Jauh
sebelum berbagai tradisi masuk hukum masuk ke kepulauan Nusantara, masyarakat
yang hidup di gugusan kepulauan ini dipercaya memiliki aturan hukum yang
berasal dari nilai-nilai hukum “chthonic”. Terma ini berasal dari terma Yunani khthon atau khthononos
yang berarti bumi. Istilah ini akan dipakai untuk menyebut tradisi hukum
adat yang dipercaya sejak awal terbentuknya masyarakat asli di gugusan
kepulauan Nusantara.
Terma
ini digambarkan oleh Edward Goldsmith ketika ia mendeskripsikan kultur
kehidupan masyarakat yang harmoni dengan bumi. Penggunaan kata ini tidak lain
hanya merefleksikan akar kata yunani yang dapat diartikan hidup dekat dan akrab
dengan bumi.
Mendiskripsikan
tradisi hukum Indonesia sebagai hukum chthonic Indonesia yang dengan demikian
sekadar untuk berusaha memotret hukum asli masyarakan dalam wilayah ini sebagai
hukum yang terlahir dari bumi Indonesia dan bukan yang dilahirkan dari luarnya.
Karenanya kita ingin memahami hukum asli daerah itu dari kriteria-kriteria
internal masyarakat asli Indonesia. Inilah tradisi hukum yang telah
termanifestasi dalam masyarakat pribumi sebagai tradisi hukum yang berbeda dan
unuk, sehingga sering memunculkan resistensi. Walaupun tidak terstruktur,
ketika nilai-nilai asing masuk maka akan berpengaruh dalam bumi Nusantara
Dalam
ungkapan sehari-hari, istilah adat sering diterjemahkan sebagai kebiasaan
(custom) atau hukum kebiasaan, yang utamanya dalam referensi sebagai suatu
trdisi hukum. Namun demikian dalam perkembangannya, terma adat itu sesederhana
makna aslinya yang diambil dari bahasa Arab “adah” atau “urf”. Kekomplekan
terma adat disini pada dasarnya dapat dibedakan dalam tiga aspek :
·
Pertama :
Terma adat dapat memiliki arti sebagai tindakan masyarakat yang sesuai.
·
Kedua :
Terma adat secara spesifik terkadang digunakan dalam hubungan dengan praktek
kebiasaan yang berlaku dalam suatu wilayah tertentu.
·
Ketiga :
Adat sebagai kumpulan besar literatur dari dan tentang adat yang diproduksi
oleh para ahli maupun administratur.
Di
Indonesia, istilah adat jga bukan tidak biasa. Kata adat sering kali digunakan
oleh masyarakat umum dalam bentuknya yang sederhana, namun istilah yang lebih
rumit seperti adat-istiadat dan adat-kebiasaan sering digunakan juga.
Karenanya, sebagaimana disampaikan oleh Snouch Hurgeronje, seseorang musti
sadar akan terma adat yang digunakan dalam dialeg Melayu maupun Minangkabau.
Jika dalam bahasa melayu terma adat-istiadat mempunyai arti sebagai institusi
manusia secara keseluruhan, maka dalam istilah Minangkabau ia digunakan untuk
menunjuk kepada kategori tertentu yang berbeda dari institusi lain.
Sangat
dimungkinkan pada mulanya suatu tindakan diikuti sebagai suatu kebiasaan yang
kemudian berangsur-angsur tertanam dalam masyarakat, yang karenanya memberikan
rasa kepatutan, dan yang pada akhirnya tindakan tersebut menjadi adat. Adat
pada dasarnya diturunkan dari rasa kepatutan, yang karenanya masyarakat wajib
menaatinya. Dalm artian lain adat tidak lain adalah sedimen etika dalam sautu
masyarakat, meskipun tidak begitu jelas apakah nilai-nilai etika itu berbeda
dari kandungan normatif adat.
Makna
adat yang rumit seperti ini tampaknya tidak bisa dipisahkan dari kenyataan
bahwa mesyarakat di Indonesia memahami terma ini dalam artiannya yang mencakup
banyak dimensi kehidupan. Seberapa pun keumuman dan kelazimannya, semua dapat
dimasukan dalam terma tersebut. Karenanya kita melihat orang menggunakan terma
adat ini untuk mengekspresikan tentang keagungan, pertemuan sosial, masakan,
lumbung beras, dan sebagainya.Adat bukanlah suatu etnis tunggal. Karenanya,
pendekatan taksonomis dapat digunakan disini untuk mendukung pemahaman adat
sebagaimana yang dipahami oleh masyarakat asli di Nusantara. Walaupun
pemilahan/klasifikasi itu sendiri bukanlah suatu hal yang umum sifatnya,
kecenderungan orang-orang di seluruh wilayah ini untuk memahami adat sebagai
satu norma yang mencakup segala aspek kehidupan manusia tampaknya menjadi basis
yang kuat untuk mempertimbangkan tasonomi tersebut sebagai pandangan yang
umumnya di ikuti.
Terlepas
dari perbedaan dalam hal taksonomi adat tersebut, masyarakat di Indonesia
tampaknya mempunyai pemahaman yang sama tentang terma adat itu. Secar
etimologis, adat digunakan untuk menyebut norma yang mengikat dari suatu
masyarakat tertentu, yang mengatur fase kehidupan seseorang dalam suatu
masyarakat. Ide tentang adat karenanya sangat dekat dengan ide modern tentang
hukum yang hidup dalam masyarakat.
Para
ahli hukum Barat tampaknya enggan untuk menerima adat sebagai sebuah hukum.
Mungkin ini memang disebabkan oleh perbedaan pemahaman mengenai makna hukum
dalam tradisi masyarakat Barat dibanding dengan makna tersebut dalam masyarakat
Indonesia, yang karena sikap mereka terhadap adat juga berbeda. Khususnya sejak
abad Pencerahan (renaissence), ketika
ide penciptaan hukum melalui proses yang mekanis dan formal menjadi begitu
kuat, masyarakat Barat pada umumnya cenderung untuk melihat hukum hanya dalam
dimensi legislasi. Hukum dalam
bentuknya yang lain yang dihasilkan
dari tradisi wicara dan tidak tertulis dalam masyarakat pada umumnya kemudian
dilihat sebagai sesuatu yang bukan hukum tetapi sekedar kebiasaan. Pandangan
inilah yang tampak umum dalam literatur hukum barat sekarang ini.
Sejak
awalnya, para sarjana Barat senantiasa melihat aspek hukum dari adat
melalui lensa pengajaran dan definisi
hukum yang diterima dalam dunia barat. Dan pandangan inilah yang saat itu
mempengaruhi pemerintah kolonial Belanda ketika menghadapi fenomena adat dalam
masyarakat lokal.
Adat
sesungguhnya dapat kita pandang sebagai suatu bentuk hukum apabila dilihat dari
definisi yang ditawarkan oleh masyarakat Indonesia secara umum. Karena adat
pada esensinya dipahami sebagai sebuah norma yang mengikat dan dipelihara dalam
masyarakat dalam rangka kepentingan mereka untuk mengatur kehidupan harian
masyarakat, maka ia dengan demikian adalah hukum itu sendiri. Inilah dasar kita
untuk mengatakan bahwa masyarakat dalam kenyataan tidak pernah memahami adat
sebagai sesuatu etitas yang terpisah dengan hukum.
Melihat
dari dimensi institusi sosial dalam masyarakat, tampaknya memahami term hukum
dalam arti sebagai suatu kewajiban dalam kehidupan masyarakat bersangkutan.
Hukum dalam masyarakat tertentu adalah sistem aturan yang dipandang sebagai
kewajiban oleh anggota masyarakat tersebut. Karenanya tidak perlu memberikan
perhatian kepada ide hukum sebagai suatu institusi yang merubah norma sosial
menjadi hukum. Sepanjang dilihat sebagai kewajiban oleh masyarakat, maka itu
adalah hukum.
Ajaran
adat mengenai hubungan harmonis antara masyarakat dan alam sangat memberikan pengaruh
terhadap aspek subtansi hukumnya. Individu mempunyai hak dan kewajiban yang
secara spesifik tergantung pada hubungannya dengan masyarakat. Namun demikian,
hal tersebut tidak dipahami sebagai sesuatu yang tetap, melainkan tergantung
pada beberapa perilaku yang dituntunkan adat terhadap suatu individu. Dalam hal
ini hukum adat memiliki beberapa aspek substantif, antara lain :
1. Hukum
tanah, karena tanah merupakan satu hal terpenting dalam kehidupan masyarakat,
hukum adat memberikan aturan secara detail mengenai hak-hak yang bersangkutan
dengannya.
2. Hukum
perkawinan, perilaku yang umum untuk mempertahankan sifat hidup komunal juga
dapat ditemui dalam hukum adat tentang perkawinan. Bahwa perkawinan berfungsi
tidak hanya untuk memastikan kontinuitas ras
manusia, tetapi juga keberlangsungan masyarakat itu sendiri.
3. Hukum
Kewarisan, merefleksikan prinsip-prinsip kehidupan yang muncul dari pemikiran
komunal, dimana keluarga menjadi komponen inti dalam struktur masyarakat. Hukum
ini memiliki berbagai aturan yang mengatur proses pengalihan hak dan kepemilikan keluarga, baik material
maupun immaterial, dari satu generasi ke generasi selanjutnya.
4. Hukum
pidana, menjadi karakter dari konsep hukum adat tentang hukuman . Karena adat
senantiasa mendasarkan diri pada premis
hubungan erat antara individu dengan masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar