ARTI PERKEMBANGAN MENURUT FILSAFAT
POSITIVISME MENURUT AUGUSTE COMTE
A.
PENDAHULUAN
Positivisme
yang menandai krisis pengetahuan Barat itu sebenarnya merupakan salah satu dari
sekian banyak aliran filsafat Barat, dan aliran ini berkembang sejak abad ke-19
dengan perintisnya Auguste Comte. Meski dalam beberapa segi positivisme
mengandung kebaruan, pandangan ini bukan barang yang sama sekali baru, karena
sebelum Kant sudah berkembang empirisme yang dalam beberapa segi bersesuain
dengan positivisme. Lebih tepatlah bila dipandang bahwa positivisme merupakan
peruncing trend sejarah pemikiran Barat modern yang telah mulai menyingsing
sejak ambruknya tatanan dunia Abad Pertengahan, melalui rasionaliosme dan
empirisme. Apa yang baru dalam positivisme adalah sorotan khususnya terhadap
metodologi ilmu pengetahuan, bahkan dapat dikatakan bahwa pandangan ini sangat
menitikberatkan metodologi dalam refleksi filsafatnya. Kalau dalam empirisme
dan rasionalisme pengetahuan masih direfleksikan, dalam positivisme kedudukan
pengetahuan diganti metodologi, dan satu-satunya metodologi berkembang secara
meyakinkan sejak Renaissance, dan subur pada masa Aufklarung adalah metodologi
ilmu-ilmu alam. Oleh karena itu, positivisme menempatkan metodologi ilmu-ilmu
alam pada ruang yang dulunya menjadi wilayah refleksi epistemologi, yaitu
pengetahuan manusia tentang kenyataan.[1]
Oleh
karena itu dalam sejarah Filsafat Barat, abad ke-19 dinyatakan sebagai Abad
Positivisme yang ditandai dengan peranan yang sangat menentukan dari
fikiran-fikiran ilmiah, dalam arti fikiran-fikiran ilmiah. Kebenaran filsafati
diukur menurut nilai “positif”nya, sedang perhatian baru, lahir, terhadap
filsafat yang lebih menekankan kepada segi-segi yang bersifat praktis. Orang
tidak lagi memandang “dunia yang abstrak” sebagai hal yang penting.
B.
POKOK-POKOK
PEMIKIRAN
Istilah
“positivisme” diperkenalkan oleh Auguste Comte. Istilah itu berasal dari kata
“positif”. Dalam prakata Cours
de Philosophie Positive, dia
mulai memakai istilah “filsafat positif” dan terus menggunakannya dengan arti
yang konsisten di sepanjang bukunya. Kata “filsafat”, dia artikan sebagai
“sistem umum tentang konsep-konsep manusia”, sedangkan “positif” diartikannya
sebagai “teori yang bertujuan untuk penyusunan fakta-fakta yang teramati”.
Dengan kata lain, “positif” sama dengan “factual”, atau apa yang berdasarkan
fakta-fakta. Dalam hal ini, positivisme menegaskan bahwa pengetahuan hendaknya
tidak melampaui fakta-fakta.
Auguste Comte dalam
seluruh pandangannya bertolak dari hukum tiga tahap (stadia) yang ia ciptakan,
yaitu hukum yang menerangkan bahwa jika manusia, baik sebagai perorangan maupun
sebagai satu keseluruhan, demikian pula masyarakat, dalam perkembangannya
berlangsung melalui tiga tahap, yaitu : tahap teologi atau fiktif, tahap
metafisik atau abstrak dan tahap positif atau riil.
1. Tahap
teologi atau fiktif
Merupakan
tahap di kala manusia selalu berusaha untuk mencari sebab yang pertama atau tujuan
akhir dari segala sesuatu. Gejala-gejala yang menarik perhatiannya diterangkan
dengan kepercayaan bahwa ada kekuatan yang dikodrati atau transendental yang
menagatur, yang menjadi sebab pertama atau tujuan terakhir dari gejala-gejala
itu. Tahap teologik ini, dalam perkembangannya juga berlangsung secara
beratahap, yaitu melaui fetisysme (segala sesuatu yang berada disekeliling
manusia mempunyai suasana kehidupan sama seperti manusia sendiri), politeisme (pengaruh kehidupan masyarakat berasal dari makhluk-makhluk yang tidak
kelihatan yang berada disekeliling manusia), monoteisme (pengaruh
kehidupan masyarakat berasal dari kekuatan mutlak, adikodrati yaitu Tuhan Yang
Maha Esa).
2. Tahap
metafisik atau abstrak
Merupakan
tahap di kala manusia masih tetap berusaha untuk mengetahui sebab pertama dan
tujuan terakhir dari segala sesuatu, akan tetapi manusia sudah tidak lagi
menyandarkan diri kepada kepercayaan akan adanay kekuatan akalnya sendiri akal
yang telah mampu untuk melakukan abstraksi guna menemukan hakikat atau
substansi dari segala sesuatu yang ingin diketahuinya.
3. Tahap
positif atau riil
Merupakan
tahap di kala manusia telah sampai pada pengetahuan yang tidak abstrak, tetapi
pasti, jelas dan bermanfaat. Tahap ini juga manusia telah maju yaitu telah
mampu berfikir secara positif atau riil, atas dasar pengetahuan yang telah
dicapainya, yang dikembangkan secara positif melalui pengamatan, percobaan dan
perbandingan.
Dengan
pendirian “Savoir pour prevoir” beserta mottonya “Ordre et proges”, Comte
memandang tahap positif sebagai tahap akhir atau puncak dari perkembangan.
Hukum tiga tahap, yang mencerminkan pandangan Comte makna “perkembangan”,
menunjukkan bahwa “perkembangan” merupakan gerak yang akan mengantarkan manusia
ke hari depan yang sama, yaitu “kemajuan”. Secara eksplisit dijelaskan bahwa
dengaan istilah “positif” diartikan sebagai sesuatu yang nyata, jelas, pasti,
bermanfaat serta kebalikan dari sesuatu yang negatif. Dengan demikian
positivisme menolak keberadaan segala kekuatan atau subjek diluar fakta,
menolak segala penggunaan metoda di luar yang digunakan untuk menelaah fakta
sehingga kaum positivis membatasi dunia pada hal-hal yang bisa dilihat, diukur,
dianalisa dan yang dapat dibuktikan kebenarannya. Auguste Comte juga berpendapat
bahwa suatu pernyataan dianggap benar apabila pernyataan itu sesuai dengan
fakta. Sebaliknya, sebuah pernyataan akan dianggap salah apabila tidak sesuai
dengan data empiris.
C.
ANALISA
DAN KRITIK
Penjelasan
mengenai positivisme setidaknya sudah
memberikan sedikit gambaran tentang pokok-pokok ajaran positivisme. Adapun yang
menjadi tititk tolak dari pemikiran positivis ini adalah, apa yang telah
diketahui adalah yang faktual dan positif, sehingga metafisika ditolaknya. Positivisme
Auguste Comte mengemukakan tiga tahap perkembangan peradaban dan pemikiran
manusia ke dalam tahap teologis, metafisik, dan positivistik. Pada tahap
teologis pemikiran manusia dikuasai oleh dogma agama, pada tahap metafisik
pemikiran manusia dikuasai oleh filsafat, sedangkan pada tahap positivistik
manusia sudah dikuasai oleh ilmu pengetahuan dan teknologi.
`Di sini mulai terjadi gejala-gejala yang kompleks
dan kongkret mengenai asas-asas kehidupan manusia karena perkembangan dari ilmu
pengetahuan yang telah digolongkan oleh Comte masih jauh dari tahap positif, baik itu sifatnya sederhana (umum)
maupun kompleks (khusus). Walaupun secara eksplisit telah dijelaskan istilah
positif diartikan sebagai sesuatu yang nyata, jelas dan pasti. Kemudian jika Positivisme
itu di kembangkan ke dalam agama, yang dalam hal ini
kaitanya dengan hubungan manusia dengan Tuhan. Dalam buku ini belum menjelaskan
secara rinci yang berkaitan dengan agama, kita ketahui agama (Tuhan) tidak bisa
dilihat dan diukur. Jika menurut teori positivisme yang ada maka agama dapat
dikatakan tidak mempunyai arti karena ajaran ini menolak metafisik.
Pandangan positivisme tentang
“perkembangan” memunculkan perbedaan mengenai statika sosial dan dinamika
sosial. Statika sosial merupakan bagian yang menerangkan bagian yang
menerangkan adanya unsur-unsur bagi kelestarian eksistensi suatu masyarakat,
sedangkan dinamika sosial merupakan bagian yang menerangkan unsur-unsur yang
menyebabkan masyarakat itu berkembang. Dalam struktur masyarakat, masyarakat
dipandang sebagai suatu kenyataan tersendiri yang memiliki sifat yang khas
(berbeda dengan individu lainnya), sedang moral dan agama dipandang tidak lebih
sekedar gejala masyarakat yang dijadikan tema untuk memahami struktur suatu
masyarakat.
Pengaruh filsafat positivisme
menimbulkan mitos yang memandang bahwa “perkembangan” sebagai sesuatu yang
mencakup segalanya. Perkembangan dalam hal ini yang menjadi fokus utama adalah
perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan
dalam bidang teknologi dan ekonomi yang dijadikan sebagai arah kemajuan
perkembangan masyarakat. Sehingga dalam struktur suatu masyarakat, moral dan
agama hanya dipandang sebagai gejala masyarakat dan tidak dilibatkan dalam arah
kemajuan perkembangan suatu masyarakat itu sendiri.
Maka tidak heran jika kini timbul
berbagai reaksi atau tanggapan terhadap pandangan positivisme, karena
disebabkan ketidakpuasan terhadap latar belakangnya yang naturalistik, yang
menyebabkan dorongan perkembangan sikap “scientisme” dengan berbagai
implikasinya yang amat luas dalam kehidupan manusia.
D.
PENUTUP
Pengaruh
filsafat positivisme dalam “perkembangan” memiliki peranan yang besar terhadap
ilmu pengetahuan. Yang menyebabkan fokus perkembangan ilmu pengetahuan hanya
ada pada sesuatu hal yang bersifat scientisme. Sedangkan statika sosial dan
dinamika sosial hanya menjadi suatu gejala dalam masyarakat.
DAFTAR
PUSTAKA
F. Budi
hardiman, Melampaui Positivisme Dan
Modernitas, Yogyakarta : Kanisius, 2003
Koento Wibisono
S, Arti Perkembangan Menurut Filsafat
Positivisme Auguste Comte, Yogyakarta : Gajah Mada University Press, 1996
[1][1] F. Budi hardiman, Melampaui Positivisme Dan Modernitas,
Yogyakarta : Kanisius, 2003, hlm. 54-55
Tidak ada komentar:
Posting Komentar