ABRI (TNI) sebagai unsur sosial politik.
5.    Adanya rasa gotong royong,
6.    Tidak mencari kemenangan atas golongan lain,
7.    Selalu mencari sintesa untuk melaksanakan amanat penderitaan rakyat,
8.    Melarang propaganda anti nasakom, dan menghendeaki konsultasi sesama aliran progresif revolusioner. [15]

Demokrasi Pancasila (Orde Baru)
Demokrasi Pancasila merupakan sebuah konsep demokrasi yang diusulkan oleh pemerintahan Soeharto, yakni sebuah demokrasi yang disesuaikan dengan budaya maupun tradisi bangsa Indonesia. Kebijakan yang timbul pada masa ini adalah adanya penggabungan partai politik pada tahun 1973. Dari 10 partai dilebut menjadi 3 partai yakni PPP, PDI dan Golkar. Namun ternyata ada politik demokrasi yang tidak sedap berjalan disini, sebagaimana diutarakan oleh Wasino,[16] sejak pertengahan 1980-an, sebuah momen perkembangan yang oleh Huntington dinamakan “gelombang demokrasi ketiga” Soeharto menjawab dengan kebijakan “mulur mungkret” liberalisasi politik terbatas, yang oleh para pengkritik disebut sebagai demokrasi seolah-olah (democracy as if), tetapi sekaligus mempertahankan instrumen represif terhadap kelompok yang mencoba-coba keluar dari “aturan main” yang ditentukan rezim. Lebih jauh wasino menuturkan Praktik demokrasi diktatorship yang diterapkan Soeharto mulai tergerus dan jatuh dalam krisis bersamaan dengan runtuhnya mitos ekonomi Orde Baru sebagai akibat terjadinya krisis moneter mulai 1997.
Dalam pelaksanaannya ternyata tidak sejalan dengan prinsip demokrasi pancasila itu sendiri. Bahwa demokrasi itu memiliki ciri[17] sebagai Mengutamakan musyawarah mufakat. mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat, tidak memaksakan kehendak pada orang lain, selalu diliputi semangat kekeluargaan, adanya rasa tanggung jawab dalam melaksanakan hasil musyawarah, dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur, kepurtusan dapat dipertanggung jawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan, demokrasi Pancasila mulai berlaku sejak Maret 1966- Mei 1998 dan mulai Mei 1998 sampai sekarang berlaku Demokrasi Pancasila dalam Reformasi. Pada saat itulah terjadi ambiguitas dalam das sollen  dan das sein. Gelombang perlawanan dari rakyat dan mahasiswa akhirnya menurunkan Soeharto dari kursi Presdien sekaligus mengakhiri Demokrasi Pancasila Orde Baru.

Demokrasi Setelah Reformasi
Setelah Soeharto lengser maka tonggak kepemimpinan digantikan oleh Habibie, yang sebelumnya menjadi wakil presiden. Pada masa ini reformasi besar-besaran dalam  bidang demokrasi sangat masif terjadi yakni adanya kebebasan pers, pembebasan para tahanan politik (tapol), kebebasan bagi pendirian partai-partai politik, kebijakan desentralisasi (otonomi daerah), amandemen konstitusi antara lain berupa pembatasan masa jabatan presiden maksimal dua periode, pencabutan beberapa UU politik yang represif dan tidak demokratis, dan netralitas birokrasi dan militer dari politik praktis. Tetapi demokrasi procedural yang coba diupayakan presiden Habibie juga masih memiliki noda hitam, yakni dengan lepasnya Papua Nugini[18] serta konflik suku dan agama di berbagai wilayah.[19]
Proses demokrasi Indonesia terus berlanjut hingga pemilu pertama pasca reformasi diselenggarakan pada tahun 1999. Dalam pemilu tersebut terpilih sebagai pasangan Presiden dan wakil presiden adalah Abdurrahman Wahid-Megawati. Namun pemerintahan tersebut tidak bertahan lama karena Presiden dilengserkan oleh MPR. Pada Tahun 2004 diselenggaraka pemilu kedua, dengan memilih anggota DPR/DPRD sekaligus memilih Presiden secara langsung. Terpilihlah Susilo Bambang Yudoyono sebagai presiden dan Yusuf Kala sebagai wakil presiden. Berlanjut pada Tahun 2009 kembali digelar Pemilihan Umum, Pemilihan pertama dilakukan tanggal 9 April 2009 untuk memilih DPR/DPRD dan DPD[20], kemudian dilakukan pemilihan presiden secara langsung, dengan hasil SBY-Boediono sebagai presiden-wakil presiden. Lantas pada tahun 2014 diselenggarakan Pemilu untuk memilih anggota parlemen dan presiden, menghasilkan Jokowi-Yusuf Kalla sebagai presiden dan wakil presiden.

Asas – asas Pemilihan Umum
A.    Latar Belakang

Demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat dengan perantara wakil-wakilnya atau pemerintahan rakyat. Salah satu wujud dari demokrasi adalah pemilihan umum yang dilaksanakan untuk memilih wakil-wakil yang duduk didalam pemerintahan.Pemilihan umum dapat diartikan pula dalam sebagai proses pergantian kekuasaan secara damai yang dilakukan secara berkala.
Dalam implementasinya, demokrasi yangdianut oleh bangsa Indonesia setelah terjadinya reformasi pada tahun 1998, diadakan Pemilihan Umum (Pemilu) untuk memilih wakil rakyat (Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat setiap 5 (lima) tahun sekali sesuai dengan Pasal 22E. Keberhasilan Pemilu dapat diartikan keberhasilan pelaksanaan sistem demokrasi yang dianut oleh suatu negara. Akan tetapi keberhasilan tersebut bergantung pada rakyat. Apabila rakyat faham akan pentingnya demokrasi, maka rakyat akan menggunakan hak pilihnya dengan sebaik-baiknya tanpa terpengaruh dengan noda-noda politik didalamnya. Oleh karena itu, makalah ini akan menjelaskan apa yang dimaksud Pemilu di Indonesia beserta asas-asanya.

B.  Pengertian Pemilu
Pemilihan umum (Pemilu) adalah salah satu cara dalam sistem demokrasi untuk memilih wakil-wakil rakyat yang akan duduk di lembaga perwakilan rakyat, serta salah satu bentuk pemenuhan hak asasi warga Negara di bidang politik sehingga pada akhirnya akan tercipta suatu hubungan kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat yang merupakan inti kehidupan demokrasi.
Pemilu dilaksanakan untuk mewujudkan kedaulatan rakyat. Sebab, rakyat tidak mungkin memerintah secara langsung. Karena itu, diperlukan cara untuk memilih wakil rakyat dalam memerintah suatu Negara selama jangka waktu tertentu[21]. Hal ini, dalam konteks Indonesia sesuai dengan yang diamanatkan dalam staatsfundamentalnorms bangsa Indonesia, yaitu sila keempat Pancasila.
Pemilu dapat dipahami juga sebagai berikut:
Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum dalam bagian menimbang butir a sampai c disebutkan:
Bahwa berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945, Negara Republik Indonesia adalah negara yang berkedaulatan rakyat;
Bahwa pemilihan umum merupakan sarana untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dalam rangka keikutsertaan rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan negara
Bahwa pemilihan umum umum bukan hanya bertujuan untuk memilih wakil-wakil rakyat yang akan duduk dalam lembaga Permusyawaratan/Perwakilan, melainkan juga merupakan suatu sarana untuk mewujudkan penmyusunan tata kehidupan Negara yang dijiwai semangat Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.[22]

Demikian juga dalam Bab I ketentuan umum pasal 1 ayat 1 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2012 disebutkan bahwa: " Pemilihan Umum, selanjutnya disebut Pemilu, adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”[23]
Menurut Austin Ranney, pemilu dikatakan demokratis apabila memenuhikriteria sebagai berikut:
a.     Penyelenggaraan secara periodik atau berkala (regular election)
b.    Pilihan yang bermakna (meaningful choices)
c.    Kebebasan untuk mengusulkan calon (freedom to put forth candidate)
d.   Hak pilih umum bagi kaum dewasa (universal adult suffrage)
e.    Kesetaraan bobot suara (equal weighting votes)
f.     Kebebasan untuk memilih (free registration oh choice)
g.    Kejujuran dalam perhitungan suara dan pelaporan hasil (accurate counting ofchoices and reporting of results)

A.    Macam-macam Pemilu
a.      Cara langsung
Dimana rakyat secara langsung memilih wakil-wakilnya yang akan duduk di badan-badan perwakilan rakyat. Contohnya, pemilu di Indonesia untuk memilih anggota DPRD, DPR, dan Presiden.

b.      Cara bertingkat 

Dimana rakyat terlebih dahulu memilih wakilnya (senat), lantas wakil rakyat itulah yang memilih wakil rakyat yang akan duduk di badan-badan perwakilan rakyat Pemilihan umum (pemilu) di Indonesia pada awalnya ditujukan untuk memilih anggota lembaga perwakilan, yaitu DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Setelah amandemen keempat UUD 1945 pada 2002, pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres), yang semula dilakukan oleh MPR, disepakati untuk dilakukan langsung oleh rakyat sehingga pilpres pun dimasukkan ke dalam rezim pemilu. Pilpres sebagai bagian dari pemilu diadakan pertama kali pada Pemilu 2004. Pada 2007, berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007, pemilihan kepala daerah danwakil kepala daerah (pilkada) juga dimasukkan sebagai bagian dari rezim pemilu. Pada umumnya, istilah "pemilu" lebih sering merujuk kepada pemilihan anggota legislatif dan presiden yang diadakan setiap 5 tahun sekali.[24]

B.     Tujuan  Pemilu

Tujuan penyelenggaraan pemilihan umum minimal ada 4  (empat), yaitu:
a.         untuk memungkinkan terjadinya peralihan kepemimpinan pemerintahan secara tertib dan damai;
b.        untuk memungkinkan terjadinya pergantian pejabat yang akan mewakili kepentingan rakyat di lembaga perwakilan;
c.         untuk melaksanakan prinsip kedaulatan rakyat; dan
d.        untuk melaksanakan prinsip hak-hak asasi warga negara.[25]
Sedangkan dalam peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia, pemilu merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Sesuai dengan Pasal 6A ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 22E ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 pemilu dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:

a.    Pemilu legislative
Sesuai dengan ketentuan Pasal 22E ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa Pemilihan umum legislative ini diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik sedangkan peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah perseorangan.
Pemilihan Umum anggota DPR, DPD dan DPRD diselenggarakan dengan tujuan untuk memilih wakil rakyat dan wakil daerah, serta untuk membentuk pemerintahan yang demokratis, kuat, dan memperoleh dukungan rakyat dalam rangka mewujudkan tujuan nasional sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Republik Indonesia tahun 1945 Ketentuan lebih lanjut dalam pemilu legislative diatur dalam Undang-undang No. 12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD jo. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD jo. Undang-Undang Nomo 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota  DPR, DPD, dan DPRD yang menyatakan bahwa Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah Pemilu untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

b.   Pemilu Presiden dan Wakil Presiden
Sesuai dengan ketentuan Pasal 6A ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 22E ayat (2) yang menyatakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. Peserta pemilu Presiden dan Wakil Presiden adalah Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.
Tujuan diselenggarakan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden adalah untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden yang memperoleh dukungan yang kuat dari rakyat sehingga mampu menjalankan fungsi-fungsi kekuasaan pemerintahan negara dalam rangka tercapainya tujuan nasional sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Indonesia Tahun 1945.[26]
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemilu Presiden dan wakil Presiden diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil Presiden jo. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
UUD 1945 yang merupakan Konstitusi Negara Republik Indonesia mengatur masalah pemilihan umum dalam Bab VIIB tentang Pemilihan Umum Pasal 22E sebagai hasil Amandemen ketiga UUD 1945 tahun 2001. Secara lengkap, bunyi Pasal 22E tersebut adalah:
a.       Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.
b.      Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
c.       Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik.
d.      Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah perseorangan.
e.       Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.
f.       Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undang-undang.[27]

C.     ASAS PEMILU

Menurut Pasal 22E ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 pelaksanaan Pemilu berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.Lalu ada perluasan yang perlu ditambahkan dalam asas pemilu yaitu asas dapat dipertanggungjawabkan. Perluasan asas pemilu semacam ini memang dirasa terlalu “membabi buta”. Akan tetapi berdasarkan penglaman Pemilu di Indonesia yang selalu bernuansa maniulatif, penuh intimidasi, tidak jujur, sewenang-wenang, maka memang masuk akal jika asas-asas pemilihan umum tersebut dikembangkan sedemikian rupa.
Asas-asas Pemilu yang berlaku semasa Orde Baru dan sebelum terjadi perubahan Undang-Undang Dasar 1945 adalah “LUBER” (lansung, umum, bebas, dan rahasia). Asas-asas semacam ini pada hakikatnya hanya dipergunakan pada saat pemungutan suara. Sementara untuk memberikan landasan filosofis bagi seluruh rangkaian proses penyelenggaraan Pemilu belum ada asasnya:
1.    Langsung berarti pemilih diharuskan memberikan suaranya secara langsung dan tidak boleh diwakilkan.
2.    Umum berarti pemilihan umum dapat di ikuti seluruh warga Negara yang sudah memiliki hak menggunakan suara.
3.    Bebas berarti pemilih diharuskan memberikan suaranya tanpa ada paksaan dari pihak manapun.
4.    Rahasia berarti suara yang diberikan oleh pemilih bersifat rahasia hanya diketahui oleh si pemilih itu sendiri.
Kemudian di era reformasi berkembang pula asas "Jurdil" yang merupakan singkatan dari "Jujur dan Adil". Penyelenggaraan Pemilu dengan  asas-asas  berdasarkan Pasal 22E ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil yang dijabarkan lebih lanjut dalam penjelasan Undang-undang nomor 12 tahun 2003 tentang pemilihan umum. Yang didalam penjelasan tersebut menjelaskan bahwa, Langsung artinya rakyat sebagai pemilih mempunyai hak untuk memberikan suaranya secara langsung sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara. Umum artinya pada dasarnya semua warga negara yang memenuhi persyaratan sesuai dengan undang-undang ini berhak mengikuti Pemilu. Pemilihan yang bersifat umum mengandung makna menjamin kesempatan yang berlaku menyeluruh bagi semua warga negara, tanpa diskriminasi berdasarkan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, kedaerahan, pekerjaan, dan status social. Bebas artinya setiap warga negara yang berhak memilih bebas menentukan pilihannya tanpa tekanan dan paksaan dari siapa pun. Di dalam melaksanakan haknya, setiap warga negara dijamin keamanannya, sehingga dapat memilih sesuai dengan kehendak hati nurani dan kepentingannya. Rahasia artinya dalam memberikan suaranya, pemilih dijamin bahwa pilihannya tidak akan diketahui oleh pihak mana pun dan dengan jalan apa pun. Pemilih memberikan suaranya pada surat suara dengan tidak dapat diketahui oleh orang lain kepada siapa pun suaranya diberikan. Jujur artinya dalam penyelenggaraan Pemilu, setiap penyelenggara Pemilu, aparat Pemerintah, peserta Pemilu, pengawas Pemilu, pemantau Pemilu, pemilih, serta semua pihak yang terkait harus bersikap dan bertindak jujur sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Adil artinya dalam penyelenggaraan Pemilu, setiap pemilih dan peserta Pemilu mendapat perlakuan yang sama, serta bebas dari kecurangan pihak mana pun.

Sistem Pemilihan Umum(Pemilu)
Di Indonesia
A.    Sistem Pemilihan Umum
1.      Sistem Pemilu Mekanis dan Organis
Karena pemilihan umum merupakan salah satu cara untuk menentukan wakil-wakil rakyat yang akan duduk dalam Badan Perwakilan Rakyat, dengan sendirinya terdapat berbagai sistem pemilihan umum. Sistem pemilihan umum berbeda satu sama lain, tergantung dari sudut mana hal itu dilihat. Dari sudut kepentingan rakyat, apakah rakyat dipandang sebagai individu yang bebas untuk menentukan pilihannya, dan sekaligus mencalonkan dirinya sebagai calon wakil rakyat, atau apakah rakyat hanya dipandang sebagai anggota kelompok yang sama sekali tidak berhak menentukan siapa yang akan menjadi wakilnya.di lembaga perwakilan rakyat, atau juga tidak berhak untuk mencalonkan diri sebagai wakil rakyat.
Berdasarkan hal tersebut, sistem pemilihan umum dapat dibedakan dalam dua macam, yaitu antara: (i) sistem pemilihan mekanis; (ii) sistem pemilihan organis. Sistem pemilihan mekanis mencerminkan pandangan yang bersifat mekanis yang melihat rakyat sebagai massa individu-individu yang sama. Baik aliran liberalisme, sosialisme, dan komunisme sama-sama mendasarkan diri pada pandangan mekanis.
Liberalisme lebih mengutamakan individu sebagai kesatuan otonom dan memandang masyarakat sebagai suatu kompleks huhungan-hubungan antar individu yang bersifat kontraktual, sedangkan pandangan sosialisme dan khususnya komunisme, lebih mengutamakan totalitas kolektif masyarakat dengan mengecilkan peranan individu. Namun, dalam semua aliran pemikiran di atas, individu tetap dilihat sebagai penyandang hak pilih yang bersifat aktif dan memandang korps pemilih sebagai massa individu-individu, yang masing-masing memiliki satu suara dalam setiap pemilihan, yaitu suaranva masing-masing secara sendiri-sendiri.
Sementara itu, dalam sistem nemilihan yang bersifat organis, pandangan organis menempatkan rakyat sebagai sejumlah individu-individu yang hidup bersama dalam berbagai macam persekutuan hidup berdasarkan geneologis (rumah tangga, keluarga), fungsi tertentu (ekonomi, industri), lapisan-lapisan sosial (buruh, tani, cendekiawan), dan lembaga-lembaga sosial (universitas). Kelompok-kelompok dalam masyarakat dilihat sebagai suatu organisms yang terdiri atas organ-organ yang mempunyai kedudukan dan fungsi tertentu dalam totalitas organisms, seperti komunitas atau persekutuan-persekutuan hidup. Dengan pandangan demikian, persekutuan-persekutuan hidup itulah yang diutamakan sebagai penyandang dan pengendali hak pilih. Dengan perkataan lain, persekutuan-persekutuan yang mempunyai hak untuk mengurus wakil-wakilnya kepada badan badan perwakilan masyarakat.
Apabila dikaitkan dengan sistem perwakilan seperti yang sudah diuraikan di atas, pemilihan organis ini dapat dihubungkan dengan sistem penwakilan fungsional (function representation) yang biasa dikenal dalam sistem parlemen dua kamar, seperti di Inggris dan Pemilihan anggota Senat Irlandia dan juga para Lords yang akan duduk di House of Lords Inggris, didasarkan atas pandangan yang bersifat organis tersebut. Dalam sistem pemilihan mekanis, partai-partai politiklah yang mengorganisasikan pemilih-pemilih dan memimpin pemilih berdasarkan sistem dua-partai ataupun multipartai menurut paham liberalisme dan sosialisme, ataupun berdasarkan sistem satu-partai menurut paham komunisme. Tetapi dalam sistem pemilihan organis, partai-partai politik tidak perlu dikembangkan, karena pemilihan diselenggarakan dan dipimpin oleh tiap-tiap persekutuan hidup itu sendiri, yaitu melalui mekanisme yang berlaku dalam lingkungannya sendiri.
Menurut sistem mekanis, lembaga perwakilan rakyat merupakan lembaga perwakilan kepentingan umum rakyat seluruhnya. Sedangkan, menurut sistem yang kedua (organis), lembaga perwakilan rakyat itu mencerminkan perwakilan kepentingan-kepentingan khusus persekutuan-persekutuan hidup itu masing-masing. Dalam bentuknva yang paling ekstrem, sistem yang pertama (mekanis) menghasilkan parlemen, sedangkan yang kedua (organis) menghasilkan dewan korporasi (korporatif). Kedun sistem ini seeing dikombinasikan dalam struktur parlemen dua-kamar (bikameral), yaitu di negara-negara yang mengcnal. sistem parlemen bikameral.
Seperti yang sudah dikemukakan di atas, misalnya, parlemen Inggris dan Irlandia yang bersifat bikameral mencerminkan hal itu, yaitu pada sifat perwakilan majelis tingginya. Di Inggris hal itu terlihat pada House of Lords, dan di Irlandia pada Senatnya yang para anggotanya semua dipilih tidak melalui sistem yang mekanis, tetapi dengan sistem organis.

2.      Sistem Distrik dan Proporsional
Sistem yang lebih umum, dan karena itu perlu diuraikan. lebih rinci, adalah sistem pemilihan yang bersifat mekanis. Sistem ini biasa dilaksanakan dengan dua cara yaitu:
a)      Sistem Distrik (Single Member Constituency)
Sistem ini merupakan sistem pemilihan dimana suatu daerah pemilihan memiliki satu wakil. Disini wilayah Negara dibagi dalam sejumlah besar distrik dan jumlah wakil rakyat dalam DPR ditentukan dalam jumlah distrik. Calon yang dianggap menang adalah calon yang dalam satu distrik memperoleh suara yang terbanyak, sedangkan suara-suara yang ditujukan kepada calon-calon lain dalam distrik itu dianggap hilang dan tidak diperhitungkan lagi, bagaimanapun kecil selisih kekalahannya. Jadi tidak ada sistem menghitung suara lebih dalam sistem pemilu distrik.
Sistem yang pertama, yaitu sistem distrik, biasa dinamakan juga sebagai sistem single member constituencies' atau sistem the winner's Dinamakan demikian, karena wilayah negara dibagi dalam distrik-distrik pemilihan atau daerah-daerah pemilihan (dapil) yang jumlahnya sama dengan jumlah anggota lembaga penvakilan rakyat yang diperlukan untuk dipilih. Misalnya, jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat, ditentukan 500 orang. Maka, wilayah negara dibagi dalam 500 distrik atau daerah pemilihan (dapil) atau constituencies. Artinya, setiap distrik atau daerah pemilihan akan diwakili oleh hanya satu orang wakil yang akan duduk di Dewan Penvakilan Rakyat. Oleh karena itu, dinamakan sistem distrik, atau single member constituencies.
Sebagian sarjana juga menamakan sistem ini sebagai sistem mayoritas karena yang dipilih sebagai wakil rakyat dari suatu daerah ditentukan oleh siapa yang memperoleh suara yang terbanyak atau suara mayoritas untuk daerah itu, sekalipun kemenangannya hanya bersifat mayoritas relatif (tidak mayoritas mutlak). Misalnya, di daerah pemilihan 1, calon A memperoleh suara 100.000, B memperoleh suara 99.999, C memperoleh 100.001, maka yang dinyatakan terpilih menjadi wakil dari daerah pemilihan 1 untuk menjadi anggota lembaga perwakilan rakyat adalah C sebab, setiap distrik hanya diwakili oleh satu orang yang memperoleh suara yang paling banyak, meskipun bukan mayoritas mutlak.
Kelebihan sistem ini tentu saja banyak. Setiap calon dari suatu distrik, biasanya adalah warga daerah itu sendiri, atau meskipun datang dari daerah lain, tetapi yang pasti bahwa orang itu dikenal secara baik oleh warga daerah yang bersangkutan. Dengan demikian, hubungan antara para pemilih dengan para calon harus erat dan saling mengenal dengan baik. Bagi para pemilih tentunya calon yang paling mereka kenal sajalah yang akan dipilih. Sebaliknya, karena calon yang dipilih adalah orang yang sudah dikenal dengan baik, tentu diharapkan bahwa yang bersangkutan juga sudah sangat mengerti keadaan-keadaan yang perlu diperjuangkannya untuk kepentingan rakyat daerah yang diwakilinya itu.
b)     Sistem Proporsional (Multi Member Constituency)
Sementara itu, pada sistem yang kedua, yaitu sistem perwakilan berimbang atau perwakilan proporsionil, persentase kursi di lembaga perwakilan rakyat dibagikan kepada tiap-tiap partai politik, sesuai dengan persentase jumlah suara yang diperoleh tiap-tiap partai politik. Umpamanya, jumlah pemilih yang sah pada suatu pemilihan umum tercatat ada 1.000.000 (satu juta) orang. Misalnya, jumlah kursi di lembaga perwakilan rakyat ditentukan 100 kursi, berarti untuk satu orang wakil rakyat dibutuhkan suara 10.000. Pembagian kursi di Badan Perwakilan Rakyat tersebut tergantung kepada berapa jumlah suara yang didapat setiap partai politik yang ikut pemilihan umum. Jika sistem ini dipakai, bentuk aslinya tidak perlu lagi membagikan korps pemilih atas jumlah daerah pemilihan. Korps pemilih boleh dibagi atas sejumlah daerah pemilihan dengan ketentuan bahwa tiap-tiap daerah pemilihan (dapil) disediakan beberapa kursi sesuai dengan jumlah penduduknya.
Meskipun jumlah kursi untuk suatu pemilihan ditentukan sesuai dengan jumlah penduduk yang boleh mengikuti pemilihan, dan ditentukan pula bahwa setiap kursi membutuhkan suara dalam jumlah tertentu, namun apabila ternyata tidak semua penduduk memberikan suara atau ada sebagian yang tidak sah, persentase untuk satu kursi juga melijadi beriibah. Oleh karena itu, sistem proporsional ini dikenal agak rumit cara perhitungannya. Bahkan, sistem proporsional ini dapat dilaksanakan dengan ratusan variasi yang berbeda-beda. Namun, secara garis besar, ada dua metode utama yang biasa dikenal sebagai variasi, yaitu metode single transferable vote dengan hare system, dan metode list-system.
Pada metode pertama, Single Transferable Vote dengan Hare System, pemilih diberi kesempatan untuk memilih pilihan pertama, kedua, dan seterusnya dari daerah pemilihan yang, bersangkutan. Jumlah perimbangan suara yang diperlukan untuk pemilih ditentukan, dan segera jumlah keutamaIn pertama dipenuhi, dan apabila. ada sisa suara, maka kelebihan suara itu dapat dipindahkan kepada calon pada urutan berikutnya, dan demikian seterusnya. Dengan kemungkinan penggabungan suara itu, partai politik yang kecil dimungkinkan mendapat kursi di lembaga perwakilan rakyat, meskipun semu la tidak mencapai jumlah imbangan suara yang ditentukan. Konsekuensi dari sistem ini adaiah bahwa penghitungan suara agak berbelit-belit dan membutuhkan kecermatan yang saksama. Sementara itu, pada metode list system, para pemilih diminta memilih diantara daftar-daftar calon yang berisi sebanvak mungkin nama-nama wakil rakyat yang akan dipilih dalam pemilihan umum.
Partai politik yang kecil-kecil biasanya sangat menyukai sistem pemilihan proporsionil karena dimungkinkan adanya penggabungan suara. Jika partai politik A, berdasarkan jumlah imbangan suara hanva akan mempunyai satu orang wakil yang duduk di lembaga perwakilan, tetapi karena metode perhitungan berdasarkan hare system, dapat saja memperoleh dua kursi lebih banyak. Sebaliknya, sistem proporsional ini kurang disenangi oleh partai politik yang besar, karena perolehannya dapat terancam oleh partai-partai yang kecil.
Sistem proporsonal memiliki beberapa varian, misalnya sistem pemilu proporsional menggunakan daftar tertutup, terbuka, daftar bebas. Kata daftar terbuka dan tertutup dapat diartikan adanya kebebasan pemilih untuk memilih wakil caleg yang di sukai oleh masyarakat.
1.               Daftar tertutup. kursi yang dimenangkan partai politik diisi dengan kandidat-kandidat sesuai dengan rangking mereka dalam daftar kandidat, yang ditentutkan oleh partai. Biasanya hanya nama partai yang dimunculkan dalam surat suara dalam sebuah distrik jamak, meskipun urutan kandidat-kandidat dalam daftar partai biasanya diumumkan dan biasanya tidak diubah setelah tanggal nominasi ditentukan. Oleh karena itu, partai politik memilki kekuasaan yang cukup besar dalam  penentuan kandidat partai yang terpilih untuk mengisi kursi-kursi yang tersedia. Dalam hal ini para kandidat memiliki keterikatan tertentu dengan partai dan pemimpinya atau pada pra-pemilihan terikat pada pimpinan sayap partai yang bersangkutan
2.               Daftar terbuka. Pemilih memilih partai politik yang mereka sukai dan dalam partai tersebut, juga memilih kandidat yang mereka ingnkan untuk mengisi kursi yang dimenangkan oleh partai tersebut. Biasanya, jumlah kandidat dalam daftar partai yang ditampilkan dalam surat suara adalah dua kali jumlah kursi yang tersedia. Dengan sistem ini ada kemungkinan untuk mengubah urutan kandidat di dalam daftar calon. Para pemilih secara umum dapat memilih kandidat-kandidat dalam daftar kandidat suatu partai sebanyak kursi yang tersedia
3.               Daftar bebas. Setiap partai menentukan daftar kandidatnya, dengan partai dan kandidat ditampilkan terpisah dalam surat suara. Pemilih dapat memilih dari daftar partai sebagaimana adanya atau mencoret atau mengulangi nama, membagi pilihan mereka di antara daftar-daftar partai atau memilih nama dari daftar manapun dengan membuat daftar mereka sendiri dalam sebuah surat suara kosong. 
Namun, terlepas dari perbedaan antara metode single transferable vote dengan hare system dan list system, yang jelas sistem pemilihan perwakilan berimbang atau perwakilan proporsional ini diakui mempunyai banyak kelebihan dibandingkan dengan sistem distrik. Misalnya, tidak adanya suara pemilih yang hilang dan diabaikan dalam mekanisme penentuan wakil rakyat yang akan Akibat dari hare system, memang tidak ada suara yang hilang sehingga sistem ini sering dikatakan lebih demokratis, dan mengakibatkan lembaga perwakilan rakyat cenderung bersifat lebih nasional daripada kedaerahan. Namun, sistem ini banyak juga kelemahannya, misalnya cara perhitungannya agak rumit, dan cenderung mengutamakan peranan partai politik daripada para wakil rakyat secara langsung.
Pendek kata, setiap sistem selalu mengandung kelebihan dan kelemahannya sendiri-sendiri. Tidak ada yang sempuma di dunia ini. Bahkan, negara-negara yang tadinya menganut sistem distrik cenderung berusaha untuk mengadopsi sistem proporsional, tetapi negara-negara yang biasa dengan sistem proporsional dan banyak mengalami sendiri kekurangan-kekurangannya, cenderung berusaha untuk menerapkan sistem distrik yang dianggapnya lebih baik. Semua pilihan itu tergantung tingkat kebutuhan riil yang dihadapi setiap masyarakat yang ingin memperkembangkan tradisi dan sistem demokrasi yang diterapkan di masing-masing negara.
Di Indonesia tidak memakai salah satu dari kedua macam sistem pemilihan diatas, tetapi merupakan kombinasi dari keduanya. 
Hal ini terlihat pada satu sisi menggunakan sistem distrik, antara lain pada Bab VII pasal 65 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD tentang tata cara Pencalonan Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dimana setiap partai Politik peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/ Kota dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%.
Disamping itu juga menggunakan sistem berimbang, hal ini terdapat pada Bab V pasal 49 tentang Daerah Pemilihan dan Jumlah Kursi Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dimana : Jumlah kursi anggota DPRD Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada jumlah penduduk provinsi yang bersangkutan dengan ketentuan :
a.      Provinsi dengan jumlah penduduk sampai dengan 1000.000 (satu juta) jiwa mendapat 35 (tiga puluh lima) kursi
b.     Provinsi dengan julam penduduk lebih dari 1.000.000 (satu juta) sampai dengan 3.000.000 (tiga juta) jiwa mendapat 45 (empat puluh lima) kursi;
c.      Provinsi dengan jumlah penduduk 3.000.000 (tiga juta) sampai dengan 5.000.000 (lima juta) jiwa mendapat 55 (lima puluh lima) kursi;
d.     Provinsi dengan jumlah penduduk 5.000.000 (lima juta) sampai dengan 7.000.000 (tujuh juta) jiwa mendapat 65 (enam puluh lima) kursi;
e.      Provinsi dengan jumlah penduduk 7.000.000 (tujuh juta) sampai dengan 9.000.000 (sembilan juta) jiwa mendapat 75 (tujuh puluh lima) kursi;
f.      Provinsi dengan jumlah penduduk 9.000.000 (sembilan juta) sampai dengan 12.000.000 (dua belas juta) jiwa mendapat 85 (delapan puluh lima) kursi;
g. Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 12.000.000 (dua belas juta) jiwa mendapat 100 (seratus) kursi.[28]

PENYELENGGARA PEMILU
1.      Komisi Pemilihan Umum (KPU)
            Dalam Pasal 22E ayat 5 ditentukan bahwa Pemilihan Umum diselenggarakan oleh suatu Komisi Pemilihan Umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Penyelenggara pemilu harus bersifat  netral dan tidak memihak. Komisi Pemilihan Umum tidak boleh dikendalikan oleh partai politik ataupun pejabat negara yang mencerminkan kepentingan partai politik atau peserta atau calon peserta Pemilihan Umum. Peserta Pemilu dapat terdiri atas:
1.      partai politik beserta para anggotanya yang dapat menjadi calon dalam rangka pemilihan umum
2.      calon atau anggota Dewan Perwakilan Rakyat
3.      calon atau anggota Dewan Perwakilan Daerah
4.      calon atau anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
5.      calon atau Presiden atau Wakil Preesiden
6.      calon atau Gubernur atau Wakil Gubernur
7.      calon atau Bupati atau Wakil Bupati
8.      calon atau walikota atau wakil walikota.
Pemberhentian Anggota KPU
1)      Anggota KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota berhenti antarwaktu karena:
a.       meninggal dunia;
b.      mengundurkan diri dengan alasan yang dapat diterima;
c.       berhalangan tetap lainnya; atau
d.      diberhentikan dengan tidak hormat.
2)      Anggota KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota diberhentikan dengan tidak hormat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d apabila:
a.       tidak lagi memenuhi syarat sebagai anggota KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota;
b.      melanggar sumpah/janji jabatan dan/atau kode etik;
c.       tidak dapat melaksanakan tugas selama 3 (tiga) bulan secara berturut-turut tanpa alasan yang sah;
d.      dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
e.       dijatuhi pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana Pemilu;
f.       tidak menghadiri rapat pleno yang menjadi tugas dan kewajibannya selama 3 (tiga) kali berturut-turut tanpa alasan yang jelas; atau
g.      melakukan perbuatan yang terbukti menghambat KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota dalam mengambil keputusan dan penetapan sebagaimana ketentuan peraturan perundang-undangan.
            Di Inggris komisi penyelenggara Pemilihan Umum dinamakan The Electoral Comission dengan jumlah anggota antara lima sampai sembilan orang Comissioner yang ditetapkan olehRatu ata usul House of Commons untuk masa jabatan 10 tahun dan referendum yang dilaksanakan di Inggris, baik ytang bersifat lokal, regional, maupun nasional.
Di Indonesia, pada Pemilu 2004 mengenai penyelenggara dan penyelenggaraan Pemiludiatur dalam UU No. 12 tahun 2003. Selain itu, pengaturan tentang penyelenggara Pemilu juga terdapat dalam UU Nomor 23 Tahun 2003 tentang pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, dan UU Nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah.  Kemudian Pemerintah beserta DPR melakukan revisi terhadap Undang-Undang Penyelenggara Pemilu dengan tujuan:
1.    Menyatukan Undang-Undang Penyelenggara Pemilu, dalam satu Undang-undang, yaitu UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu jo UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu.
2.    Untuk mewujudkan suatu Pemilu yang lebih berkualitas, dalam Undang-Undang baru ini diatur upaya peningkatan fungsi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi dari Penyelenggara Pemilu.
3.    Mengingat Pemilu di Indonesia sangat kompleks, maka perlu ditingkatkan profesionalitas dan kualitas Penyelenggaraan Pemilu, agar mampu menyelenggarakan Pemilu dengan baik, sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
4.    Penyelenggara Pemilu adalah lembaga yang menyelenggarakan Pemilu yang terdiri atas Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggaraan Pemilu untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat, serta untuk memilih gubernur, bupati, dan walikota secara demokratis.
KPU disetiap tingkatan berkedudukan di ibukota masing-masing daerah, yaitu KPU berkedudukan di ibukota Negara Republik Indonesia, KPU Provinsi berkedudukan di ibukota Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota berkedudukan di ibukota Kabupaten/Kota. KPU Kabupaten/Kota bertanggung jawab kepada KPU Provinsi dan KPU Provinsi bertanggung jawab kepada KPU.
Dalam menjalankan tugasnya, KPU dibantu oleh Sekretariat Jendral yang dipimpin oleh Sekretaris Jendral dan Wakil Sekretaris Jendral, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota masing-masing dibantu oleh Sekretariat yang dibantu oleh Sekretaris. Sekretaris Jenderal, Wakil Sekretaris jenderal serta Sekretaris KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota adalah Pegawai Negeri Sipil.
Keanggota KPUberjumlah 7 orang. Dimana keanggotaan KPU terdiri dari seorang ketua merangkap anggota dan anggota. Ketua dipilih dari dan oleh anggota KPU sendiri, masa tugas KPU sendiri adalah 5 tahun, terhitung sejak pengucapan sumpah atau janji. Dari 7 orang anggota KPU, 3 orang diantaranya adalah perempuan. Sedangkan dalam keanggotaan KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota terdiri atas 5 orang, dengan seorang ketua yang merangkap menjadi anggota dan anggota. Ketua dipilih dari dan oleh anggota sendiri, masa tugasnya 5 tahun terhitung sejak pengucapan sumpah atau janji.
Tugas ketua KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota adalah:
a)      Memimpin rapat pleno dan seluruh kegiatan
b)      Bertindak untuk dan atas nama lembaga, keluar dan kedalam
c)      Memberikan keterangan resmi, tentang kebijaksanaan, dan kegiatan lembaga
d)     Menandatangani seluruh peraturan dan keputusan lembaga
Untuk menjadi anggota KPU, seseorang harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1.         Warga Negara Indonesia
2.         Pada saat pendaftaran berusia paling rendah 35 tahun atau pernah menjadi anggota KPU
3.         Setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, UUD Tahun 1945
4.         Mempunyai integritas, pribadi yang kuat, jujur, dan adil
5.         Memiliki pengetahuan dan keahlian dibidang tertentu yang berkaitan dengan penyelenggaraan Pemilu atau memiliki pengalaman sebagai penyelenggara Pemilu
6.         Berpendidikan paling rendah S-1
7.         Berdomisili di wilayah RI
8.         Sehat jasmani dan rohani berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan menyeluruh dari rumah sakit
9.        Tidak pernah menjadi anggota Partai Politilk yang dimyatakan dalam surat pernyataan yang sah atau sekurang-kurangnya dalam jangka waktu 5 tahun tidak lagi menjadi anggota Partai Politik
10.    Tidak pernah dipidana
11.    Tidak sedang menduduki jabatan politik, jabatan struktural, dan jabatan fungsional dalam jabatan negeri
12.    Bersedia tidak menduduki jabatan di pemerintahan dan Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah.
Pemilu diselenggarakan oleh suatu Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri  Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 22E ayat (5), “Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri”. Komisi ini memiliki tanggungjawab penuh atas penyelenggaraan pemilu, dan dalam menjalankan tugasnya, KPU menyampaikan laporan kepada Presiden dan DPR. Maksud dari sifat nasional, tetap, dan mandiri adalah:
a.       Sifat “nasional” dimaksudkan bahwa KPU sebagai penyelenggara mencakup seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
b.      Sifat “tetap” dimaksudkan bahwa KPU sebagai lembaga menjalankan tugasnya secara berkesinambungan, meskipun keanggotaannya dibatasi oleh masa jabatan tertentu.
c.       Sifat “mandiri” dimaksudkan bahwa dalam menyelenggarakan dan melaksanakan Pemilu, KPU bersikap mandiri dan bebas dari pengaruh pihak mana pun, disertai dengan transparansi dan pertanggungjawaban yang jelas sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Menurut Pasal 25 UU No. 12 Tahun 2003 jo. UU No. 15 Tahun 2011, tugas dan wewenang KPU adalah:
a.       Merencanakan penyelenggaraan KPU.
b.      Menetapkan organisasi dan tata cara semua tahapan pelaksanaan pemilu.
c.       Mengkoordinasikan, menyelenggarakan, dan mengendalikan semua tahapan pelaksanaan pemilu.
d.      Menetapkan peserta pemilu.
e.       Menetapkan daerah pemilihan, jumlah kursi, dan calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
f.       Menetapkan waktu, tanggal, tatacara pelaksanaan kampanye, dan pemungutan suara.
g.      Menetapkan hasil pemilu dan mengumumkan calon terpilih anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
h.      melakukan evaluasi dan pelaporan pelaksanaan pemilu.
i.        melaksanakan tugas dan kewenangan lain yang diatur undang-undang.[29]

2. Kewajiban KPU
a)      memperlakukan Pemilu secara adil dan serta guna menyukseskan Pemilu;
b)      menetapkan standarisasi serta kebutuhan barang dan jasa yang berkaitan dengan penyelenggaraan Pemilu berdasarkan peraturan perundang-undangan;
c)      memelihara arsip dan dokumen Pemilu serta mengelola barang inventaris KPU berdasarkan peraturan perundang-undangan;
d)     menyampaikan informasi kegiatan kepada masyarakat;
e)      melaporkan penyelenggaraan, Pemilu kepada Presiden selambat- lambatnya 7 (tujuh) hari sesudah pengucapan sumpah/janji anggota DPR dan DPR;
f)       mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran yang diterima dari APBN; dan
g)      melaksanakan kewajiban lain yang diatur undang-undang.
Dalam menjalankan tugas yang berkaitan dengan keungan, KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota bertanggung jawab sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan yang berkaitan dengan penyelenggaraan seluruh tahapan Pemilu, dan tugas lainnya, KPU memberikan laporan kepada Presiden dan DPR. Laporan disampaikan secara periodik dalam setiap tahapan Pemilu, sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Laporan juga ditembuskan kepada Bawaslu.
Untuk menjamin tercapainya penyelenggaraan Pemilu yang transparan dan dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan undang-undang ini, diperlukan pengawas Pemilu dengan kewenangan yang jelas sehingga fungsi pengawasannya dapat berjalan efektif.
2.      Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu)
Badan Pengawas Pemilihan Umum (disingkat Bawaslu) adalah badan yang bertugas mengawasi penyelenggaraan Pemilu di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bawaslu ditetapkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 Pasal 70 tentang Pemilihan Umum. Jumlah anggota Bawaslu sebanyak 5 (lima) orang. Keanggotaan Bawaslu terdiri atas kalangan professional yang mempunyai kemampuan dalam melakukan pengawasan dan tidak menjadi anggota partai politik.
Tugas dan wewenang Bawaslu diatur dalam Pasal 73 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum meliputi:
a.    mengawasi persiapan penyelenggaraan Pemilu yang terdiri atas:
1.    perencanaan dan penetapan jadwal tahapan Pemilu;
2.    perencanaan pengadaan logistik oleh KPU;
3.    pelaksanaan penetapan daerah pemilihan dan jumlah kursi pada setiap daerah pemilihan untuk pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota oleh KPU sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
4.    sosialisasi penyelenggaraan Pemilu; dan
5.    pelaksanaan tugas pengawasan lain yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
b.    mengawasi pelaksanaan tahapan penyelenggaraan Pemilu yang terdiri atas:
1.    pemutakhiran data pemilih dan penetapan daftar pemilih sementara serta daftar pemilih tetap;
2.    penetapan peserta Pemilu;
3.    proses pencalonan sampai dengan penetapan anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, pasangan calon presiden dan wakil presiden, dan calon gubernur, bupati, dan walikota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
4.    pelaksanaan kampanye;
5.    pengadaan logistik Pemilu dan pendistribusiannya;
6.    pelaksanaan pemungutan suara dan penghitungan suara hasil Pemilu di TPS;
7.    pergerakan surat suara, berita acara penghitungan suara, dan sertifikat hasil penghitungan suara dari tingkat TPS sampai ke PPK;
8.    pergerakan surat tabulasi penghitungan suara dari tingkat TPS sampai ke KPU Kabupaten/Kota;
9.    proses rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara di PPS, PPK, KPU Kabupaten/Kota, KPU Provinsi, dan KPU;
10.              pelaksanaan penghitungan dan pemungutan suara ulang, Pemilu lanjutan, dan Pemilu susulan;
11.              pelaksanaan putusan pengadilan terkait dengan Pemilu;
12.              pelaksanaan putusan DKPP; dan
13.              proses penetapan hasil Pemilu.
c.    mengelola, memelihara, dan merawat arsip/dokumen serta melaksanakan penyusutannya berdasarkan jadwal retensi arsip yang disusun oleh Bawaslu dan ANRI;
d.   memantau atas pelaksanaan tindak lanjut penanganan pelanggaran pidana Pemilu oleh instansi yang berwenang;
e.    mengawasi atas pelaksanaan putusan pelanggaran Pemilu;
f.     evaluasi pengawasan Pemilu;
g.    menyusun laporan hasil pengawasan penyelenggaraan Pemilu; dan
h.    melaksanakan tugas lain yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Bawaslu berwenang:
a. menerima laporan dugaan pelanggaran terhadap pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Pemilu;
b. menerima laporan adanya dugaan pelanggaran administrasi Pemilu dan mengkaji laporan dan temuan, serta merekomendasikannya kepada yang berwenang;
c. menyelesaikan sengketa Pemilu;
d. membentuk Bawaslu Provinsi;
e. mengangkat dan memberhentikan anggota Bawaslu Provinsi; dan
f. melaksanakan wewenang lain yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.


LEMBAGA SENGKETA PEMILU
Sengketa Pemilu
Salah satu jenis pelanggaran yang menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, menjadi salah satu kewenangan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) kabupaten/kota untuk menyelesaikannya adalah pelanggaran Pemilu yang bersifat sengketa. Sengketa adalah perbenturan antara dua kepentingan, antara kepentingan dan kewajiban hukum, atau antara kewajiban hukum dengan kewajiban hukum (konflik), yang dalam konteks Pemilu dapat terjadi antara peserta Pemilu dengan penyelenggara Pemilu, maupun antara peserta Pemilu dengan peserta Pemilu lainnya. Pada Pemilu tahun 2004, tata cara penyelesaian terhadap jenis pelanggaran ini diatur dalam satu pasal tersendiri, yaitu Pasal 129 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003. Terhadap sengketa Pemilu ini, yaitu perselisihan Pemilu selain yang menyangkut perolehan hasil suara, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tidak mengatur mekanisme penyelesaiannya.
Perselisihan hasil Pemilu adalah keberatan pemohon terhadap penetapan hasil Pemilu oleh KPU.  Keberatan dimaksud karena jika pemohon memiliki alasan bahwa penghitungan hasil perolehan suara yang ditetapkan oleh KPU berbeda dengan penghitungan hasil perolehan suara menurut pemohon.
Sengketa juga dapat terjadi antara KPU dengan peserta Pemilu atau pihak lain yang timbul akibat dikeluarkannya suatu Peraturan dan Keputusan KPU. Kebijakan tersebut, karena menyangkut banyak pihak, dapat dinilai merugikan kepentingan pihak lain seperti peserta Pemilu (partai politik dan perorangan), media/pers, lembaga pemantau, pemilih maupun masyarakat. Berbeda dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 yang menegaskan bahwa Keputusan KPU bersifat final dan mengikat, dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tidak ada ketentuan yang menegaskan bahwa Keputusan KPU bersifat final dan mengikat. Dengan demikian maka Keputusan KPU yang dianggap merugikan terbuka kemungkinan untuk diubah. Persoalannya, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 (UU Pemilu) juga tidak memberikan “ruang khusus” untuk menyelesaikan ketidakpuasan tersebut.
Contoh kasus yang telah nyata ada adalah : (1) sengketa antara calon peserta Pemilu dengan KPU yang menyangkut Keputusan KPU tentang Penetapan Partai Politik Peserta Pemilu. Keputusan KPU tersebut dianggap merugikan salah satu atau beberapa calon peserta Pemilu. (2) sengketa antara partai politik peserta Pemilu dengan anggota atau orang lain mengenai pendaftaran calon legislatif. Pencalonan oleh partai politik tertentu dianggap tidak sesuai dengan atau tanpa seijin yang bersangkutan.
Untuk sengketa Pemilu yang berkaitan dengan hasil perolehan suara Pemilu, lembaga kehakiman yang berwenang menyelesaikan adalah Mahkamah Konstitusi. Jika melihat pada sejarah bangsa Indonesia, pemikiran mengenai pembentukan Mahkamah Konstitusi sudah muncul sebelum Indonesia merdeka. Hal ini dapat diketahui dari pembahasan Rancangan Undang-Undang Dasar oleh BPUPKI. Anggota BPUPKI, yaitu Prof. MR. M. Yamin mengusulkan agar selain Mahkamah Agung seharusnya dibentuk juga Mahkamah Konstitusi yang berfungsi sebagai pembanding undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Namun akhirnya usulan itu gagal.
Usulan atas pembentukan Mahkamah Konstitusi muncul kembali setelah era reformasi terutama pada waktu pembahasan rancangan perubahan Undang-Undang Dasar 1945. Perubahan yang terjadi pada masa reformasi telah menyebabkan perubahan dari supremasi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menjadi supremasi konstitusi. Karena perubahan yang mendasar itu, maka perlu disediakan sebuah mekanisme institusional dan konstitusional, serta hadirnya lembaga yang mengatasi sengketa antar lembaga negara yang kini telah menjadi sederajat, saling mengimbangi, dan saling mengendalikan (checks and balances). Seiring dengan itu, muncul desakan agar pengujian peraturan perundang-undangan tidak hanya terbatas pada peraturan di bawah undang-undang melainkan juga atas undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Kewenangan melakukan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar itu diberikan kepada sebuah mahkamah tersendiri di luar Mahkamah Agung (MA). Atas dasar pemikiran itu, adanya Mahkamah Konstitusi (MK) yang berdiri sendiri di samping MA menjadi sebuah keniscayaan.
Setelah melalui proses pembahasan yang mendalam, akhirnya MK menjadi kenyataan dengan disahkannya Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 24C Undang-Undang Dasar 1945, yang menjadi perubahan ketiga dari Undang-Undang Dasar 1945 pada Sidang Tahunan MPR tanggal 21 November 2001. Dengan disahkannya kedua pasal tersebut, maka Indonesia menjadi negara ke-78 yang membentuk Mahkamah Konstitusi dan menjadi negara pertama pada abad ke-21 yang membentuk lembaga kekuasaan kehakiman tersebut. Untuk menjalankan amanat Undang-Undang Dasar 1945 tersebut, pemerintah telah mengeluarkan peraturan khusus, yaitu Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Kewenangan MK tersebut kemudian dijabarkan dalam UU No.23 Tahun 2003. Pasal 10 mengatakan MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
1.      Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.      Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
3.      Memutus pembubaran partai politik; dan
4.      Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
5.      Wajib memberikan putusan atas pendapat DPR jika Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah  melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.
          Dalam Perkara perselisihan penghitungan hasil Pemilu UU No. 23 tahun 2004 menysyratkan: Pertama, pemohon adalah:  1. perorangan warga negara Indonesia calon anggota DPD peserta pemilihan umum; 2. pasangan Capres dan Cawapres peserta pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden; dan c. Parpol peserta Pemilu. Kedua, permohonan hanya dapat diajukan terhadap penetapan hasil Pemilu yang dilakukan secara nasional oleh KPU yang mempengaruhi: a.terpilihnya calon anggota DPD; b. penentuan pasangan calon yang masuk pada putaran kedua pemilihan Presiden dan Wakil Presiden serta terpilihnya pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden; c. perolehan kursi Parpol peserta Pemilu di suatu daerah pemilihan. Ketiga, permohonan hanya dapat diajukan dalam jangka waktu paling lambat 3 X 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak KPU mengumumkan penetapan hasil Pemilu secara nasional. 
          Syarat penting dari permohonan adalah uraian yang jelas tentang: Pertama, kesalahan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh KPU dan hasil penghitungan yang benar menurut pemohon. Kedua, permintaan untuk membatalkan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh KPU dan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar menurut pemohon. Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai permohonan atas perselisihan hasil Pilpres wajib diputus dalam jangka waktu: paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak permohonan diregister dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi; paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak permohonan atas hasil Pemilu legislatif diregister dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi.
          Bagaimana isi putusan MK dalam perkara hasil Pemilu. UU MK mengatakan:  dalam hal MK berpendapat bahwa pemohon dan/atau permohonannya tidak memenuhi syarat, maka amar putusan menyatakan permohonan tidak dapat diterima, sebaliknya dalam hal MK berpendapat bahwa permohonan beralasan, maka amar putusan menyatakan permohonan dikabulkan.
          Dalam hal permohonan dikabulkan MK menyatakan membatalkan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh KPU dan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar. Jika permohonan ternyata menurut MK tidak beralasan, maka amar putusan menyatakan permohonan ditolak.
Mekanisme Penyelesaian Sengketa Pemilu di Mahkamah Konstitusi
Sesuai dengan Konstitusi yang dijabarkan dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, perselisihan tentang hasil perolehan suara Pemilu diselesaikan melalui Mahkamah Konstitusi. Tata cara penyelesaian perselisihan perolehan hasil suara pemilihan umum tahun 2009 telah diatur dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 14 Tahun 2008 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD.
Pada sengketa hasil Pemilu tahun 2004, Mahkamah Konstitusi telah memutus 252 perkara yang diajukan oleh partai politik, 23 perkara yang diajukan oleh calon anggota DPD, dan 1 perkara yang diajukan oleh pasangan calon presiden/calon wakil presiden. Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap 252 perkara yang diajukan partai-partai politik itu terbagi kepada empat jenis, yaitu permohonan dikabulkan sebanyak 41 perkara (14,96%), permohonan ditolak sebanyak 135 perkara (49,27%), permohonan tidak dapat diterima sebanyak 89 perkara (32,48%) dan 9 perkara (3,28%) ditarik kembali oleh pemohon. Sedangkan pada Pemilu legislatif 2009, Mahkamah Konstitusi telah menerima 71 permohonan yang meliputi 42 permohonan untuk partai politik dan 29 permohonan dari calon anggota DPD. Permohonan yang diajukan oleh partai politik meliputi seluruh partai politik peserta Pemilu 2009, baik nasional maupun partai lokal di Aceh, kecuali Partai Rakyat Aceh dan Partai Aceh Aman Sejahtera. Sementara itu perkara yang diajukan calon anggota DPD berasal dari daerah pemilihan Sulawesi Tenggara, Papua Barat, Papua, Maluku, Sumatera Utara, Jawa Tengah, Gorontalo, Kepulauan Riau, Lampung, Nanggroe Aceh Darussalam, lampung, Jambi, Banten, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah dan Maluku Utara.
Permohonan sengketa Pemilu diajukan oleh peserta Pemilu paling lambat 3 x 24 jam sejak KPU mengumumkan penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara nasional. Pengajuan permohonan disertai dengan alat bukti pendukung seperti sertifikat hasil penghitungan suara, sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan setiap jenjang, berita acara penghitungan beserta berkas pernyataan keberatan peserta, serta dokumen tertulis lainnya. Apabila kelengkapan dan syarat permohonan dianggap tidak cukup, panitera Mahkamah Konstitusi memberitahukan kepada pemohon untuk diperbaiki dalam tenggat waktu 1 x 24 jam. Apabila dalam waktu tersebut perbaikan kelengkapan dan syarat tidak dilakukan, maka permohonan tidak dapat diregistrasi.
Tiga hari kerja sejak permohonan tercatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi, panitera mengirimkan permohonan kepada KPU. Dalam permohonan tersebut disertakan juga permintaan keterangan tertulis dari KPU yang dilengkapi dengan bukti-bukti hasil penghitungan suara yang diperselisihkan. Keterangan tertulis tersebut harus sudah diterima Mahkamah Konstitusi paling lambat satu hari sebelum hari persidangan. Mahkamah menetapkan hari sidang pertama dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja sejak permohonan diregistrasi. Penetapan hari sidang pertama diberitahukan kepada pemohon dan KPU paling lambat 3 (tiga) hari sebelum hari persidangan.
Pemeriksaan permohonan dibagi menjadi :
1)      pemeriksaan pendahuluan, untuk memeriksa kelengkapan dan kejelasan materi permohonan. Panel Hakim yang terdiri atas 3 orang hakim konstitusi wajib memberi nasihat kepada pemohon untuk melengkapi dan/atau memperbaiki permohonan apabila terdapat kekurangan paling lambat 1 x 24 jam.
2)      pemeriksaan persidangan, yang dilakukan untuk memeriksa kewenangan Mahkamah Konstitusi, kedudukan pemohon, pokok permohonan, keterangan KPU dan alat bukti oleh Panel Hakim dan/atau Pleno Hakim dalam sidang yang terbuka untuk umum.
Putusan Mahkamah Konstitusi dijatuhkan paling lambat 30 hari kerja sejak permohonan dicatat dalam buku registrasi perkara konstitusi. Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan selanjutnya disampaikan kepada pemohon, KPU dan Presiden serta dapat disampaikan kepada pihak terkait. KPU, KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota wajib menindaklanjuti Putusan tersebut.
Sebagai salah satu tahapan dalam penyelenggaraan Pemilu, penyelenggaraan peradilan sengketa hasil Pemilu yang menjadi wewenang MK sangat dipengaruhi oleh pelaksanaan tahapan-tahapan sebelumnya. Adanya perselisihan hasil penghitungan suara antara penyelenggara dengan peserta Pemilu pada kenyataannya tidak hanya terjadi karena kekeliruan dalam proses penghitungan suara atau rekapitulasi suara disetiap tingkatan, tetapi juga dapat terjadi karena adanya pelanggaran Pemilu yang mempengaruhi hasil penghitungan suara. Karena itu peran lembaga-lembaga lain dalam penyelesaian pelanggaran Pemilu disetiap tahapan sangat penting artinya bagi kelancaran peradilan perselisihan hasil Pemilu.
Pada saat pelaksanaan wewenang memutus sengketa hasil pemilu, kesiapan pemohon dan termohon sangat menentukan kelancaran persidangan. Pemohon yang dalam hal ini adalah peserta Pemilu dibatasi waktunya mengajukan permohonan selambat-lambatnya 3x24 jam setelah pengumuman hasil secara nasional oleh KPU. Karena itu untuk dapat membuat dan mengajukan permohonan yang didukung alat bukti kuat, pemohon harus memiliki data dan saksi yang lengkap. Hal itu membutuhkasn kesiapan baik dari sisi mekanisme internal maupun sumber daya manusia peserta Pemilu. Kesiapan juga diperlukan oleh KPU sebagai termohon serta pihak terkait lainnya.
Untuk melaksanakan wewenang konstitusional memutus hasil Pemilu 2009, Mahkamah Konstitusi telah melakukan berbagai persiapan, antara lain dari sisi hukum acara, koordinasi dan hubungan antar lembaga, serta sarana dan prasarana. Dari sisi hukum acara, yaitu dikeluarkannya peraturan tentang Pedoman Beracara Perselisihan Hasil Pemilu. Mengingat pelaksanaan wewenang memutus sengketa hasil Pemilu terkait dengan tahapan pelaksanaan Pemilu sebelumnya serta terkait pula dengan kesiapan pihak-pihak yang akan bersengketa, Mahkamah Konstitusi telah berkoordinasi dengan berbagai lembaga, antara lain dengan KPU, Bawaslu, partai politik dan Mahkamah Agung. Koordinasi tersebut akan dilanjutkan secara intensif selama pelaksanaan Pemilu serta diperluas dengan lembaga-lembaga lain yang terlibat dan memiliki peran dalam penyelenggaraan Pemilu.
Untuk memberikan pelayanan terbaik kepada semua pihak dalam perkara perselisihan hasil Pemilu, sekaligus untuk memberikan akses yang mudah dan cepat kepada keadilan dan pengadilan, telah dioperasikan pula sarana video conference. Malalui sarana tersebut dapat dilakukan konsultasi perkara secara online, penyampaian dokumen online, persidangan jarak jauh serta akses risalah dan putusan secara online. Fasilitas video conference tersebut ditempatkan di 34 perguruan tinggi yang tersebar diseluruh Indonesia sehingga masyarakat diseluruh pelosok Indonesia memiliki akses yang sama terhadap MK dan jarak tidak lagi menjadi penghambat terciptanya persamaan di hadapan hukum (equality before the law).

PENUTUP
A.    Kesimpulan
Pada zaman Yunani kuno ide mengenai demokrasi sudah terpikirkan oleh ilmuan masa itu saat terjadi perkembangan pesat mengenai pemikiran tentang hukum dan negara. Ditandai dengan adanya penerapan sebuah konsep demokrasi klasik, berupa pemilihan secara langsung oleh rakyat (demokrasi langsung/ direct democracy). Sehingga rakyat diberikana hak secara langsung untuk terlibat dalam pembuatan keputusan politik. Secara etimologis “demokrasi” terdiri dari dua kata yang berasal dari bahasa Yunani yakni “demos” berarti rakyat dan cratein atau cratos berarti kekuasaan atau kedaulatan.
Sejarah demokrasi di Indonesia antara lain, Demokrasi Parlementer (18 Agustus 1945 - 5 Juli 1959), Demokrasi Terpimpin (5 Juli 1959 – 11 Maret 1966), Demokrasi Pancasila (Orde Baru) (11 Maret 1966 – 21 Mei 1999), Demokrasi Setelah Reformasi (21 Mei 1999 – sekarang)
Pemilihan umum (Pemilu) adalah salah satu cara dalam sistem demokrasi untuk memilih wakil-wakil rakyat yang akan duduk di lembaga perwakilan rakyat, serta salah satu bentuk pemenuhan hak asasi warga Negara di bidang politik. Pemilu dilaksanakan untuk mewujudkan kedaulatan rakyat
Pemilihan umum dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:
·            Cara langsung
·            Cara bertingkat
3.      Pemilu merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Dengan berbagai variasiatau model pemilu, diantaranya Sistem Pemilu Mekanis dan Organis, Sistem Distrik (Single Member Constituency) dan Sistem Proporsional (Multi Member Constituency)
Pemilihan umum di Indonesia menganut asas "Luber" yang merupakan singkatan dari "Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia". Kemudian di era reformasi berkembang pula asas "Jurdil" yang merupakan singkatan dari "Jujur dan Adil".
Sesuai dengan amanat Pasal 22E ayat (5), bahwa pemilihan umum diselenggarakan oleh sebuah komisi pemilihan umum yang telah dijabarkan dan diatur dalam Undang-undang nomor 15 tahyn 2011 tentang penyelenggara pemilu. Menurut UU no. 15 tahun 2011 penyelenggara pemilu terdiri dari Komisi pemilihan umum (KPU) yang bertugas sebagai pelaksana (eksekutor) dalam penyelenggaraan pemilu dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang mengawasi penyelenggaraan Pemilu di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Disamping KPU dan Bawaslu diatur sebuahu lembaga independent pula yang memiliki tugas menjaga harkat dan martabat penyelenggara pemilu.
B.     Saran
Pemilu sebagai wujud pelaksanaan demokrasi di Indonesia seharusnya menjadi hal penting dan sakral bagi setiap orang yang melaksanakannya. Tetapi seperti yang kita ketahui sekarang, walaupun pendidikan kewarganegaraan telah diberikan semenjak jenjang sekolah dasar, tetap tidak mendorong elit politik maupun masyarakat sendiri untuk bersikap Luber Jurdil. Ketika kita memandang secara luas, tentu penyampaian sikap kewarganegaraan melalui jenjang sekolah masih belum maksimalkarena masih banyaknya anak tidak bersekolah. Meski perkembangan teknologi semakin canggih, segala informasi tercakup didalamnya, namun tidak semua rakyat sempat mengenyam canggihnya teknologi tersebut sehingga dapat dipastikan masih membutuhkan komunikasi langsung kepada masyarakat sendiri. Dengan adanya Otonomi Daerah, Pemerintah Pusat dapat memberikan penyuluhan pada setiap daerah, melalui Pemerintah Daerah yang disampaikan kepada setiap perwakilan organisasi muda yang ada di setiap desa (Karang Taruna) agar penyuluhan kepada masyarakat merata dan lebih maksimal.
Kepada elit politik secara khusus, mestinya mereka lebih memahami makna demokrasi dan pelaksanaan pemilu. Tidak mementingkan ambisi kekuasaan dan kepentingan golongan. Mengingat demokrasi sendiri adalah kepemimpinan dari rakyat,oleh rakyat, dan untuk rakyat. Maka segala kebijakan politik harus mempertimbangkan suara rakyat dengan tidak melupakan unsur moralitas kebudayaan bangsa.


DAFTAR PUSTAKA

Abudullah, Rozali. Mewujudkan Pemilu yang Lebih Berkualitas, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2009.
Ahmad Syafi’I Ma’arif, Islam Dan Politik; Teori Belahan Bamboo Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965), Yogyakarta: Gema Insani Press, 1996.
Asshiddiqie, Jimly. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Raja Wali, Jakarta, 2014.                                  
Budiardjo, Miriam, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta, Gramedia, 1986.
Dede Rosyanda, A.Ubaidillah, dkk. Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) : Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, Edisi Revisi, Jakarta Timur: Prenada Media, 2003.
Hastomo, Makalah Pelaksanaan demokrasi di Indonesia dari Tahun 1945-sekarang,
Lorenz Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia, 1996.
Martitah dan Hery Abduh,E-book Hukum Tata Negara, Pusat Penjamin Mutu UNNES, Semarang: t. th
Miriam Budiardjo, edisi revisi Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta:Gramedia Pustaka Utama,2008.
Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta : PT Gramedia, 1983.
R. Saragih, Bintan, Lembaga Perwakilan dan Pemilihan Umum di Indonesia, Jakarta, Gaya Media Pratama,1988.
Soehino, Ilmu Negara, cet-8,Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2008.
Wasino, Demokrasi, Dulu, Kini, Dan Esok, Makalah disampaikan dalam Diskusi Sejarah “Wajah Demokrasi Indonesia” diselenggarakan oleh Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta, Departmen Kebudayaan dan Pariwisata, di Gedung LPMP, Semarang, tanggal 30-31 Maret 2009.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Amandemen I, II, III dan IV.
Undang-undang Nomor 12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD.
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum.
Undang-Undang Nomor 23 tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil Presiden.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum.
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota  DPR, DPD, dan DPRD yang menyatakan bahwa Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.




[1] Dede Rosyanda, A.Ubaidillah, dkk. Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) : Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, Edisi Revisi (Jakarta Timur: Prenada Media, 2003), hlm. 125.
[2] Dede Rosyanda, A.Ubaidillah, dkk. Pendidikan..., hlm. 110.
[3] Lorenz Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, 1996), hlm. 154.
[4] Ahmad Syafi’I Ma’arif, Islam Dan Politik; Teori Belahan Bamboo Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965), (Yogyakarta: Gema Insani Press, 1996), hlm. 196.
[5] Dede Rosyanda, A.Ubaidillah, dkk. Pendidikan…,hlm. 125.
[6] Soehino, Ilmu Negara, cet-8 (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2008), hlm. 44.
[7] Dede Rosyanda, A.Ubaidillah, dkk. Pendidikan…,hlm. 126.
[8] Dede Rosyanda, A.Ubaidillah, dkk. Pendidikan…, hlm. 126-127.
[9] Dede Rosyanda, A.Ubaidillah, dkk. Pendidikan…, hlm. 127.
[10] Dede Rosyanda, A.Ubaidillah, dkk. Pendidikan…, hlm. 127-129.
[11] Wasino, Demokrasi, Dulu, Kini, Dan Esok, Makalah disampaikan dalam Diskusi Sejarah “Wajah Demokrasi Indonesia” diselenggarakan oleh Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta, Departmen Kebudayaan dan Pariwisata, di Gedung LPMP, Semarang, tanggal 30-31 Maret 2009, hlm.6.
[12] Hastomo, Makalah Pelaksanaan demokrasi di Indonesia dari Tahun 1945-sekarang, hlm. 4-5.
[13] Wasino, Demokrasi, Dulu…., hlm. 6.
[14] Ibid, hlm. 7.
[15] Hastomo, Makalah Pelaksanaan demokrasi..., hlm. 5
[16] Wasino, Demokrasi, Dulu…., hlm. 15.
[17] Hastomo, Makalah Pelaksanaan demokrasi...,hlm. 6.
[18] Karena jalan demokratis berupa referendum dari rakyat sehingga menghasilkan suara bahwa Papua Nugini memilih untuk memisahkan diri dari wilayah NKRI dan membentuk Negara sendiri.
[19] Wasino, Demokrasi, Dulu…., hlm. 16
[20] Ibid, hlm. 17
[21]Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta:Gramedia, 1986), hlm. 120.
[22]Undang-UndangNomor 3 Tahun 1999 tentangPemilihanUmum
[23]Undang-undangNomor 8 Tahun 2012 tentangPemilihanUmumAnggota  DPR, DPD, dan DPRD
[24]Bintan R. Saragih, Lembaga Perwakilan dan Pemilihan Umum di Indonesia, (Jakarta: Gaya Media Pratama,  1988), hlm. 78.
[25]Martitah dan Hery Abduh,E-book Hukum Tata Negara, (Pusat Penjamin Mutu UNNES, Semarang: t. th), hlm. 46
[26]Undang-Undang Nomor 23 tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil Presiden
[27]Tim Eska Media,  Edisi Lengkap UUD 1945, (Jakarta: Eska Media. 2002, hlm.51.
[28]Miriam Budiardjo, edisi revisi Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta:Gramedia Pustaka Utama,2008), hlm. 58-64.
[29]UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD. hlm.18

Tidak ada komentar:

Posting Komentar