Kamis, 15 Januari 2015

CRITICAL BOOK REVIEW

ARTI PERKEMBANGAN MENURUT FILSAFAT POSITIVISME MENURUT AUGUSTE COMTE

A.           PENDAHULUAN
            Positivisme yang menandai krisis pengetahuan Barat itu sebenarnya merupakan salah satu dari sekian banyak aliran filsafat Barat, dan aliran ini berkembang sejak abad ke-19 dengan perintisnya Auguste Comte. Meski dalam beberapa segi positivisme mengandung kebaruan, pandangan ini bukan barang yang sama sekali baru, karena sebelum Kant sudah berkembang empirisme yang dalam beberapa segi bersesuain dengan positivisme. Lebih tepatlah bila dipandang bahwa positivisme merupakan peruncing trend sejarah pemikiran Barat modern yang telah mulai menyingsing sejak ambruknya tatanan dunia Abad Pertengahan, melalui rasionaliosme dan empirisme. Apa yang baru dalam positivisme adalah sorotan khususnya terhadap metodologi ilmu pengetahuan, bahkan dapat dikatakan bahwa pandangan ini sangat menitikberatkan metodologi dalam refleksi filsafatnya. Kalau dalam empirisme dan rasionalisme pengetahuan masih direfleksikan, dalam positivisme kedudukan pengetahuan diganti metodologi, dan satu-satunya metodologi berkembang secara meyakinkan sejak Renaissance, dan subur pada masa Aufklarung adalah metodologi ilmu-ilmu alam. Oleh karena itu, positivisme menempatkan metodologi ilmu-ilmu alam pada ruang yang dulunya menjadi wilayah refleksi epistemologi, yaitu pengetahuan manusia tentang kenyataan.[1]
            Oleh karena itu dalam sejarah Filsafat Barat, abad ke-19 dinyatakan sebagai Abad Positivisme yang ditandai dengan peranan yang sangat menentukan dari fikiran-fikiran ilmiah, dalam arti fikiran-fikiran ilmiah. Kebenaran filsafati diukur menurut nilai “positif”nya, sedang perhatian baru, lahir, terhadap filsafat yang lebih menekankan kepada segi-segi yang bersifat praktis. Orang tidak lagi memandang “dunia yang abstrak” sebagai hal yang penting.
           


B.            POKOK-POKOK PEMIKIRAN
            Istilah “positivisme” diperkenalkan oleh Auguste Comte. Istilah itu berasal dari kata “positif”. Dalam prakata Cours de Philosophie Positive, dia mulai memakai istilah “filsafat positif” dan terus menggunakannya dengan arti yang konsisten di sepanjang bukunya. Kata “filsafat”, dia artikan sebagai “sistem umum tentang konsep-konsep manusia”, sedangkan “positif” diartikannya sebagai “teori yang bertujuan untuk penyusunan fakta-fakta yang teramati”. Dengan kata lain, “positif” sama dengan “factual”, atau apa yang berdasarkan fakta-fakta. Dalam hal ini, positivisme menegaskan bahwa pengetahuan hendaknya tidak melampaui fakta-fakta.
          Auguste Comte dalam seluruh pandangannya bertolak dari hukum tiga tahap (stadia) yang ia ciptakan, yaitu hukum yang menerangkan bahwa jika manusia, baik sebagai perorangan maupun sebagai satu keseluruhan, demikian pula masyarakat, dalam perkembangannya berlangsung melalui tiga tahap, yaitu : tahap teologi atau fiktif, tahap metafisik atau abstrak dan tahap positif atau riil.
1.      Tahap teologi atau fiktif
Merupakan tahap di kala manusia selalu berusaha untuk mencari sebab yang pertama atau tujuan akhir dari segala sesuatu. Gejala-gejala yang menarik perhatiannya diterangkan dengan kepercayaan bahwa ada kekuatan yang dikodrati atau transendental yang menagatur, yang menjadi sebab pertama atau tujuan terakhir dari gejala-gejala itu. Tahap teologik ini, dalam perkembangannya juga berlangsung secara beratahap, yaitu melaui fetisysme (segala sesuatu yang berada disekeliling manusia mempunyai suasana kehidupan sama seperti manusia sendiri), politeisme (pengaruh kehidupan masyarakat berasal dari makhluk-makhluk yang tidak kelihatan yang berada disekeliling manusia), monoteisme (pengaruh kehidupan masyarakat berasal dari kekuatan mutlak, adikodrati yaitu Tuhan Yang Maha Esa).
2.      Tahap metafisik atau abstrak
Merupakan tahap di kala manusia masih tetap berusaha untuk mengetahui sebab pertama dan tujuan terakhir dari segala sesuatu, akan tetapi manusia sudah tidak lagi menyandarkan diri kepada kepercayaan akan adanay kekuatan akalnya sendiri akal yang telah mampu untuk melakukan abstraksi guna menemukan hakikat atau substansi dari segala sesuatu yang ingin diketahuinya.
3.      Tahap positif atau riil
Merupakan tahap di kala manusia telah sampai pada pengetahuan yang tidak abstrak, tetapi pasti, jelas dan bermanfaat. Tahap ini juga manusia telah maju yaitu telah mampu berfikir secara positif atau riil, atas dasar pengetahuan yang telah dicapainya, yang dikembangkan secara positif melalui pengamatan, percobaan dan perbandingan.
            Dengan pendirian “Savoir pour prevoir” beserta mottonya “Ordre et proges”, Comte memandang tahap positif sebagai tahap akhir atau puncak dari perkembangan. Hukum tiga tahap, yang mencerminkan pandangan Comte makna “perkembangan”, menunjukkan bahwa “perkembangan” merupakan gerak yang akan mengantarkan manusia ke hari depan yang sama, yaitu “kemajuan”. Secara eksplisit dijelaskan bahwa dengaan istilah “positif” diartikan sebagai sesuatu yang nyata, jelas, pasti, bermanfaat serta kebalikan dari sesuatu yang negatif. Dengan demikian positivisme menolak keberadaan segala kekuatan atau subjek diluar fakta, menolak segala penggunaan metoda di luar yang digunakan untuk menelaah fakta sehingga kaum positivis membatasi dunia pada hal-hal yang bisa dilihat, diukur, dianalisa dan yang dapat dibuktikan kebenarannya. Auguste Comte juga berpendapat bahwa suatu pernyataan dianggap benar apabila pernyataan itu sesuai dengan fakta. Sebaliknya, sebuah pernyataan akan dianggap salah apabila tidak sesuai dengan data empiris.

C.           ANALISA DAN KRITIK
            Penjelasan mengenai  positivisme setidaknya sudah memberikan sedikit gambaran tentang pokok-pokok ajaran positivisme. Adapun yang menjadi  tititk tolak dari pemikiran positivis ini adalah, apa yang telah diketahui adalah yang faktual dan positif, sehingga metafisika ditolaknya. Positivisme Auguste Comte mengemukakan tiga tahap perkembangan peradaban dan pemikiran manusia ke dalam tahap teologis, metafisik, dan positivistik. Pada tahap teologis pemikiran manusia dikuasai oleh dogma agama, pada tahap metafisik pemikiran manusia dikuasai oleh filsafat, sedangkan pada tahap positivistik manusia sudah dikuasai oleh ilmu pengetahuan dan teknologi.
            `Di sini mulai terjadi gejala-gejala yang kompleks dan kongkret mengenai asas-asas kehidupan manusia karena perkembangan dari ilmu pengetahuan yang telah digolongkan oleh Comte masih jauh dari tahap  positif, baik itu sifatnya sederhana (umum) maupun kompleks (khusus). Walaupun secara eksplisit telah dijelaskan istilah positif diartikan sebagai sesuatu yang nyata, jelas dan pasti. Kemudian jika Positivisme itu di kembangkan ke dalam agama, yang dalam hal ini kaitanya dengan hubungan manusia dengan Tuhan. Dalam buku ini belum menjelaskan secara rinci yang berkaitan dengan agama, kita ketahui agama (Tuhan) tidak bisa dilihat dan diukur. Jika menurut teori positivisme yang ada maka agama dapat dikatakan tidak mempunyai arti karena ajaran ini menolak metafisik.
            Pandangan positivisme tentang “perkembangan” memunculkan perbedaan mengenai statika sosial dan dinamika sosial. Statika sosial merupakan bagian yang menerangkan bagian yang menerangkan adanya unsur-unsur bagi kelestarian eksistensi suatu masyarakat, sedangkan dinamika sosial merupakan bagian yang menerangkan unsur-unsur yang menyebabkan masyarakat itu berkembang. Dalam struktur masyarakat, masyarakat dipandang sebagai suatu kenyataan tersendiri yang memiliki sifat yang khas (berbeda dengan individu lainnya), sedang moral dan agama dipandang tidak lebih sekedar gejala masyarakat yang dijadikan tema untuk memahami struktur suatu masyarakat.
            Pengaruh filsafat positivisme menimbulkan mitos yang memandang bahwa “perkembangan” sebagai sesuatu yang mencakup segalanya. Perkembangan dalam hal ini yang menjadi fokus utama adalah perkembangan  kemajuan ilmu pengetahuan dalam bidang teknologi dan ekonomi yang dijadikan sebagai arah kemajuan perkembangan masyarakat. Sehingga dalam struktur suatu masyarakat, moral dan agama hanya dipandang sebagai gejala masyarakat dan tidak dilibatkan dalam arah kemajuan perkembangan suatu masyarakat itu sendiri.
            Maka tidak heran jika kini timbul berbagai reaksi atau tanggapan terhadap pandangan positivisme, karena disebabkan ketidakpuasan terhadap latar belakangnya yang naturalistik, yang menyebabkan dorongan perkembangan sikap “scientisme” dengan berbagai implikasinya yang amat luas dalam kehidupan manusia.


D.           PENUTUP
Pengaruh filsafat positivisme dalam “perkembangan” memiliki peranan yang besar terhadap ilmu pengetahuan. Yang menyebabkan fokus perkembangan ilmu pengetahuan hanya ada pada sesuatu hal yang bersifat scientisme. Sedangkan statika sosial dan dinamika sosial hanya menjadi suatu gejala dalam masyarakat.
           


DAFTAR PUSTAKA
F. Budi hardiman, Melampaui Positivisme Dan Modernitas, Yogyakarta : Kanisius, 2003
Koento Wibisono S, Arti Perkembangan Menurut Filsafat Positivisme Auguste Comte, Yogyakarta : Gajah Mada University Press, 1996







[1][1] F. Budi hardiman, Melampaui Positivisme Dan Modernitas, Yogyakarta : Kanisius, 2003, hlm. 54-55

Tidak ada komentar:

Posting Komentar