A. Rekonstruksi Wasiat Wajibah: Perspektif Perundang-undangan
Dalam pembahasan sebelumnya telah dipaparkan bahwa
Pasal 209 KHI yang mengatur tentang wasiat wajibah berbeda dengan wasiat wajibah yang dikenal di
negara-negara Islam pada umumnya yang mengidentifikasikan cucu yatim sebagai
penerima wasiat wajibah. Para ahli hukum Islam Indonesia melalui KHI, telah
menggunakan wasiat wajibah untuk memberikan hak kepada anak angkat dan orang
tua angkat dengan maksimun penerimaan sepertiga dari harta warisan.
Adapun ide yang
ada dibalik semangat untuk mengkonstruksi wasiat wajibah tersebut
adalah para ahli hukum Islam Indonesia merasa berkewajiban untuk
menjembatani kesenjangan antara hukum Islam dan hukum adat. Karena sebagaimana
diketahui hukum Islam secara keras menolak lembaga adopsi, sementara di
kalangan keluarga Islam di Indonesia banyak ditemui praktik adopsi, maka para
ahli hukum Islam di Indonesia berusaha mengakomodasikan
sistem nilai yang ada dalam kedua hukum itu dengan jalan mengambil institusi wasiat wajibah yang berasal dari
hukum Islam sebagai sarana untuk menerima fasilitas nilai moral yang ada
dibalik praktik adopsi dalam hukum adat. Usaha ini menurut Ratno Lukito, harus
dilakukan karena realitas sosial menunjukkan bahwa masyarakat yang memperaktikkan adopsi
tersebut, orang tua angkat selalu memikirkan kesejahteraan anak angkatnya
ketika mereka sudah meninggal.[1]
Keberadaan KHI menetapkan lembaga wasiat wajibah
terhadap anak angkat dan ayah angkat yang berbeda dengan lembaga wasiat wajibah
yang dikenal di negara-negara Islam lain dapat merangsang tumbuhnya pemahaman
yang antisipatif terhadap perkembangan kebutuhan hukum. Beberapa tahun terakhir
ini, asumsi tersebut secara factual dipraktikan oleh Mahkamah Agung yang merekonstruksi wasiat
wajibah untuk memutuskan beberapa kasus yang belum ada ketentuan hukumnya. Kasus-kasus
yang dimaksud adalah:
Pertama,
Keputusan MA No. 51.K/AG.1999 yang memutuskan memberikan wasiat wajibah kepada
saudara kandung non muslim. Padahal, sebagaimana diketahui konstruksi wasiat
wajibah dalam Kompilasi Hukum Islam dianalogikan kepada anak angkat dan orang
tua angkat.[2]
Kedua, Keputusan MA No. 16 K/AG/2010 tentang hak mewaris istri non
muslim dari suami
yang beragama Islam melalui wasiat wajibah.[3] Ketiga,
Mahkamah Agung membuat terobosan hukum
untuk menetapkan hak-hak anak yang lahir
dari hubungan di luar nikah dan pernikahan bawah tangan (sirri dan mut”ah), melalui wasiat wajibah. Ketentuan
tersebut tercantum dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No 7 tahun 2012
hasil pembahasan Komisi Bidang Peradilan Agama MA. SEMA ini mengikat
hakim-hakim peradilan-peradilan agama untuk menguatkan putusan Mahkamah
Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 dalam pengujian Pasal 43 ayat 1 UU No 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan.[4]
Rekonstruksi tersebut dapat
dipahami jika dilihat dari segi pendekatan perundang-undangan: Pertama, tidak adanya hukum positif yang mendasari pemberian wasiat
wajibah bagi seorang non muslim mendorong Mahkamah Agung melakukan upaya
penemuan hukum dalam memutus perkara-perkara
(kasasi) tersebut. Hal ini sejalan dengan bunyi pasal 49
UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama bahwa hukum waris yang dipraktikkan
di Pengadilan Agama adalah hukum waris Islam, sedangkan hukum materiilnya
diatur dalam Buku II KHI. KHI ini tidak berbentuk undang-undang melainkan
melalui Instruksi
Presiden RI No. 1 Tahun 1991 dan Keputusan Menteri Agama RI No. 154 Tahun 1991
tentang Pelaksanaan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991.[5] KHI
yang
kedudukannya dalam sistem hukum nasional tetap masih berada di luar tatanan
hukum positif, kedudukannya masih mirip dengan berbagai kitab fikih yang digunakan
sebagai book of authority dalam Peradilan Agama, namun sesuai dengan tujuan dikeluarkannya INPRES tersebut, dapat dijadikan
sebagai salah satu pedoman oleh seorang hakim di dalam memutuskan suatu
perkara.
Di samping alasan tersbut di atas, perlu diingat pula ketentuan pasal
10 Undang-undang
Kekuasaan Kehakiman bahwa “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa,
mengadili dan
memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau
kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”.[6]
Dengan kata lain, pengadilan harus menemukan sendiri hukumnya secara
independen. Terkait dengan hal ini, dalam pasal 5 ayat (1) Undang-undang tersebut dijelaskan bahwa ”Hakim dan Hakim
Konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat. Ketentuan inilah yang menjadi dasar hukum
KHI dapat digunakan sebagai rujukan tak langsung atau sebagai pedoman. Ketentuan Pasal di atas sejalan dengan pasal 229 KHI bahwa “Hakim
dalam menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan kepadanya wajib memperhatikan
dengan sungguh-sungguh nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, sehingga
putusannya sesuai dengan rasa keadilan”.
Logika hukum
lain yang menjadi pertimbangan Mahkamah Agung
dalam memutuskan
kasus-kasus tersebut di atas, dengan merekonstruksi wasiat wajibah yang semula
dalam KHI hanya diperuntukkan kepada anak angkat dan orang tua angkat kemudian
diberlakukan juga kepada saudara
kandung non muslim, istri non
muslim dari suami yang beragama Islam, dan menetapkan hak-hak anak yang lahir dari hubungan di luar
nikah dan pernikahan bawah tangan (sirri dan mut”ah), melalui wasiat wajibah, padahal untuk
kasus yang pertama dan yang kedua (perbedaan agama) tetap merupakan salah satu
penghalang untuk dapat saling mewarisi, serta kasus yang ketiga mereka dianggap tidak mempunyai hubungan
keperdataan dengan ayahnya, sehingga tidak termasuk sebab saling mewarisi. Mengenai
penghalang untuk menerima warisan karena perbedaan agama, perlu diketahui bahwa
aturan ini menimbulkan banyak kesulitan di wilayah-wilayah yang anggota-anggota
keluarganya menganut berbagai macam agama,[7]
Indonesia termasuk dalam kategori wilayah ini, oleh karena itu Mahkamah Agung berusaha memutuskan kasus-kasus tersebut
sesuai dengan amanat Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 10 Undang-undang Kekuasaan
Kehakiman serta Pasal 229 KHI sebagaimana disebutkan di atas. Dan hasil
penemuan hukum yang diyakini dapat menyelesaikan kesulitan tersebut adalah
dengan memberikan
wasiat wajibah kepada saudara kandung non muslim dan istri non muslim.
Keputusan Mahkamah
Agung ini dapat menjaga keutuhan keluarga dan
mengakomodir adanya realitas sosial
masyarakat
Indonesia yang pluralistik
yang terdiri dari berbagai etnis dan
keyakinan, serta
kemaslahatan untuk memenuhi rasa keadilan.
Pemberian
wasiat wajibah kepada saudara kandung non muslim dan istri non muslim ini telah
memberikan sumbangan yang baru dalam pembaharuan hukum Islam di Indonesia, tapi bersifat terbatas. Artinya, ahli waris non muslim
tetap sebagai orang yang terhalang untuk mendapatkan bagian dari harta
peninggalan saudara kandungnya yang
muslim dan istri non
muslim dari suami yang muslim.
Adapun
pertimbangan hukum Mahkamah Agung membuat terobosan hukum
untuk menetapkan hak-hak anak yang lahir
dari hubungan di luar nikah dan pernikahan bawah tangan (sirri dan mut”ah), melalui wasiat wajibah, berdasarkan Surat
Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No 7 tahun 2012 hasil pembahasan Komisi Bidang
Peradilan Agama MA. SEMA ini mengikat hakim-hakim peradilan-peradilan agama
untuk menguatkan putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 dalam
pengujian Pasal 43 ayat 1 UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pertimbangan dari segi perundang-undangan adalah tercabutnya
hak-hak keperdataan anak yang disebabkan bukan karena perbuatannya,
sesungguhnya mencederai rasa keadilan dan bertentangan dengan beberapa prinsip
yang terdapat dalam undang-undang. Diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Bertentangan dengan prinsip persamaan di hadapan hukum (equality
before the law), karena dengan mencabut hak keperdataan anak diluar nikah
terhadap ayah menjadikan kedudukan anak tidak sama di hadapan hukum.
2. Bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945 Pasal 27 ayat (1)
yang berbunyi : “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada
kecualinya”.
3. Bertentangan dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak Pasal 4 yang berbunyi : “Setiap anak berhak untuk hidup,
tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.
4. Dengan hilangnya hak-hak keperdataan anak
dari ayahnya di atas, maka hilang pula hak-hak anak uuntuk mendapat pendidikan,
nafkah, perlindungan dan sebagainya dari ayahnya tersebut. Hal ini tidak sesuai
dengan Pasal 1 ayat (12) UU No. 23 Tahun 2002 yang berbunyi : “Hak anak adalah
bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi dan dipenuhi oleh
orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan Negara”, dan beberapa melanggar
lainnya seperti Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan
undang-undang yang lainnya.
5. Bertentangan dengan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia yang juga mengatur tentang perlindungan anak yang menyatakan
“Setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat, dan
Negara. Hak anak adalah hak asasi manusia dan untuk kepentingannya hak anak itu
diakui dan dilindungi oleh hukum bahkan sejak dalam kandungan. Setiap anak
sejak kelahirannya, berhak atas suatu nama dan status kewarganegaraan” .
6. Bertentangan dengan Deklarasi “Social
Welfare” dan “Human Rights” untuk anak (Deklarasi Jenewa, 1924) asas 1 yaitu :
“Anak-anak berhak menikmati seluruh haknya yang tercantum dalam deklarasi ini.
Semua anak tanpa pengecualian yang bagaimanapun berhak atas hak-hak ini, tanpa
membedakan suku bangsa, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat
dibidang politik atau dibidang lainnya, asal-usul bangsa atau tingkatan social,
kaya atau miskin, keturunan atau status, baik dilihat dari dirinya sendiri
maupun dari segi keluarganya” [8]
B. Rekonstruksi Wasiat Wajibah: Perspektif Hukum Progresif
Sebagaimana dipaparkan
di dalam Bab II, bahwa hukum progresif mempunyai empat karakteristik, yaitu:
Pertama, Hukum progresif berpendirian
hukum adalah untuk manusia; kedua;
Hukum progrersif menolak untuk mempertahankan status quo dalam
berhukum; ketiga, Peradaban hukum tertulis akan melahirkan akibat
penerapan hukum bekerja seperti mesin. Harus ada cara untuk melakukan
pembebasan dari hukum formal; keempat, Hukum progresif memberikan perhatian
besar terhadap peranan perilaku manusia dalam hukum. Karena peranan perilaku
menentukan teks formal suatu peraturan tidak dipegang secara mutlak.
Dari paparan tersebut, dapat dipahami bahwa
karakteristik utama dari hukum progresif terdapat pada karakterstik yang pertama dan kedua.
Sedangkan karakteristik ketiga dan keempat adalah karakteristik turunan dari
karakteristik kedua. Adapun karakteristik keempat tidak lain adalah turunan dari karakteristik
pertama. Oleh karena itu, dapat disimpulkan
bahwa karakteristik inti dari hukum progresif adalah hukum untuk (kepentingan)
manusia dan menolak mempertahankan status quo dalam berhukum. Hal ini
sejalan dengan prinsip penetapan kemaslahatan dalam hukum Islam antara lain: al-dlararu yuzalu (semua yang
mengandung kemadaran harus dihindari), dlar’u
al-mafasid muqaddamun ‘ala jalb al-mashalih (menghindari yang membawa
kerusakan didahulukan dari sesuatu tindakan yang membawa kemslahtan), dan al-masaqqah
tajlib al-taysir (segala kesulitan dapat mendatangkan kemudahan),[9]
maka ketiga prinsip penetapan kemaslahatan dalam hukum Islam itu memiliki
kesesuaian dengan karakteristik pertama dari hukum progresif, yaitu hukum untuk
manusia. Berdasarkan kaidah-kaidah
tersebut dapat dipahami bahwa syariat Islam memiliki perhatian yang sangat
besar terhadap kemudahan dan keringanan hukum bagi manusia. Hal ini berarti,
hukum Islam memposisikan hukum bagi kemaslahatan manusia, hal ini sesuai dengan
semangat dari hukum progresif, yaitu hukum untuk manusia. Pembangunan hukum
Islam juga sangat memperhatikan perilaku manusia dalam berhukum sebagaimana
salah satu karakteristik dari hukum progresif (karakteristik keempat). Hal ini
dibuktikan dengan kaidah al-masaqqah tajlib al-taysir (segala kesulitan
dapat mendatangkan kemudahan)
Sebagaimana dijelaskan dalam bab III, bahwa pasal 209 yang mengatur tentang wasiat wajibah
melalui
KHI adalah
keberhasilan yang dicapai oleh bangsa Indonesia yang memiliki keterkaitan
dengan semangat hukum progresif. KHI, khuusnya pasal 209 telah menggeser
eksistensi ketentuan hukum kewarisan yang ada dalam
kitab-kitab fikih klasik. Setelah adanya
KHI,
beberapa pasal yang mengatur
mengenai
hukum kewarisan di
Indonesia dapat dikatakan sebagai hukum yang “berwatak Indonesia asli” hal ini
selain dikarenakan hukum ini berlaku bagi seluruh rakyat Indonesia asli, hukum kewarisan ini juga merupakan
bentuk pemenuhan dari pemikiran
ahli hukum Islam Indonesia sendiri yang sudah mengemuka sejak tahun 1950-an, yang diintrodusir antara lain oleh T.M.
Hasbi Ash-Shiddieqy yang menganjurkan agar fikih (hukum Islam) yang diterapkan
di Indonesia adalah fikih yang berkeperibadian Indonesia, yaitu fikih yang
sesuai dengan karakter budaya masyarakat Indonesia.[10] Sebagaimana
Hasbi, Hazairin juga menegaskan perlunya formulasi hukum Islam yang khas bagi
masyarakat Indonesia. Gagasan Hazairin ini disampikan dalam pidatonya pada
pembukaan Perguruan Tinggi Islam di Jakarta.[11] Dengan demikian, rekonstruksi wasiat wajibah oleh Mahkamah Agung untuk
kasus-kasus yang belum ada dasar hukumnya seperti saudara kandung non
muslim, istri non
muslim dari suami yang beragama Islam, dan menetapkan hak-hak anak yang lahir dari hubungan di luar
nikah dan pernikahan bawah tangan (sirri dan mut”ah), dalam
konteks hukum progresif adalah merupakan
perwujudan
bahwa hukum itu sebenarnya adalah untuk manusia.
C.
Rekonstruksi Wasiat Wajibah: Perspektif Maqasid al-Syari’ah
Dari hasil pembacaan terhadap keputusan Mahkamah Agung
yang memberikan bagian harta kepada saudara kandung non muslim, istri non
muslim dari suami yang beragama Islam, dan menetapkan hak-hak anak yang lahir
dari hubungan di luar nikah dan pernikahan bahwah tangan (sirri dan mut’ah) melalui
wasiat wajibah, didasarkan pada pertimbangan
untuk memberikan keadilan yang substantif kepada pihak-pihak yang berperkara. Artinya,
Mahkamah Agung berupaya memenuhi rasa keadilan semua pihak dengan melakukan
pengembangan dan penemuan hukum (beri-ijtihad
) yang tidak melanggar ketentuan hukum waris Islam. Pengembangan dan penemuan
hukum Mahkamah Agung ini dilakukan dengan cara merekonstruksi wasiat wajibah untuk
menyelesaikan kasus-kasus yang lain. Rekonstruksi wasiat wajibah melalui
analisis maqasid al-syari’ah, yang tidak hanya memperhatikan arti
teks belaka, akan tetapi dalam upaya pengembangan dan penemuan
hukum, hukum yang
disyari’atkan oleh Allah dilihat
sebagai suatu yang mengandung nilai filosofis. Ada dua corak penalaran dalam upaya penerapan maqasid al-syari’ah, yaitu
corak penalaran ta’lili dengan bentuk
istihsan dan corak penalaran ta’lili dalam bentuk istislahi. Corak
penalaran ta’lili merupakan upaya
penggalian hukum yang bertumpu pada penentuan ‘illah-‘illah (causa hukum) yang terdapat dalam suatu nash.
Adapun cocak penelaran istislahi
merupakan upaya penggalian hukum
yang bertumpu pada prinsip-prinsip kemaslahatan yang disimpulkan dari al-Qur’an
dan as-Sunnah. Terkait dengan wasiat wajibah ini Mahkamah Agung memahami ruh dan tujuan dari surat al-Baqarah ayat 80 sebagai
landasan pijak wasiat wajibah karena sebagaimana telah dipaparkan dalam pembahasan sebelumnya,
bahwa Menurut Ibn Hazm, ayat wasiat
tersebut menentukan suatu kewajiban hukum yang definitif bagi orang Islam untuk
membuat wasiat yang akan dikontribusikan kepada kerabat dekat yang bukan
menjadi ahli waris atau ahli waris tapi terhalang. Putusan Mahkamah Agung dengan memilih wasiat wajibah tersebut mengandung nilai keadilan (aspek filosofis)
dan nilai kemanfaatan (aspek sosiologis) yang dikehendaki oleh surat al-Baqarah
ayat 80.
Penalaran hukum yang dikembangkan
oleh Mahkamah Agung tersebut sejalan dengan tata
cara berpikir dengan menggunakan maqashid al-syari’ah sebagai pendekatan
(maqashid based ijtihad) yang dipraktikkan oleh pada umumnya
ulama
maqashidiyyun[12]
yaitu
ditentukan melalui empat media, yaitu penegasan al-Qur’an, penegasan hadis, istiqra’
(riset atau kajian induktif), dan al-ma’qul
(logika), demikian menurut Umar bin Shalih bin Umar dalam bukunya Maqashid
al-Syari’ah ‘inda al-Imam al-‘Izz bin Abd al-salam sebagaimana dikutip oleh
Mawardi. Dari empat metode tersebut, Ibn
Asyur menempatkan metode istiqra’ sebagai metode yang paling utama dalam
konteks ini. Menurutnya ada dua macam istiqra’ yang perlu dilakukan:
Yang pertama, adalah penelitian seksama terhadap hukum-hukum yang telah
diketahui ‘illatnya yang mengantarkan pada istiqra’ atas ‘illat yang
tetap dengan metode masalik al-‘illah (cara atau metode untuk menetapkan
‘illah hukum), dengan cara ini maashid al-syari’ah dapat
diketahui dengan mudah. Kedua, melalui penelitian atas dalil-dalil hukum yang
memiliki ‘illah yang sama sehingga bisa menyakinkan bahwa ‘illah
tersebut sesungguhnya adalah yang dikehendaki syara’.[13]
Menurut Muhammad Daud
Ali,[14]
penyusunan KHI, khususnya yang
terkait dengan pasal wasiat
wajibah
selalu memperhatikan kemaslahatan, terutama termasuk dalam kategori ijtihadi.
Oleh karenanya, diharapkan selain akan dapat memelihara dan menampung aspirasi
hukum serta keadilan masyarakat, juga akan mampu berperan sebagai perekayasa (social
ingeneering) masyarakat muslim Indonesia[15].
Pendapat yang serupa dengan Daud Ali, dipaparkan
oleh Abdul Manan, bahwa pembaruan aturan tersebut, [16]
jika dilihat dari substansi mempunyai tujuan untuk merealiasian maslahah
untuk kepentingan manusia, yaitu memelihara agama, jiwa, akal, harta dan
keturunan yang dalam istilah fikih disebut al-kulliyat Al-khamsah.
Mempergunakan teori mashlahah untuk menyelesaikan berbagai masalah hukum
telah mengilhami para pakar hukum Islam di Indonesia untuk mempergunakan teori
ini dalam rangka pembaruan hukum Islam, baik dengan cara membentuk peraturan
perundang-undangan maupun dengan memasukkan nilai-nilai hukum Islam ke dalam
legalisasi nasional.[17]
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari
uraian-uraian yang telah dikemukakan dalam bab-bab sebelumnya dapat ditarik
kesimpulan sebagai hasil kajian sebagai berikut:
1.
Logika
hukum yang dipakai oleh Mahkamah Agung dalam merekonstruksi wasiat wajibah untuk
menyelesaikan kasus-kasus hak mewarisi istri non muslim, saudara kandung non
muslim, dan anak yang lahir di luar perkawinan yang sah serta anak yang lahir
sebgai akibat perkawinan di bawah tangan (nikah sirri dan mut’ah),
didasarkan pada pertimbangan bahwa
kasus-kasus tersebut belum ada hukum positif yang mendasarinya Hal ini
yang mendorong Mahkamah Agung melakukan upaya pengembangan dan penemuan
hukum dalam memutus perkara-perkara (kasasi) tersebut dengan mengingat
ketentuan-ketentuan perundang-undangan, terutama pasal 10 Undang-undang Kekuasaan Kehakiman bahwa
“Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang
diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib
untuk memeriksa dan mengadilinya”. Dengan kata lain,
pengadilan harus menemukan sendiri hukumnya secara independen. Terkait dengan
hal ini, dalam pasal 5 ayat (1) Undang-undang
tersebut dijelaskan
bahwa ”Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai
hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Ketentuan inilah yang
menjadi dasar hukum KHI dapat digunakan sebagai rujukan tak langsung atau
sebagai pedoman. Ketentuan Pasal di atas sejalan dengan pasal 229 KHI bahwa “Hakim
dalam menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan kepadanya wajib memperhatikan
dengan sungguh-sungguh nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, sehingga
putusannya sesuai dengan rasa keadilan”.
Logika hukum lain yang menjadi pertimbangan Mahkamah Agung dalam memutuskan
kasus-kasus tersebut di atas, adalah untuk menjaga keutuhan keluarga dan mengakomodir
adanya realitas sosial masyarakat
Indonesia yang pluralistik
yang terdiri dari berbagai etnis dan
keyakinan, serta
kemaslahatan untuk memenuhi rasa keadilan.
Pemberian
wasiat wajibah kepada saudara kandung non muslim dan istri non muslim ini telah
memberikan sumbangan yang baru dalam pembaharuan hukum Islam di Indonesia, tapi bersifat terbatas. Artinya, ahli waris non muslim
tetap sebagai orang yang terhalang untuk mendapatkan bagian dari harta
peninggalan saudara kandungnya yang muslim dan istri non muslim dari suami yang muslim.
Sedangkan pertimbangan hukum Mahkamah
Agung terkait
dengan hak-hak anak
yang lahir dari hubungan di luar nikah dan pernikahan bawah tangan (sirri dan mut”ah),
melalui
wasiat wajibah,
berdasarkan Surat
Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No 7 tahun 2012 hasil pembahasan Komisi Bidang
Peradilan Agama MA. SEMA ini mengikat hakim-hakim peradilan-peradilan agama
untuk menguatkan putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 dalam
pengujian Pasal 43 ayat 1 UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pertimbangan dari segi perundang-undangan adalah tercabutnya
hak-hak keperdataan anak yang disebabkan bukan karena perbuatannya,
sesungguhnya mencederai rasa keadilan dan bertentangan dengan beberapa prinsip
yang terdapat dalam undang-undang. Diantaranya adalah sebagai berikut: Pertama, bertentangan
dengan prinsip persamaan di hadapan hukum (equality before the law),
karena dengan mencabut hak keperdataan anak diluar nikah terhadap ayah
menjadikan kedudukan anak tidak sama di hadapan hukum. Kedua, bertentangan dengan
Undang-undang Dasar 1945 Pasal 27 ayat (1) yang berbunyi : “Segala warga negara
bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung
hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Ketiga, bertentangan dengan
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 4 yang
berbunyi : “Setiap anak berhak untuk hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi
secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Keempat, dengan hilangnya hak-hak
keperdataan anak dari ayahnya di atas, maka hilang pula hak-hak anak uuntuk
mendapat pendidikan, nafkah, perlindungan dan sebagainya dari ayahnya tersebut.
Hal ini tidak sesuai dengan Pasal 1 ayat (12) UU No. 23 Tahun 2002 yang
berbunyi : “Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin,
dilindungi dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan
Negara”, dan beberapa melanggar lainnya seperti Undang-undang Nomor 39 tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia dan undang-undang yang lainnya. Kelima, bertentangan dengan
Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang juga mengatur
tentang perlindungan anak yang menyatakan “Setiap anak berhak atas perlindungan
oleh orang tua, keluarga, masyarakat, dan Negara. Hak anak adalah hak asasi
manusia dan untuk kepentingannya hak anak itu diakui dan dilindungi oleh hukum
bahkan sejak dalam kandungan. Setiap anak sejak kelahirannya, berhak atas suatu
nama dan status kewarganegaraan” . Keenam, bertentangan dengan Deklarasi “Social
Welfare” dan “Human Rights” untuk anak (Deklarasi Jenewa, 1924) asas 1 yaitu :
“Anak-anak berhak menikmati seluruh haknya yang tercantum dalam deklarasi ini.
Semua anak tanpa pengecualian yang bagaimanapun berhak atas hak-hak ini, tanpa
membedakan suku bangsa, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat
dibidang politik atau dibidang lainnya, asal-usul bangsa atau tingkatan social,
kaya atau miskin, keturunan atau status, baik dilihat dari dirinya sendiri
maupun dari segi keluarganya”
2.
Keputusan
Mahkamah Agung yang memberikan wasiat wajibah dengan pertimbangan memberikan
nilai keadilan (aspek filosofis) dan nilai kemanfaatan (aspek sosiologis) kepada
saudara kandung non muslim, istri non muslim dari suami yang beragama
Islam, dan anak yang lahir di luar perkawinan yang sah serta anak yang lahir
sebgai akibat perkawinan di bawah tangan (nikah sirri dan mut’ah),
sejalan dengan cara berfikir pada umumnya ulama maqashidiyyun[18]
yaitu
ditentukan melalui empat media, yaitu penegasan al-Qur’an, penegasan hadis, istiqra’
(riset atau kajian induktif), dan al-ma’qul
(logika).
B. Saran
1.
Reformasi
hukum di Indonesia dapat dilakukan melalui dua jalur, pertama, penyusunan
peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh lembaga legislatif atau
bersama-sama dengan eksekutif. Kedua, melalui putusan-putusan hakim di
pengadilan (yurisprodensi). Jalur yang pertama memerlukan waktu dan biaya yang
tidak sedikit sehingga kadang-kadang terlambat dilakukan, oleh karena itu,
reformasi hukum sebaiknya dan seharusnya banyak dilakukan oleh pihak yudikatif
melalui yurisprodensi, termasuk dalam hal ini adalah reformasi hukum kewarisan
di Indonesia.
2.
Penayaluran
dana penelitian baik yang bersumber dari APBN maupun dari sumber-sumber lain
seperti BOPTN, perencanaannya harus matang dan penganggarannya cukup memadai agar
menghasilkan penelitian yang berkualitas.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Zahra, Al-Imam
Muhammad ,Syarh
Qanunal-Washiyah, (
Kairo: Dar al-Fikr al-Arabiy, 1950.
Al-Yasa Abu Bakar, Ahli Waris
Sepertalkian Darah: Kajian Perbandingan Terhadap Penalaran Hazairin dan
Penalaran Fikih Mazhab, (Jakarta: INIS, 1996).
Anderson, J.N.D, Hukum Islam di Dunia
Modern, alih bahasa Machnun Husein, edisi revisi, cetakan pertama,
(Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1994).
Amiur Nuruddin dan
Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Perkembangan
Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974
sampai KHI, cetakan ke 3, (Iakarta: Kencana, 2006).
Al-Asqalaniy, Ahmad ibn Ali ibn Hajar , Fath al Bary, (t.tp : al
Maktabah al Salafiyah, t.th).
Al-Sayyid Sabiq, Fiqh al Sunnah, (Kairo : Maktabah
Dar al Turats, t.t ),
http://badilag.net/data/ARTIKEL/Artikel%20Wasiat%20wajibah%20bagi%20anak%20diluar%20perkawinan%20yang%20sah.pdf,
akses tanggal 8 September 2013
http://www.mitrahukum.org/file/bahan-ajar/Rekam
Jejak Pemikiran Hukum Progresif Prof. Satjipto Rahardjo by Suteki Pdf, akses 26
Mei 2011
Hisyam Qablan, al-Wasiyah
al-Wajibah fi al-Islam (Beirut: Mansyurat Awaidat, 1981).
Ibn
Katsir al-Qursiy al-Dimasyqiy Tafsir
Ibn Katsir, (Beirut: Dar al-Fikr, [t.th])
Ibn al-’Arabi, Ahkam al-Quran, (Beirut: Dar
al-Ma’rifah, [t.th.]).
Ibn Qudamah, al Mughni, (Kairo : Dar al
Manar, 1367 H), Juz 6, h. 100
Instruksi Presiden Republik
Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang KHI, dikeluarkan di Jakarta pada tanggal
10 Juni 1991
Idris Djakfar dan Taufik Yahya, Kompilasi
Hukum Kewarisan Islam, cetakan pertama, (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1995).
Jazuni, Legislasi Hukum Islam di
Indonesia, cetakan ke- 1, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005).
Mohd. Idris Ramulyo, Hukum
Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradi;an Agama dan Zakat Menurut
Hukum Islam, cetakan keempat, ((Jakarta: Sinar Grafika, 2006).
Muhammad Khalid Mas’ud, Filsafat
Hukum Islam dan Perubhan Sosial, alih bahasa Yudian Wahyudi, (Surabaya:
al-Ikhlas, 1987).
Muhammad
Abi ‘Abdillah Muhammad Ibn Isma’il ibn Ibrahim ibn al-Mughirah ibn Barda Zabh, Shahih
al-Bukhari, (Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah, [t.th.]),
Ratno Lukito, Hukum
Islam dan Realitas Sosial, cetkan pertama, (Yogyakarta: Fakultas Syari’ah
UIN Sunan kalijaga, 2008).
repository.udu.ac.id/,,,ndle/123456789/5435?show.full,
akses tanggal 9 September 2013
M.
Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, (Mesir: Syirqah ‘Iqalat al-Din, [t.th.]),
Pustaka.unpad.ac.id/archives/125341, akases tanggal
7 September 2013
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman, yang dimuat dalam lembaran Negara RI Tahun 2009
Nomor 157
Al-Qusyairiy, Abu al Husain Muslim ibn al Hajjaj ibn
Muslim , al Jami` al Shahih,
(Beirut : Dar al Fikr, t.th)
Syamsul Anwar, Studi
Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta: RM Books, 2007).
Satjipto Rahardjo,
Biarkan Hukum Mengalir, (Jakarta: Penerbit Kompas, 2007).
Al-Shan’aniy, Subul al-Salam, (Bandung: Dahlan,
[t.th])
Al-Sijistani, Abu Dawud Sulaiman ibn al Asy`as, Sunan
Abu Dawud, (Beirut : Dar al Fikr, 1994)
Al-Thabariy, Abi Ja’far Muhammad ibn Jarir Jami’
al-Bayan, (Beirut: Dar al-Fikr, 1988).
Al-Turmudziy, Abu Isa Muhammad ibn Isa ibn Surah, al Jami` al Shahih, (Beirut : Dar al
Fikr, 1983
Yudian Wahyudi, Ushul Fiqh Versus
Hermeneutika, Membaca Islam dari Kanada dan Amerika, (Yogyakarta: Pesantren
Nawesea Press, 2006).
Al-Zarqa, Mushthafa Ahmad, Hukum Islam dan
Perubahan Sosial, Studi Komparatif dalam beberapa Mazhab Fiqh,
alih bahasa Ade Dede Rohayana, (Jakarta: Riora Cipta, 2000).
al-Zuhaili, Wahbah, Al-Washaya
wa al-Waqfu fi al-Fiqhi al-Islam, Damaskus, Dar al-Fikr,
1987).
[1]Ratno
Lukito Hukum
Islam dan Realitas Sosial, (Yogyakarta: Fakultas Syari’ah UIN Sunan
Kalijaga, 2008),hlm. 111
[2]
repository.udu.ac.id/,,,ndle/123456789/5435?show.full, akses tanggal 9
September 2013
[3]Pustaka.unpad.ac.id/archives/125341,
akases tanggal 7 September 2013
[5]Instruksi
Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang KHI, dikeluarkan di
Jakarta pada tanggal 10 Juni 1991
[6]Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang dimuat dalam lembaran Negara
RI Tahun 2009 Nomor 157
[7]J.N.D.
Anderson, Hukum Islam di Dunia Modern,
alih bahasa Machnun Husein, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1994), hlm. 85
[8]http://www.badilag.net/artikel/8990-wasiat-wajibah-bagi-anak-di-luar-perkawinan-yang-sah-oleh-asep-ridwan-h-shi-mag-2211.html,
akses tanggal 22 November 2013
[9] )Asjmuni A. Rahman, Metode
Penetapan Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), hlm. 3-4
[10] T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Syari’at Islam menjawab Tantangan Zaman,
(Yogyakrta: IAIN al-Jami’ah al-Islamiyah al-Hukumiyah, 1961), hlm. 42, lihat
juga Agus Moh. Najib, Pengembangan
Metodologi Fikih Indonesiadan Kontribusinya Bagi Pembentukan Hukum Nasional,Seri
Disertasi, (Jakarta: Kementerian Agama RI, 2011),
hl. 57
[11]Ibid; hlm.
65, lihat juga Hazairin, Hukum Islam dan
Masyarakat, Cet. Ke-3, (Jakarta: Bulan Bintang, 1963), hlm. 15
[12]
)Sarjana-sarjana muslim kontemporer yang menjadikan maqashid al-syri’ah sebagai andasan berpikir dalam memahami
syari’at Islam.
[13]
)Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Minoritas, hlm. 209-210
[14]
)Beliau adalah Guru Besar Hukum Islam di Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
lihat juga Baharuddin, Hukum
Perkawinan di Indonesia, Studi Historis Metodologis, Cet. ke-1, (Jakarta:
Gaung Persada Press, 2008), hlm. 105
[15]
)Muhammad Daud Ali, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata HukumIslam di
Indonesia, Cet. ke-3, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1993), hlm. 268
[16]
) Manan, Abdul (2006) Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia. Cet
1; (Jakarta: Jakarta: Kencana, 2006*, hlm. 298
[17]) Bandingkan dengan komentr Umar
Syihab bahwa peraturan yang berlaku di Indonesia yang memperketat kebolehan
berpoligami kecuali dalam keadaan yang sangat mendesak, merupakan peraturan
yang sejalan dengan hukum Islam. Karena dengan terpenuhinya syarat-syarat yang
terdapat dalam peraturan tersebut, seorang laki-laki yang berpoligami tidak
akan mengalami kesulitan dalam rumah tangganya akibat desakan dari
istri-istrinya, Umar Syihab, Hukum
Islam dan Transformasi Pemikiran Cet. ke-1, (Semarang: Penerbit Dina Utama,
1996), hlm. 120-121,
[18]
)Sarjana-sarjana muslim kontemporer yang menjadikan maqashid al-syri’ah sebagai andasan berpikir dalam memahami
syari’at Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar