Kamis, 15 Januari 2015

ANALISIS TERHADAP PENGEMBANGAN PENERAPAN WASIAT WAJIBAH



 A.  Rekonstruksi Wasiat Wajibah: Perspektif Perundang-undangan
 Dalam pembahasan sebelumnya telah dipaparkan bahwa Pasal 209 KHI yang mengatur tentang wasiat wajibah  berbeda dengan wasiat wajibah yang dikenal di negara-negara Islam pada umumnya yang mengidentifikasikan cucu yatim sebagai penerima wasiat wajibah. Para ahli hukum Islam Indonesia melalui KHI, telah menggunakan wasiat wajibah untuk memberikan hak kepada anak angkat dan orang tua angkat dengan maksimun penerimaan sepertiga dari harta warisan.  
Adapun ide yang ada dibalik semangat untuk mengkonstruksi wasiat wajibah  tersebut  adalah para ahli hukum Islam Indonesia merasa berkewajiban untuk menjembatani kesenjangan antara hukum Islam dan hukum adat. Karena sebagaimana diketahui hukum Islam secara keras menolak lembaga adopsi, sementara di kalangan keluarga Islam di Indonesia banyak ditemui praktik adopsi, maka para ahli hukum Islam di Indonesia berusaha  mengakomodasikan sistem nilai yang ada dalam kedua hukum itu dengan jalan mengambil  institusi wasiat wajibah yang berasal dari hukum Islam sebagai sarana untuk menerima fasilitas nilai moral yang ada dibalik praktik adopsi dalam hukum adat. Usaha ini menurut Ratno Lukito, harus dilakukan karena realitas sosial menunjukkan bahwa  masyarakat yang memperaktikkan adopsi tersebut, orang tua angkat selalu memikirkan kesejahteraan anak angkatnya ketika mereka sudah meninggal.[1]
Keberadaan KHI menetapkan lembaga wasiat wajibah terhadap anak angkat dan ayah angkat yang berbeda dengan lembaga wasiat wajibah yang dikenal di negara-negara Islam lain dapat merangsang tumbuhnya pemahaman yang antisipatif terhadap perkembangan kebutuhan hukum. Beberapa tahun terakhir ini, asumsi  tersebut  secara factual  dipraktikan oleh  Mahkamah Agung yang merekonstruksi wasiat wajibah untuk memutuskan beberapa kasus yang belum ada ketentuan hukumnya. Kasus-kasus yang dimaksud adalah:
Pertama, Keputusan MA No. 51.K/AG.1999 yang memutuskan memberikan wasiat wajibah kepada saudara kandung non muslim. Padahal, sebagaimana diketahui konstruksi wasiat wajibah dalam Kompilasi Hukum Islam dianalogikan kepada anak angkat dan orang tua angkat.[2] Kedua, Keputusan MA No. 16 K/AG/2010 tentang hak mewaris istri non muslim dari suami yang beragama Islam melalui wasiat wajibah.[3] Ketiga, Mahkamah Agung  membuat terobosan hukum untuk menetapkan  hak-hak anak yang lahir dari hubungan di luar nikah dan pernikahan bawah tangan (sirri dan mut”ah), melalui wasiat wajibah. Ketentuan tersebut tercantum dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No 7 tahun 2012 hasil pembahasan Komisi Bidang Peradilan Agama MA. SEMA ini mengikat hakim-hakim peradilan-peradilan agama untuk menguatkan putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 dalam pengujian Pasal 43 ayat 1 UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.[4]
Rekonstruksi tersebut dapat dipahami jika dilihat dari segi pendekatan perundang-undangan: Pertama,  tidak adanya  hukum positif yang mendasari pemberian wasiat wajibah bagi seorang non muslim mendorong Mahkamah Agung melakukan upaya penemuan hukum dalam memutus perkara-perkara  (kasasi) tersebut. Hal ini sejalan dengan bunyi pasal 49 UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama bahwa hukum waris yang dipraktikkan di Pengadilan Agama adalah hukum waris Islam, sedangkan hukum materiilnya diatur dalam Buku II KHI. KHI ini tidak berbentuk undang-undang melainkan melalui Instruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991 dan Keputusan Menteri Agama RI No. 154 Tahun 1991 tentang Pelaksanaan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991.[5]  KHI yang kedudukannya dalam sistem hukum nasional tetap masih berada di luar tatanan hukum positif, kedudukannya masih mirip dengan berbagai kitab fikih yang digunakan sebagai book of authority dalam Peradilan Agama, namun  sesuai dengan tujuan dikeluarkannya INPRES tersebut, dapat dijadikan sebagai salah satu pedoman oleh seorang hakim di dalam memutuskan suatu perkara. 
Di samping alasan tersbut di atas, perlu diingat pula ketentuan pasal 10 Undang-undang Kekuasaan Kehakiman bahwa “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”.[6] Dengan kata lain, pengadilan harus menemukan sendiri hukumnya secara independen. Terkait dengan hal ini, dalam pasal 5 ayat (1) Undang-undang tersebut dijelaskan bahwa ”Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Ketentuan inilah yang menjadi dasar hukum KHI dapat digunakan sebagai rujukan tak langsung atau sebagai pedoman.  Ketentuan Pasal di atas  sejalan dengan pasal 229 KHI bahwa “Hakim dalam menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan kepadanya wajib memperhatikan dengan sungguh-sungguh nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, sehingga putusannya sesuai dengan rasa keadilan”.    
Logika hukum lain yang menjadi pertimbangan  Mahkamah Agung dalam   memutuskan kasus-kasus tersebut di atas, dengan merekonstruksi wasiat wajibah yang semula dalam KHI hanya diperuntukkan kepada anak angkat dan orang tua angkat kemudian diberlakukan juga kepada  saudara kandung non muslim, istri non muslim dari suami yang beragama Islam, dan menetapkan  hak-hak anak yang lahir dari hubungan di luar nikah dan pernikahan bawah tangan (sirri dan mut”ah), melalui wasiat wajibah,  padahal untuk kasus yang pertama dan yang kedua (perbedaan agama) tetap merupakan salah satu penghalang untuk dapat saling mewarisi, serta kasus yang ketiga mereka dianggap tidak mempunyai hubungan keperdataan dengan ayahnya, sehingga tidak termasuk sebab saling mewarisi. Mengenai penghalang untuk menerima warisan karena perbedaan agama, perlu diketahui bahwa aturan ini menimbulkan banyak kesulitan di wilayah-wilayah yang anggota-anggota keluarganya menganut berbagai macam agama,[7] Indonesia termasuk dalam kategori wilayah ini, oleh karena itu    Mahkamah Agung berusaha memutuskan kasus-kasus tersebut sesuai dengan amanat Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 10 Undang-undang Kekuasaan Kehakiman serta Pasal 229 KHI sebagaimana disebutkan di atas. Dan hasil penemuan hukum yang diyakini dapat menyelesaikan kesulitan tersebut adalah dengan  memberikan wasiat wajibah kepada saudara kandung non muslim dan istri non muslim.
Keputusan Mahkamah Agung ini dapat menjaga keutuhan keluarga dan mengakomodir adanya realitas sosial masyarakat Indonesia yang pluralistik yang  terdiri dari berbagai etnis dan keyakinan, serta kemaslahatan untuk memenuhi rasa keadilan. Pemberian wasiat wajibah kepada saudara kandung non muslim dan istri non muslim ini telah memberikan sumbangan yang baru dalam pembaharuan hukum Islam di Indonesia, tapi bersifat  terbatas. Artinya, ahli waris non muslim tetap sebagai orang yang terhalang untuk mendapatkan bagian dari harta peninggalan saudara kandungnya yang muslim dan istri non muslim dari suami yang muslim.  
Adapun pertimbangan hukum Mahkamah Agung membuat terobosan hukum untuk menetapkan  hak-hak anak yang lahir dari hubungan di luar nikah dan pernikahan bawah tangan (sirri dan mut”ah), melalui wasiat wajibah, berdasarkan  Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No 7 tahun 2012 hasil pembahasan Komisi Bidang Peradilan Agama MA. SEMA ini mengikat hakim-hakim peradilan-peradilan agama untuk menguatkan putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 dalam pengujian Pasal 43 ayat 1 UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pertimbangan dari segi perundang-undangan adalah tercabutnya hak-hak keperdataan anak yang disebabkan bukan karena perbuatannya, sesungguhnya mencederai rasa keadilan dan bertentangan dengan beberapa prinsip yang terdapat dalam undang-undang. Diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Bertentangan dengan prinsip persamaan di hadapan hukum (equality before the law), karena dengan mencabut hak keperdataan anak diluar nikah terhadap ayah menjadikan kedudukan anak tidak sama di hadapan hukum.
2. Bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945 Pasal 27 ayat (1) yang berbunyi : “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.
3. Bertentangan dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 4 yang berbunyi : “Setiap anak berhak untuk hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.
4. Dengan hilangnya hak-hak keperdataan anak dari ayahnya di atas, maka hilang pula hak-hak anak uuntuk mendapat pendidikan, nafkah, perlindungan dan sebagainya dari ayahnya tersebut. Hal ini tidak sesuai dengan Pasal 1 ayat (12) UU No. 23 Tahun 2002 yang berbunyi : “Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan Negara”, dan beberapa melanggar lainnya seperti Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan undang-undang yang lainnya.
5. Bertentangan dengan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang juga mengatur tentang perlindungan anak yang menyatakan “Setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat, dan Negara. Hak anak adalah hak asasi manusia dan untuk kepentingannya hak anak itu diakui dan dilindungi oleh hukum bahkan sejak dalam kandungan. Setiap anak sejak kelahirannya, berhak atas suatu nama dan status kewarganegaraan” .
6. Bertentangan dengan Deklarasi “Social Welfare” dan “Human Rights” untuk anak (Deklarasi Jenewa, 1924) asas 1 yaitu : “Anak-anak berhak menikmati seluruh haknya yang tercantum dalam deklarasi ini. Semua anak tanpa pengecualian yang bagaimanapun berhak atas hak-hak ini, tanpa membedakan suku bangsa, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat dibidang politik atau dibidang lainnya, asal-usul bangsa atau tingkatan social, kaya atau miskin, keturunan atau status, baik dilihat dari dirinya sendiri maupun dari segi keluarganya” [8]
 B. Rekonstruksi Wasiat Wajibah: Perspektif Hukum Progresif   
 Sebagaimana dipaparkan di dalam Bab II, bahwa hukum progresif mempunyai empat karakteristik, yaitu: Pertama,  Hukum progresif berpendirian hukum adalah untuk manusia; kedua;  Hukum progrersif menolak untuk mempertahankan status quo dalam berhukum; ketiga, Peradaban hukum tertulis akan melahirkan akibat penerapan hukum bekerja seperti mesin. Harus ada cara untuk melakukan pembebasan dari hukum formal; keempat, Hukum progresif memberikan perhatian besar terhadap peranan perilaku manusia dalam hukum. Karena peranan perilaku menentukan teks formal suatu peraturan tidak dipegang secara mutlak.
Dari paparan tersebut, dapat dipahami bahwa karakteristik utama dari hukum progresif terdapat pada  karakterstik yang pertama dan kedua. Sedangkan karakteristik ketiga dan keempat adalah karakteristik turunan dari karakteristik kedua. Adapun karakteristik keempat  tidak lain adalah turunan dari karakteristik pertama. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa karakteristik inti dari hukum progresif adalah hukum untuk (kepentingan) manusia dan menolak mempertahankan status quo dalam berhukum. Hal ini sejalan dengan prinsip penetapan kemaslahatan dalam  hukum Islam antara lain:  al-dlararu yuzalu (semua yang mengandung kemadaran harus dihindari),  dlar’u al-mafasid muqaddamun ‘ala jalb al-mashalih (menghindari yang membawa kerusakan didahulukan dari sesuatu tindakan yang membawa kemslahtan), dan al-masaqqah tajlib al-taysir (segala kesulitan dapat mendatangkan kemudahan),[9] maka ketiga prinsip penetapan kemaslahatan dalam hukum Islam itu memiliki kesesuaian dengan karakteristik pertama dari hukum progresif, yaitu hukum untuk manusia.  Berdasarkan kaidah-kaidah tersebut dapat dipahami bahwa syariat Islam memiliki perhatian yang sangat besar terhadap kemudahan dan keringanan hukum bagi manusia. Hal ini berarti, hukum Islam memposisikan hukum bagi kemaslahatan manusia, hal ini sesuai dengan semangat dari hukum progresif, yaitu hukum untuk manusia. Pembangunan hukum Islam juga sangat memperhatikan perilaku manusia dalam berhukum sebagaimana salah satu karakteristik dari hukum progresif (karakteristik keempat). Hal ini dibuktikan dengan kaidah al-masaqqah tajlib al-taysir (segala kesulitan dapat mendatangkan kemudahan)
Sebagaimana dijelaskan dalam bab III,  bahwa pasal 209 yang mengatur tentang wasiat wajibah melalui KHI adalah keberhasilan yang dicapai oleh bangsa Indonesia yang memiliki keterkaitan dengan semangat hukum progresif.  KHI, khuusnya pasal 209 telah menggeser eksistensi  ketentuan hukum kewarisan yang ada dalam kitab-kitab fikih klasik.  Setelah adanya  KHI, beberapa pasal yang mengatur mengenai hukum kewarisan di Indonesia dapat dikatakan sebagai hukum yang “berwatak Indonesia asli” hal ini selain dikarenakan hukum ini berlaku bagi seluruh rakyat Indonesia asli, hukum kewarisan ini juga merupakan bentuk pemenuhan dari pemikiran ahli hukum Islam Indonesia sendiri yang sudah mengemuka  sejak tahun 1950-an, yang diintrodusir antara lain oleh T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy yang menganjurkan agar fikih (hukum Islam) yang diterapkan di Indonesia adalah fikih yang berkeperibadian Indonesia, yaitu fikih yang sesuai dengan karakter budaya masyarakat Indonesia.[10] Sebagaimana Hasbi, Hazairin juga menegaskan perlunya formulasi hukum Islam yang khas bagi masyarakat Indonesia. Gagasan Hazairin ini disampikan dalam pidatonya pada pembukaan Perguruan Tinggi Islam di Jakarta.[11]  Dengan demikian, rekonstruksi  wasiat wajibah oleh Mahkamah Agung untuk kasus-kasus yang belum ada dasar hukumnya seperti  saudara kandung non muslim, istri non muslim dari suami yang beragama Islam, dan menetapkan  hak-hak anak yang lahir dari hubungan di luar nikah dan pernikahan bawah tangan (sirri dan mut”ah),  dalam konteks hukum progresif adalah merupakan perwujudan bahwa hukum itu sebenarnya adalah untuk manusia.
C. Rekonstruksi Wasiat Wajibah: Perspektif Maqasid al-Syari’ah   
 Dari hasil pembacaan terhadap keputusan Mahkamah Agung yang memberikan bagian harta kepada saudara kandung non muslim, istri non muslim dari suami yang beragama Islam, dan menetapkan hak-hak anak yang lahir dari hubungan di luar nikah dan pernikahan bahwah tangan (sirri dan mut’ah) melalui wasiat wajibah,  didasarkan pada pertimbangan untuk memberikan keadilan yang substantif kepada pihak-pihak yang berperkara.  Artinya, Mahkamah Agung berupaya memenuhi rasa keadilan semua pihak dengan melakukan pengembangan dan penemuan hukum (beri-ijtihad ) yang tidak melanggar ketentuan hukum waris Islam. Pengembangan dan penemuan hukum Mahkamah Agung ini dilakukan dengan cara merekonstruksi wasiat wajibah untuk menyelesaikan kasus-kasus yang lain. Rekonstruksi wasiat wajibah melalui analisis maqasid al-syari’ah, yang tidak hanya memperhatikan arti teks belaka, akan tetapi dalam upaya pengembangan dan penemuan hukum, hukum yang disyari’atkan oleh Allah dilihat sebagai suatu yang mengandung nilai filosofis. Ada dua corak penalaran dalam upaya penerapan maqasid al-syari’ah, yaitu corak penalaran ta’lili dengan bentuk istihsan dan corak penalaran ta’lili dalam bentuk istislahi. Corak penalaran ta’lili merupakan upaya penggalian hukum yang bertumpu pada penentuan ‘illah-‘illah (causa hukum)  yang terdapat dalam suatu nash.  Adapun cocak penelaran istislahi merupakan upaya penggalian hukum yang bertumpu pada prinsip-prinsip kemaslahatan yang disimpulkan dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Terkait dengan wasiat wajibah ini Mahkamah Agung  memahami  ruh dan tujuan dari surat al-Baqarah ayat 80 sebagai landasan pijak wasiat wajibah karena sebagaimana  telah dipaparkan dalam pembahasan sebelumnya, bahwa  Menurut Ibn Hazm, ayat wasiat tersebut menentukan suatu kewajiban hukum yang definitif bagi orang Islam untuk membuat wasiat yang akan dikontribusikan kepada kerabat dekat yang bukan menjadi ahli waris atau ahli waris tapi terhalang.   Putusan Mahkamah Agung dengan memilih  wasiat wajibah tersebut mengandung nilai keadilan (aspek filosofis) dan nilai kemanfaatan (aspek sosiologis) yang dikehendaki oleh surat al-Baqarah ayat 80.
 Penalaran hukum yang dikembangkan oleh Mahkamah Agung tersebut sejalan dengan  tata cara berpikir dengan menggunakan maqashid al-syari’ah sebagai pendekatan (maqashid based ijtihad) yang dipraktikkan oleh pada umumnya  ulama maqashidiyyun[12] yaitu ditentukan melalui empat media, yaitu penegasan al-Qur’an, penegasan hadis, istiqra’ (riset atau kajian induktif), dan al-ma’qul (logika), demikian menurut Umar bin Shalih bin Umar dalam bukunya Maqashid al-Syari’ah ‘inda al-Imam al-‘Izz bin Abd al-salam sebagaimana dikutip oleh Mawardi. Dari empat metode tersebut,  Ibn Asyur menempatkan metode istiqra’ sebagai metode yang paling utama dalam konteks ini. Menurutnya ada dua macam istiqra’ yang perlu dilakukan: Yang pertama, adalah penelitian seksama terhadap hukum-hukum yang telah diketahui ‘illatnya yang mengantarkan pada istiqra’ atas ‘illat yang tetap dengan metode masalik al-‘illah (cara atau metode untuk menetapkan ‘illah hukum), dengan cara ini maashid al-syari’ah dapat diketahui dengan mudah. Kedua, melalui penelitian atas dalil-dalil hukum yang memiliki ‘illah yang sama sehingga bisa menyakinkan bahwa ‘illah tersebut sesungguhnya adalah yang dikehendaki syara’.[13]
 Menurut Muhammad Daud Ali,[14] penyusunan  KHI, khususnya yang terkait dengan pasal wasiat wajibah selalu memperhatikan kemaslahatan, terutama termasuk dalam kategori ijtihadi. Oleh karenanya, diharapkan selain akan dapat memelihara dan menampung aspirasi hukum serta keadilan masyarakat, juga akan mampu berperan sebagai perekayasa (social ingeneering) masyarakat muslim Indonesia[15].
            Pendapat yang serupa dengan Daud Ali, dipaparkan oleh Abdul Manan, bahwa pembaruan aturan tersebut, [16] jika dilihat dari substansi mempunyai tujuan untuk merealiasian maslahah untuk kepentingan manusia, yaitu memelihara agama, jiwa, akal, harta dan keturunan yang dalam istilah fikih disebut al-kulliyat Al-khamsah. Mempergunakan teori mashlahah untuk menyelesaikan berbagai masalah hukum telah mengilhami para pakar hukum Islam di Indonesia untuk mempergunakan teori ini dalam rangka pembaruan hukum Islam, baik dengan cara membentuk peraturan perundang-undangan maupun dengan memasukkan nilai-nilai hukum Islam ke dalam legalisasi nasional.[17]










BAB V
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari uraian-uraian yang telah dikemukakan dalam bab-bab sebelumnya dapat ditarik kesimpulan sebagai hasil kajian sebagai berikut:
1.      Logika hukum yang dipakai oleh Mahkamah Agung dalam merekonstruksi wasiat wajibah untuk menyelesaikan kasus-kasus hak mewarisi istri non muslim, saudara kandung non muslim, dan anak yang lahir di luar perkawinan yang sah serta anak yang lahir sebgai akibat perkawinan di bawah tangan (nikah sirri dan mut’ah), didasarkan pada pertimbangan  bahwa kasus-kasus tersebut belum ada hukum positif yang mendasarinya  Hal ini  yang mendorong Mahkamah Agung melakukan upaya pengembangan dan penemuan hukum dalam memutus perkara-perkara (kasasi) tersebut dengan mengingat ketentuan-ketentuan perundang-undangan, terutama pasal 10 Undang-undang Kekuasaan Kehakiman bahwa “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”. Dengan kata lain, pengadilan harus menemukan sendiri hukumnya secara independen. Terkait dengan hal ini, dalam pasal 5 ayat (1) Undang-undang tersebut dijelaskan bahwa ”Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Ketentuan inilah yang menjadi dasar hukum KHI dapat digunakan sebagai rujukan tak langsung atau sebagai pedoman.  Ketentuan Pasal di atas  sejalan dengan pasal 229 KHI bahwa “Hakim dalam menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan kepadanya wajib memperhatikan dengan sungguh-sungguh nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, sehingga putusannya sesuai dengan rasa keadilan”.   
Logika hukum lain yang menjadi pertimbangan  Mahkamah Agung dalam   memutuskan kasus-kasus tersebut di atas, adalah untuk  menjaga keutuhan keluarga dan mengakomodir adanya realitas sosial masyarakat Indonesia yang pluralistik yang  terdiri dari berbagai etnis dan keyakinan, serta kemaslahatan untuk memenuhi rasa keadilan. Pemberian wasiat wajibah kepada saudara kandung non muslim dan istri non muslim ini telah memberikan sumbangan yang baru dalam pembaharuan hukum Islam di Indonesia, tapi bersifat  terbatas. Artinya, ahli waris non muslim tetap sebagai orang yang terhalang untuk mendapatkan bagian dari harta peninggalan saudara kandungnya yang muslim dan istri non muslim dari suami yang muslim.  
Sedangkan pertimbangan hukum Mahkamah Agung terkait dengan  hak-hak anak yang lahir dari hubungan di luar nikah dan pernikahan bawah tangan (sirri dan mut”ah), melalui wasiat wajibah, berdasarkan  Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No 7 tahun 2012 hasil pembahasan Komisi Bidang Peradilan Agama MA. SEMA ini mengikat hakim-hakim peradilan-peradilan agama untuk menguatkan putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 dalam pengujian Pasal 43 ayat 1 UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pertimbangan dari segi perundang-undangan adalah tercabutnya hak-hak keperdataan anak yang disebabkan bukan karena perbuatannya, sesungguhnya mencederai rasa keadilan dan bertentangan dengan beberapa prinsip yang terdapat dalam undang-undang. Diantaranya adalah sebagai berikut: Pertama,  bertentangan dengan prinsip persamaan di hadapan hukum (equality before the law), karena dengan mencabut hak keperdataan anak diluar nikah terhadap ayah menjadikan kedudukan anak tidak sama di hadapan hukum. Kedua, bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945 Pasal 27 ayat (1) yang berbunyi : “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Ketiga, bertentangan dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 4 yang berbunyi : “Setiap anak berhak untuk hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Keempat, dengan hilangnya hak-hak keperdataan anak dari ayahnya di atas, maka hilang pula hak-hak anak uuntuk mendapat pendidikan, nafkah, perlindungan dan sebagainya dari ayahnya tersebut. Hal ini tidak sesuai dengan Pasal 1 ayat (12) UU No. 23 Tahun 2002 yang berbunyi : “Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan Negara”, dan beberapa melanggar lainnya seperti Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan undang-undang yang lainnya. Kelima, bertentangan dengan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang juga mengatur tentang perlindungan anak yang menyatakan “Setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat, dan Negara. Hak anak adalah hak asasi manusia dan untuk kepentingannya hak anak itu diakui dan dilindungi oleh hukum bahkan sejak dalam kandungan. Setiap anak sejak kelahirannya, berhak atas suatu nama dan status kewarganegaraan” . Keenam, bertentangan dengan Deklarasi “Social Welfare” dan “Human Rights” untuk anak (Deklarasi Jenewa, 1924) asas 1 yaitu : “Anak-anak berhak menikmati seluruh haknya yang tercantum dalam deklarasi ini. Semua anak tanpa pengecualian yang bagaimanapun berhak atas hak-hak ini, tanpa membedakan suku bangsa, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat dibidang politik atau dibidang lainnya, asal-usul bangsa atau tingkatan social, kaya atau miskin, keturunan atau status, baik dilihat dari dirinya sendiri maupun dari segi keluarganya”
2.      Keputusan Mahkamah Agung yang memberikan wasiat wajibah dengan pertimbangan memberikan nilai keadilan (aspek filosofis) dan nilai kemanfaatan (aspek sosiologis) kepada  saudara kandung non muslim,  istri non muslim dari suami yang beragama Islam, dan anak yang lahir di luar perkawinan yang sah serta anak yang lahir sebgai akibat perkawinan di bawah tangan (nikah sirri dan mut’ah), sejalan dengan cara berfikir pada umumnya  ulama maqashidiyyun[18] yaitu ditentukan melalui empat media, yaitu penegasan al-Qur’an, penegasan hadis, istiqra’ (riset atau kajian induktif), dan al-ma’qul (logika).
  
B.     Saran
1.      Reformasi hukum di Indonesia dapat dilakukan melalui dua jalur, pertama, penyusunan peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh lembaga legislatif atau bersama-sama dengan eksekutif. Kedua, melalui putusan-putusan hakim di pengadilan (yurisprodensi). Jalur yang pertama memerlukan waktu dan biaya yang tidak sedikit sehingga kadang-kadang terlambat dilakukan, oleh karena itu, reformasi hukum sebaiknya dan seharusnya banyak dilakukan oleh pihak yudikatif melalui yurisprodensi, termasuk dalam hal ini adalah reformasi hukum kewarisan di Indonesia.
2.      Penayaluran dana penelitian baik yang bersumber dari APBN maupun dari sumber-sumber lain seperti BOPTN,  perencanaannya harus  matang dan penganggarannya cukup memadai agar menghasilkan penelitian yang berkualitas.    





DAFTAR PUSTAKA

Abu Zahra, Al-Imam Muhammad ,Syarh Qanunal-Washiyah,  ( Kairo: Dar al-Fikr al-Arabiy, 1950.
Al-Yasa Abu Bakar, Ahli Waris Sepertalkian Darah: Kajian Perbandingan Terhadap Penalaran Hazairin dan Penalaran Fikih Mazhab, (Jakarta: INIS, 1996).
 Anderson, J.N.D, Hukum Islam di Dunia Modern, alih bahasa Machnun Husein, edisi revisi, cetakan pertama, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1994).
 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Perkembangan Hukum Islam dari Fikih,  UU No. 1/1974 sampai KHI, cetakan ke 3, (Iakarta: Kencana, 2006).

 Al-Asqalaniy, Ahmad ibn Ali ibn Hajar , Fath al Bary, (t.tp : al Maktabah al Salafiyah, t.th).
Al-Sayyid Sabiq, Fiqh al Sunnah, (Kairo : Maktabah Dar al Turats, t.t ), 

http://www.mitrahukum.org/file/bahan-ajar/Rekam Jejak Pemikiran Hukum Progresif Prof. Satjipto Rahardjo by Suteki Pdf, akses 26 Mei 2011
Hisyam Qablan, al-Wasiyah al-Wajibah fi al-Islam (Beirut: Mansyurat Awaidat, 1981).
 Ibn Katsir al-Qursiy al-Dimasyqiy  Tafsir Ibn Katsir, (Beirut: Dar al-Fikr, [t.th])
Ibn al-’Arabi, Ahkam al-Quran, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, [t.th.]).

 Ibn Qudamah, al Mughni, (Kairo : Dar al Manar, 1367 H), Juz 6, h. 100
Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang KHI, dikeluarkan di Jakarta pada tanggal 10 Juni 1991
Idris Djakfar dan Taufik Yahya, Kompilasi Hukum Kewarisan Islam, cetakan pertama, (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1995).
Jazuni, Legislasi Hukum Islam di Indonesia, cetakan ke- 1, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005).
Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradi;an Agama dan Zakat Menurut Hukum Islam, cetakan keempat, ((Jakarta: Sinar Grafika, 2006). 
Muhammad Khalid Mas’ud, Filsafat Hukum Islam dan Perubhan Sosial, alih bahasa Yudian Wahyudi, (Surabaya: al-Ikhlas, 1987).
 Muhammad Abi ‘Abdillah Muhammad Ibn Isma’il ibn Ibrahim ibn al-Mughirah ibn Barda Zabh, Shahih al-Bukhari, (Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah, [t.th.]),
 Ratno Lukito, Hukum Islam dan Realitas Sosial, cetkan pertama, (Yogyakarta: Fakultas Syari’ah UIN Sunan kalijaga, 2008).
repository.udu.ac.id/,,,ndle/123456789/5435?show.full, akses tanggal 9 September 2013
M. Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, (Mesir: Syirqah ‘Iqalat al-Din, [t.th.]),  
Pustaka.unpad.ac.id/archives/125341, akases tanggal 7 September 2013
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang dimuat dalam lembaran Negara RI Tahun 2009 Nomor 157
Al-Qusyairiy, Abu al Husain Muslim ibn al Hajjaj ibn Muslim  , al Jami` al Shahih, (Beirut : Dar al Fikr, t.th)

 Syamsul Anwar, Studi Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta: RM Books, 2007).
 Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir, (Jakarta: Penerbit Kompas, 2007).
Al-Shan’aniy, Subul al-Salam, (Bandung: Dahlan, [t.th])

Al-Sijistani, Abu Dawud Sulaiman ibn al Asy`as, Sunan Abu Dawud, (Beirut : Dar al Fikr, 1994)
Al-Thabariy, Abi Ja’far Muhammad ibn Jarir Jami’ al-Bayan, (Beirut: Dar al-Fikr, 1988).
Al-Turmudziy, Abu Isa Muhammad ibn Isa ibn Surah,  al Jami` al Shahih, (Beirut : Dar al Fikr, 1983
  
 Yudian Wahyudi, Ushul Fiqh Versus Hermeneutika, Membaca Islam dari Kanada dan Amerika, (Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press, 2006).
 Al-Zarqa, Mushthafa Ahmad,   Hukum Islam dan Perubahan Sosial, Studi Komparatif dalam beberapa Mazhab Fiqh, alih bahasa Ade Dede Rohayana, (Jakarta: Riora Cipta, 2000).
 al-Zuhaili,  Wahbah, Al-Washaya wa al-Waqfu fi al-Fiqhi al-Islam, Damaskus, Dar al-Fikr, 1987).



[1]Ratno Lukito  Hukum Islam dan Realitas Sosial, (Yogyakarta: Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga, 2008),hlm. 111
[2] repository.udu.ac.id/,,,ndle/123456789/5435?show.full, akses tanggal 9 September 2013
[3]Pustaka.unpad.ac.id/archives/125341, akases tanggal 7 September 2013
[5]Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang KHI, dikeluarkan di Jakarta pada tanggal 10 Juni 1991
[6]Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang dimuat dalam lembaran Negara RI Tahun 2009 Nomor 157
[7]J.N.D. Anderson, Hukum Islam di Dunia Modern, alih bahasa Machnun Husein, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1994), hlm. 85   
[8]http://www.badilag.net/artikel/8990-wasiat-wajibah-bagi-anak-di-luar-perkawinan-yang-sah-oleh-asep-ridwan-h-shi-mag-2211.html, akses tanggal 22 November 2013
[9] )Asjmuni A. Rahman, Metode Penetapan Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), hlm. 3-4
[10] T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Syari’at Islam menjawab Tantangan Zaman, (Yogyakrta: IAIN al-Jami’ah al-Islamiyah al-Hukumiyah, 1961), hlm. 42, lihat juga Agus Moh. Najib, Pengembangan Metodologi Fikih Indonesiadan Kontribusinya Bagi Pembentukan Hukum Nasional,Seri Disertasi,  (Jakarta: Kementerian Agama RI, 2011), hl. 57
[11]Ibid; hlm. 65, lihat juga Hazairin, Hukum Islam dan Masyarakat, Cet. Ke-3, (Jakarta: Bulan Bintang, 1963), hlm. 15
[12] )Sarjana-sarjana muslim kontemporer yang menjadikan maqashid al-syri’ah  sebagai andasan berpikir dalam memahami syari’at Islam. 
[13] )Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Minoritas, hlm. 209-210
[14] )Beliau adalah Guru Besar Hukum Islam di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, lihat  juga Baharuddin, Hukum Perkawinan di Indonesia, Studi Historis Metodologis, Cet. ke-1, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2008), hlm. 105
[15] )Muhammad Daud Ali, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata HukumIslam di Indonesia, Cet. ke-3, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1993), hlm. 268
[16] ) Manan, Abdul (2006) Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia. Cet 1; (Jakarta: Jakarta: Kencana, 2006*, hlm. 298
[17]) Bandingkan dengan komentr Umar Syihab bahwa peraturan yang berlaku di Indonesia yang memperketat kebolehan berpoligami kecuali dalam keadaan yang sangat mendesak, merupakan peraturan yang sejalan dengan hukum Islam. Karena dengan terpenuhinya syarat-syarat yang terdapat dalam peraturan tersebut, seorang laki-laki yang berpoligami tidak akan mengalami kesulitan dalam rumah tangganya akibat desakan dari istri-istrinya,  Umar Syihab, Hukum Islam dan Transformasi Pemikiran Cet. ke-1, (Semarang: Penerbit Dina Utama, 1996), hlm. 120-121,
[18] )Sarjana-sarjana muslim kontemporer yang menjadikan maqashid al-syri’ah  sebagai andasan berpikir dalam memahami syari’at Islam.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar