Masyarakat
Islam dibangun di atas framework peradaban Timus Tengah kuna yang telah mapan
sebelumnya. Meskipun lahir di Makkah, peradaban Islam memiliki leluhur di Palestina,
Babylonia, dan Persepolis. Masyarakat Islam berkembang dalam sebuah lingkungan
yang sejak masa awal sejarah umat manusia telah menampilkan dua aspek
fundamental. Aspek yang pertama merupakan sebuah organisasi-organisasi
masyarakat, dan aspek yang kedua adalah sebuah evolusi sebuah kencenderungan
yang mengarah kepada pembentukan kesatuan kultur, agama, dan wilayah. (Ira. M.
Lapidus. Sejarah Umat Islam. Buku
Satu. Terj. Ghufron A. Mas’adi. Jakarta: Raja Garfindo Persada, 2000)
Arabia dalam keadaan sebuah
masyarakat ditengah eksperimen pembentukan politik terancam oleh anarki klan
yang kuat, dan kekuasaan kesukuan mengancam stabilitas pertanian, aktivitas
komersial, dan ikatan politik. Sebuah masyarakat yang telah terjamah sejumlah
pengaruh kerajaan dan Timut Tengah tetapi tidak disertai penyerapan terhadap
ide-ide tersebut. Dalam keadan tersebut Arabia sedang berusaha menemukan
posisinya dalam dunia Timur Tengah yang semuanya bersifat ruwet dan tidak ada
yang bersifat pasti. Namun ditempat inilah Nabi Muhammad saw lahir, tumbuh, dan
berkembang, menyampaikan al-Qur’an, dan ditempat ini pula Nabi Muhammad saw
menjadi Nabi Islam.
Menjelang era Islam, Arabia
merupakan wilayah pinggiran bagi masyarakat Timur Tengah. Jauh sebelum Nabi
Muhammad saw diutus atau sebelum lahirnya agama Islam, bangsa Arabia pada waktu
itu terkenal dengan sebutan Zaman Jahilliyah atau Zaman Kebodohan. Kebiadaban
dan kebejatan moral telah membudaya dalam masyarakat, sehingga pada zaman itu
terkenal dengan sebutan hukum rimba. Selain itu mereka juga menjadi umat yang
sesat, dan senang melakukan dosa besar. Kegemaran mereka dalam kehidupan
sehari-hari antara lain mabuk-mabukan
(minum khamar atau arak), perjudian, merampok, berpesta, berperang atau
bermusuhan, menanam atau mengubur bayi perempuan hidup-hidup, dan banyak lagi
macam ragam tradisi bangsa Jahilliyah yang bertentangan dengan kehidupan
manusia normal pada umumnya. (Drs. M. Noor. Matdawam. Lintas Sejarah Kebudayaan Islam. Yogyakarta: Bina Karier, 1989)
Sebelum datang atau masuknya Islam,
larangan minum khamar (arak) hukumnya adalah mubah, sebab masalah makan dan
minum merupakan hak asasi manusia. Akan tetapi adanya perbuatan minum khamar
ini menyebabkan kewajiban dari tuhan menjadi terbengkalai akibat adanya
gangguan akal. Larangan Tuhan terhadap minum khamar ini paling sedikit
mengandung hikmah agar manusia memiliki mentalitas adil dan ikhsan. Namun
akibat minum khamar ini harapan Tuhan menjadi meleset, bahkan menyebabkan
perbuatan maksiat yang keji, kemungkaran dan permusuhan. Perbutan bawah sadar
inilah yang menyebabkan adanya larangan minum khamar.
Haramnya khamar disebabkan karena
adanya zat yang memebukkan, dan apabila kebal mabuk karena berkali-kali minum
khamarpun masih tetap haram hukumnya walau peminumnya tidak mabuk. Ada berbagai
nama khamar sesuai dengan nama daerah masing-masing seperti brendi, ciu, tuak,
arak, sake, brem, jenewer, dan lain-lain. Khamar sebagai produk kebudayaan
manusia merupakan salah satu alat praktis bagi setan untuk suka mengambil
kesempatan di saat-saat manusia sedang menghadapi kesempitan ilmu pengetahuan
untuk memprdaya manusia dengan cara merusak akal.
Larangan minum khamar dilatar
belakangi oleh sebab merusak akal pikiran. Hikmah larangan minum khamar yaitu
akal tetap berfungsi normal, sehingga mampu bekrja sejalan dengan. Hikmah
larangan minum khamar yaitu akal tetap berfungsi normal, sehingga mampu bekrja
sejalan dengan tanggung jawab. Meskipun al-Qur’an memberikan kebebasan memilih,
adanya larangan minum khamar ini bukan berarti kekangan hak asai manusia, akan
tetapi sebagai tanda kasih tuhan agar
manusia tetap memiliki harga diri dan tahu diri, karena bahaya yang disebabkan
khamar merupaka pangkal kecemburuan tuhan. Terus-menerus minum khamar dapat disamakan dengan penyembah berhala
menurut status ibadahnya.
Larangan ini ditetapkan demi
kesejahteraan umat manusia dan bila dilanggar akan berdosa serta akan dikenai
hukuman (had). Hukuman bagi orang merdeka adalah dicambuk 40-80 kali, sedang
bagi budak 20-40 kali, dan bagi anak-anak tidak dihadkan (sebab belum dewasa).
Batas minimum dikenai had hanya tiga kali dan apabila sudah keempat kalinya
rasulullah saw menyuruh untuk membunuhnya. Namun bila seseorang dipaksa minum
khamar dengan ancaman maka ia tidak dikenai had. Hukuman had harus segera
dilaksanakan oleh petugas negara kecuali yang terhukum sedang sakit atau hamil
boleh ditunda, akan tetapi jika sakitnya tidak ada harapan lagi untuk sembuh
maka had harus segera dilakukan.
Teknis pelaksanaan hukuman harus
melalui cara-cara yang telah ditentukan agama, tidak boleh semaunya petugas
sendiri. Tempat pelaksanaan hukuman bisa dilakukan di pasar atau tempat-tempat
ramai lainnya namun tidak boleh dilakukan di masjid. Bagian-bagian yang
dikenakan cambuk adalah bagian belakang sesuai dengan yang ditentukan, tidak
boleh mengenai pinggang, kepala, muka, dan alat vital. Alat cambuk berupa
cemeti (baik terbuat dari rotan atau bambu) dan bila yang terhukum bertele-tele
(hampir mati) alat cambuk boleh diganti dengan tepian kain. (Muallif Sahlany. Masalah Minum Sepanjang Ajaran Islam.
Yogyakarta: Sumbangsih Offset, 1987)
Kebiadaban bangsa Jahilliyah bukan
hanya dalam adat kebiasaan namun begitu pula dalam hal perkawinan dan kehidupan
keluarga. Sudah menjadi sunnatullah/hukum alam bahwa setiap kaum ingin
mewariskan suatu generasi. Untuk kebutuhan ini bangsa Jahilliyah melakukannya
dengan berbagai jalan seperti kawin Polygami, Polyandri, Mut’a (sementara), dan
kawin pinjaman.
Walaupun sebagaimana jahil dan bejad
moralnya namun mereka masih mangenal apa yang namanya agama. Bermacam-macam
agama pada bangsa Jahilliyah tersebut semisal Agama Hanif (Nabi Ibrahim), Agama
Yahudi (bangsa Yahudi), Agama Nasrani (Palestina), Agama Zoroaster atau Agama
Majusi (penyembah api), dan Agama Berhala. Agama Berhala ini merupakan agama
yang paling banyak dianut oleh bangasa Jahilliyah, penyembahan berhala ini
adalah kebiasaan dari kabilah Arab yang berkunjung ke Ka’bah untuk menunaikan
ibadah haji, maka setiap kali mereka akan kembali (pulang) mereka selalu
mengambil beberapa buah batu yang ada di setiap Ka’bah sebagai tanda kehormatan
kepada Ka’bah, dan di samping itu pula batu-batu itu mereka buat berhala
(patung) untuk disembah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar