Senin, 12 Januari 2015

Tradisi Hukum Chthonic

Jauh sebelum berbagai tradisi masuk hukum masuk ke kepulauan Nusantara, masyarakat yang hidup di gugusan kepulauan ini dipercaya memiliki aturan hukum yang berasal dari nilai-nilai hukum “chthonic”. Terma ini berasal dari terma Yunani khthon  atau khthononos yang berarti bumi. Istilah ini akan dipakai untuk menyebut tradisi hukum adat yang dipercaya sejak awal terbentuknya masyarakat asli di gugusan kepulauan Nusantara.
Terma ini digambarkan oleh Edward Goldsmith ketika ia mendeskripsikan kultur kehidupan masyarakat yang harmoni dengan bumi. Penggunaan kata ini tidak lain hanya merefleksikan akar kata yunani yang dapat diartikan hidup dekat dan akrab dengan bumi.
Mendiskripsikan tradisi hukum Indonesia sebagai hukum chthonic Indonesia yang dengan demikian sekadar untuk berusaha memotret hukum asli masyarakan dalam wilayah ini sebagai hukum yang terlahir dari bumi Indonesia dan bukan yang dilahirkan dari luarnya. Karenanya kita ingin memahami hukum asli daerah itu dari kriteria-kriteria internal masyarakat asli Indonesia. Inilah tradisi hukum yang telah termanifestasi dalam masyarakat pribumi sebagai tradisi hukum yang berbeda dan unuk, sehingga sering memunculkan resistensi. Walaupun tidak terstruktur, ketika nilai-nilai asing masuk maka akan berpengaruh dalam bumi Nusantara
Dalam ungkapan sehari-hari, istilah adat sering diterjemahkan sebagai kebiasaan (custom) atau hukum kebiasaan, yang utamanya dalam referensi sebagai suatu trdisi hukum. Namun demikian dalam perkembangannya, terma adat itu sesederhana makna aslinya yang diambil dari bahasa Arab “adah” atau “urf”. Kekomplekan terma adat disini pada dasarnya dapat dibedakan dalam tiga aspek :
·         Pertama           : Terma adat dapat memiliki arti sebagai tindakan masyarakat yang sesuai.
·         Kedua             : Terma adat secara spesifik terkadang digunakan dalam hubungan dengan praktek kebiasaan yang berlaku dalam suatu wilayah tertentu.
·         Ketiga             : Adat sebagai kumpulan besar literatur dari dan tentang adat yang diproduksi oleh para ahli maupun administratur.
Di Indonesia, istilah adat jga bukan tidak biasa. Kata adat sering kali digunakan oleh masyarakat umum dalam bentuknya yang sederhana, namun istilah yang lebih rumit seperti adat-istiadat dan adat-kebiasaan sering digunakan juga. Karenanya, sebagaimana disampaikan oleh Snouch Hurgeronje, seseorang musti sadar akan terma adat yang digunakan dalam dialeg Melayu maupun Minangkabau. Jika dalam bahasa melayu terma adat-istiadat mempunyai arti sebagai institusi manusia secara keseluruhan, maka dalam istilah Minangkabau ia digunakan untuk menunjuk kepada kategori tertentu yang berbeda dari institusi lain.
Sangat dimungkinkan pada mulanya suatu tindakan diikuti sebagai suatu kebiasaan yang kemudian berangsur-angsur tertanam dalam masyarakat, yang karenanya memberikan rasa kepatutan, dan yang pada akhirnya tindakan tersebut menjadi adat. Adat pada dasarnya diturunkan dari rasa kepatutan, yang karenanya masyarakat wajib menaatinya. Dalm artian lain adat tidak lain adalah sedimen etika dalam sautu masyarakat, meskipun tidak begitu jelas apakah nilai-nilai etika itu berbeda dari kandungan normatif adat.
Makna adat yang rumit seperti ini tampaknya tidak bisa dipisahkan dari kenyataan bahwa mesyarakat di Indonesia memahami terma ini dalam artiannya yang mencakup banyak dimensi kehidupan. Seberapa pun keumuman dan kelazimannya, semua dapat dimasukan dalam terma tersebut. Karenanya kita melihat orang menggunakan terma adat ini untuk mengekspresikan tentang keagungan, pertemuan sosial, masakan, lumbung beras, dan sebagainya.Adat bukanlah suatu etnis tunggal. Karenanya, pendekatan taksonomis dapat digunakan disini untuk mendukung pemahaman adat sebagaimana yang dipahami oleh masyarakat asli di Nusantara. Walaupun pemilahan/klasifikasi itu sendiri bukanlah suatu hal yang umum sifatnya, kecenderungan orang-orang di seluruh wilayah ini untuk memahami adat sebagai satu norma yang mencakup segala aspek kehidupan manusia tampaknya menjadi basis yang kuat untuk mempertimbangkan tasonomi tersebut sebagai pandangan yang umumnya di ikuti.
Terlepas dari perbedaan dalam hal taksonomi adat tersebut, masyarakat di Indonesia tampaknya mempunyai pemahaman yang sama tentang terma adat itu. Secar etimologis, adat digunakan untuk menyebut norma yang mengikat dari suatu masyarakat tertentu, yang mengatur fase kehidupan seseorang dalam suatu masyarakat. Ide tentang adat karenanya sangat dekat dengan ide modern tentang hukum yang hidup dalam masyarakat.
Para ahli hukum Barat tampaknya enggan untuk menerima adat sebagai sebuah hukum. Mungkin ini memang disebabkan oleh perbedaan pemahaman mengenai makna hukum dalam tradisi masyarakat Barat dibanding dengan makna tersebut dalam masyarakat Indonesia, yang karena sikap mereka terhadap adat juga berbeda. Khususnya sejak abad Pencerahan (renaissence), ketika ide penciptaan hukum melalui proses yang mekanis dan formal menjadi begitu kuat, masyarakat Barat pada umumnya cenderung untuk melihat hukum hanya dalam dimensi legislasi. Hukum dalam  bentuknya  yang lain yang dihasilkan dari tradisi wicara dan tidak tertulis dalam masyarakat pada umumnya kemudian dilihat sebagai sesuatu yang bukan hukum tetapi sekedar kebiasaan. Pandangan inilah yang tampak umum dalam literatur hukum barat sekarang ini.
Sejak awalnya, para sarjana Barat senantiasa melihat aspek hukum dari adat melalui  lensa pengajaran dan definisi hukum yang diterima dalam dunia barat. Dan pandangan inilah yang saat itu mempengaruhi pemerintah kolonial Belanda ketika menghadapi fenomena adat dalam masyarakat lokal.
Adat sesungguhnya dapat kita pandang sebagai suatu bentuk hukum apabila dilihat dari definisi yang ditawarkan oleh masyarakat Indonesia secara umum. Karena adat pada esensinya dipahami sebagai sebuah norma yang mengikat dan dipelihara dalam masyarakat dalam rangka kepentingan mereka untuk mengatur kehidupan harian masyarakat, maka ia dengan demikian adalah hukum itu sendiri. Inilah dasar kita untuk mengatakan bahwa masyarakat dalam kenyataan tidak pernah memahami adat sebagai sesuatu etitas yang terpisah dengan hukum.
Melihat dari dimensi institusi sosial dalam masyarakat, tampaknya memahami term hukum dalam arti sebagai suatu kewajiban dalam kehidupan masyarakat bersangkutan. Hukum dalam masyarakat tertentu adalah sistem aturan yang dipandang sebagai kewajiban oleh anggota masyarakat tersebut. Karenanya tidak perlu memberikan perhatian kepada ide hukum sebagai suatu institusi yang merubah norma sosial menjadi hukum. Sepanjang dilihat sebagai kewajiban oleh masyarakat, maka itu adalah hukum.
Ajaran adat mengenai hubungan harmonis antara masyarakat dan alam sangat memberikan pengaruh terhadap aspek subtansi hukumnya. Individu mempunyai hak dan kewajiban yang secara spesifik tergantung pada hubungannya dengan masyarakat. Namun demikian, hal tersebut tidak dipahami sebagai sesuatu yang tetap, melainkan tergantung pada beberapa perilaku yang dituntunkan adat terhadap suatu individu. Dalam hal ini hukum adat memiliki beberapa aspek substantif, antara lain :
1.      Hukum tanah, karena tanah merupakan satu hal terpenting dalam kehidupan masyarakat, hukum adat memberikan aturan secara detail mengenai hak-hak yang bersangkutan dengannya.
2.      Hukum perkawinan, perilaku yang umum untuk mempertahankan sifat hidup komunal juga dapat ditemui dalam hukum adat tentang perkawinan. Bahwa perkawinan berfungsi tidak hanya untuk memastikan kontinuitas ras  manusia, tetapi juga keberlangsungan masyarakat itu sendiri.
3.      Hukum Kewarisan, merefleksikan prinsip-prinsip kehidupan yang muncul dari pemikiran komunal, dimana keluarga menjadi komponen inti dalam struktur masyarakat. Hukum ini memiliki berbagai aturan yang mengatur proses pengalihan hak  dan kepemilikan keluarga, baik material maupun immaterial, dari satu generasi ke generasi selanjutnya.

4.      Hukum pidana, menjadi karakter dari konsep hukum adat tentang hukuman . Karena adat senantiasa mendasarkan diri pada premis  hubungan erat antara individu dengan masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar