Senin, 12 Januari 2015

Qira'ah Dan I'jaz

 PEMBAHASAN
A.    Pengertian Qira’ah al-Qur’an
            Secara etimologi, lafal qira’ah ( قراءة ) merupakan bentuk masdar dari ( قرأ ) yang artinya bacaan. Sedangkan menurut terminologi, terdapat berbagai pendapat para ulama yang sehubungan dengan pengertian qira’at ini. Jadi, qira’ah al-Qur‘an secara bahasa adalah bacaan al-Qur’an. Pengertian qira’at  menurut istilah cukup beragam. Hal ini disebabkan oleh keluasan makna dan sisi pandang.
Qira’ah al-Qur’an yang dimaksud bukanlah dalam pengertian menurut bahasa seperti itu sebab belum memberikan pengertian yang memberikan batasan yang bersifat jami’ dan mani’. Yang dimaksud qira’ah al-Qur’an bukan sekadar bacaan al-Quran sembarang bacaan. Yang dimaksudkan adalah tatacara melafalkan lafal-lafal al-Quran.
Qira’ah al-Quran itu berkaitan dengan pelafalan al-Quran dan makna al-Quran. Al-Quran sendiri, lafal dan maknanya merupakan wahyu dari Allah SWT yang diturunkan kepada Rasul saw. dan yang diriwayatkan dari beliau secara mutawatir dan kita beribadah dengan mengucapkannya.
Dengan demikian, qira’ah al-Quran itu harus mengikuti sifat al-Quran itu. Artinya, qira’ah al-Quran merupakan wahyu dan diriwayatkan dari Rasul saw. secara mutawatir. Karena itu, perbedaan qira’ah dibangun berdasarkan pengucapan wahyu dan bukan bersandar pada pendapat dan ijtihad muqri’.
Qira’at sebagai salah satu sistem bacaan menjadi sangat vital bagi para pembacanya, terlebih lagi Al-Qur’an merupakan sumber pokok rujukan dalam segala hal bagi pemeluk agama Islam. Teks wahyu yang diturunkan dalam bentuk lisan, diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW dalam cara yang sama, meski tetap ada usaha dalam bentuk penulisan teks Al-Qur’an tersebut. Tetapi, dalam praktek dominan metode ajar secara lisan tetap menjadi metode utama hingga saat ini. Itulah mengapa dalam sejarahnya, Al-Qur’an banyak mengalami ragam cara baca, sesuai dengan dialek Arab yang ada pada saat itu.
Ada beberapa pendapat menurut para ulama, antara lain:
1.    Menurut az-Zarqani.
Az-Zarqani mendefinsikan qiraah dalam terjemahan bukunya yaitu : mazhab yang dianut oleh seorang imam qiraat yang berbeda dengan lainnya dalam pengucapan al-Qur’an serta kesepakatan riwayat-riwayat dan jalur-jalurnya, baik perbedaan itu dalam pengucapan huruf-huruf ataupun bentuk-bentuk lainnya.

2.    Menurut Ibn al Jazari :
Ilmu yang menyangkut cara-cara mengucapkan kata-kata al-Qur’an dan perbedaan-perbedaannya dengan cara menisbatkan kepada penukilnya.

3.    Menurut al-Qasthalani :
Suatu ilmu yang mempelajari hal-hal yang disepakati atau diperselisihkan ulama yang menyangkut persoalan lughat, hadzaf, I’rab, itsbat, fashl, dan washl yang kesemuanya diperoleh secara periwayatan.

4.    Menurut As-Shabuni:
Qira’at adalah suatu madzhab pelafalan Al-Qur’an yang dianut salah seorang  imam berdasarkan sanad-sanad yang bersambung kepada rasul.
Definisi di atas sudah mengisyaratkan bahwa qirâ’ah al-Qur’ân adalah pengucapan lafal-lafal al-Quran sebagaimana pengucapan Nabi saw. atau pengucapan yang dilakukan di hadapan beliau dan beliau menyetujuinya. Atau tilawah lafal-lafal al-Quran al-Karim sebagaimana yang dibaca oleh Nabi saw. atau sebagaimana yang beliau ketahui dan dengar dari para Sahabat dan beliau menyetujuinya.
Definisi-definisi ini sekaligus menjelaskan dari mana sumber qira’ah itu, bagaimana mengambilnya sekaligus yang menjadi tolok ukur mana yang termasuk qira’ah al-Quran dan mana yang tidak.
Dari sisi sumber, qira’ah itu harus diambil dari Rasul saw. atau yang disetujui oleh Rasul saw., yaitu bersumber dari wahyu. Sebab, qira’ah itu adalah pengucapan lafal-lafal al-Quran, sementara lafal al-Quran adalah wahyu dari Allah SWT, dan satu-satunya pihak yang menerima wahyu al-Quran adalah Rasul saw. Jadi, qira’ah al-Quran harus bersumber dari Rasul saw., yaitu bersumber dari wahyu.
Karena qira’ah harus bersumber dari Rasul saw., maka satu-satunya cara kita mengambil qira’ah adalah melalui periwayatan, tidak dengan jalan yang lain. Perlakuan terhadap riwayat qira’ah ini sama seperti terhadap hadis.
Tentang kriteria suatu qira’ah bisa dinilai sebagai qira’ah al-Qur’an, ada perbedaan pendapat tentang kriteria itu. Ada tiga kriteria yang dinyatakan para ulama:
1.    Kesahihan sanad.
2.    Kesesuaian dengan rasm Mushaf Utsmani.
3.    Kesesuaian dengan ketentuan bahasa Arab.
Hanya kriteria pertama yang disepakati oleh para ulama. Tentang rincian ketiga kriteria ini para ulama berbeda pendapat. Jika salah satu dari persyaratan ini tidak terpenuhi, maka qira’at itu dinamakan qira’at yang lemah, syadz atau bathil.
Adapun qira’ah yang tidak mutawatir tidak bisa dinilai sebagai qira’ah al-Quran bagaimanapun ditambah dengan kriteria dan syarat apapun. Sungguh telah keliru orang yang memutuskan “kequranan” suatu qira’ah jika sesuai Mushaf Utsmani dan sesuai bahasa, tetapi tidak mutawatir. Jika telah jelas benarnya kriteria tawatur sanad maka tidak ada bahaya atas kita dalam dua syarat lainnya. Sebab, tidak terbukti bahwa qira’ah mutawatir itu menyalahi rasm al-Quran atau menyalahi bahasa Arab.
Dalam penyampaian qira’ah dalam kalangan ahli hadist ada beberapa periwayatan menurut Dr. Muhammad bin alawial-maliki dalam bukunya berjudul zubdah al-itqan fi ulumil qur’an, di antaranya :
a.       Mendengr langsung dari guru (al-sima’)
b.      Membacakan teks atau hafalan di depan guru (al-qira’ah `ala al-syaikh)
c.       Melalui ijazah dari guru kepada murid
d.      Guru memberikan sebuh naskah asli kepada muridnya atau salinan yang di koreksinya untuk di riwayatkan(al-munalah)
e.       Guru menuliskan sesuatu untuk di berikan di berikan kepada muridnya(mukatabah)
f.       Wasiat dari guru kepada para murid-muridnya
g.      Peberitahuan tentang qira’ah tertentu(al-I’lam)
h.      Hasil temuan (al-wijadah)

B.     Macam-Macam Qira’ah al-Qur’an
Yang dimaksud dengan macam-macam qira’at disini yaitu ragam qira’at yang dapat diterima sebagai qira’at al-Qur’an.
Dipandang dari segi Kwantitas :
a.       Qira’ah Sa’bah (Qira’at tujuh)
Maksud Sa’bah adalah imam-imam qira’at yang tujuh, mereka adalah :
1)   Abdullah bin Katsir Ad-Dari (wafat 120 H) dari Mekkah. Ad-dari berasal dari generasi At-Tabi’in. qira’ah yang ia riwayatkan diperoleh dari Abdullah bin Zubair dan lain-lain.
2)   Nafi’ bin Abdurrahman bin Abu Na’im (wafat 169 H) dari Madinah. Tokoh ini belajar qira’ah dari 70 orang Tai’in.
3)   Abdullah Al-Yashibi terkenal dengan sebutan Abu Amir Ad-Dimasyqi (wafat 118 H) dari Syam. Ia mengambil qira’at dari Al-Mughirah bin Abi Syaibah Al-Mahzumi.
4)   Abu Amar (wafat 154 H) dari Bsrah, Irak. Ia meriwayatkan Qira’at dari Mujahid bin Jabr.
5)   Ya’qub (wafat 205 H) dari Basrah, Irak. Ya’qub belajar qira’at pada Salam bin Sulaiman Al-Thawil yang mengambil qira’at dari ‘Ashim dan Abu Amar.
6)   Hamzah (wafat 188 H) Hamzah belajar qira’at pada Sulaiman bin Mahram Al-A’masy, dari Yahya bin Watstsab, dari Dzar bin Hubasyi, dari Ustman bin Affan, ‘Ali bin Thalib dan Mas’ud.
7)   Ashim (wafat 127 H). Ia belajar qira’at dari Dzar bin Hubaisy, dan Abdullah bin Mas’ud.

b.      Qira’at Asyarah (Qira’at sepuluh). Yang dimaksud qira’at sepuluh adalah qira’at tujuh yang telah disebutkan diatas ditambah tiga Qira’at berikut :
1)   Abu Ja’far, memperoleh qira’at dari Abdullah bin Ayyasy bin Rabi’ah, Abdullah bin Abbsa, dan Abu Hurairah. Mereka berdua memperolehnya dari Ubay bin Ka’ab, sedangkan Ubay memperolehnya langsung dari Nabi.
2)   Ya’qub bin Ishaq bin Yazid bin Abdullah bin Abu Ishaq Al-Hadhrami Al-Bashri. Ia memperoleh qira’at dari banyak orang yang sanadnya bertemu pada Abu Musa Al-Asy’ari dan Ibn Abbas, yang membaca langsung dari Rasulullah SAW
3)   Abu Muhammad Khalaf bin Hisyam bin Tsa’lab Al-Bazzaz Al-Baghdad. Ia menerima qira’at dari Sulaiman bin Isa’ bin Habib.

c.       Qira’at Arba’at Asyrah (Qira’at empat belas). Yang dimaksud qira’at empat belas adalah Qira’at sepuluh diatas ditambah  dengan empat qira’at dibawah ini :
1)   Al-Hasan Al-Bashri (wafat 110 H). Salah seorang Tabi’in besar yang terkenal kezahidannya.
2)   Muhammad bin Abdirrahman (wafat 123 H). Ia adalah guru Abi ‘ Amr
3)   Yahya bin Al-Mubarak Al-Yazidi An-Nahwi Al-Baghdadi (wafat 202 H). Ia mengambil qira’at dari Abi ‘Amr dan Hamzah.
4)   Abu Al-Fajr Muhammad bin Ahmad Asy-Syanbudz (wafat 388 H).

Dipandang dari Segi Kualitas :
Berdasarkan penelitian Al-Jazari, berdasarkan kualitas, qira’at dapat dikelompokkan dalam lima bagian :
a.       Qira’at Mutawatir, yakni yang disampaikan sekelompok orang mulai dari sampai akhir sanad, yang tidak mungkin bersepakat untuk berbuat dusta. Umumnya, qira’at yang ada masuk kedalam bagian ini.
b.      Qira’at Mansyur, yakni yang memiliki sanad sahih, tetapi tidak sampai pada kualitas Mutawatir, sesuai kaidah bahasa Arab dan tulisan Mushaf “Ustmani, Mansyur dikalangan Qurra’. Dibaca sebagaimana ketentuan yang telah ditetapkan Al-Jazari, dan tidak termasuk qira’at yang keliru dan menyimpang.
c.       Qira’at Ahad, yakni memiliki sanad sahih, tetapi menyalahi tulisan Mushaf ‘Ustmani dan kaidah bahasa Arab, ketentuan yang telah ditetapkan Al-Jazari.
d.      Qira’at Syadz (menyimpang), yakni yang sanadnya tidak sahih. Telah banyak kitab yang ditulis untuk jenis Qira’at ini.
e.       Qira’at Maudhu’ (palsu), seperti qira’at Al-Khazzani, Ash-Suyuthi kemudian menambah qira’at yang keenam.
f.       Qira’at yang menyerupai Hadits Mudraj (sisipan), yakni adanya sisipan pada bacaan dengan tujuan penafsiran.

Ditinjaudari segi nama jenis :
Sebagian ulama’ berpendapat bahwa jika qira’ah itu ditinjau dari sisi nama jenis, maka qira’ah itu di bagi menjadi:
a.       Qira’ah, yaitu untuk nama bacaan yan telah memenuhi tiga syarat sebagaimana penjelasan di atas, seperti Qira’ah Sab’ah, Qira’ah Asyrah dan Qira’ah Arba’a Asyrata.
b.      Riwayat,  nama bacaan yang hanya berasal dari salah sorang perawinya sendiri.
c.       Thariq, yaitu nama untuk bacaan yang sanadnya terdiri  dari orang-orang yang sesudah para perawinya sendiri.

C.    Pengertian I’jaz Alqur’an

Kata i’jaz diambil dari kata kerja a’jaza-i’jaza yang berarti melemahkan atau menjadikan tidak mampu.
Lebih jauh Al-Qaththan mendefinisikan I’jaz dengan, “Memperlihatkan kebenaran Nabi SAW. Atas pengakuan kerasulannya, dengan cara membuktikan kelemahan orang Arab dan generasi sesudahnya untuk menandingi kemukjizatan Al-Qur'an.”
Pelakunya (yang melemahkan) dinamai mu’jiz. Bila kemampuannya melemahkan pihak lain amat menonjol sehingga mampu membungkam lawan, ia dinamai mujizat. Tambahan ta’ marbhuthah pada akhir kata itu mengandung makna mubalighah (superlatif). Mukjizat didefinisikan oleh pakar agama Islam, antara lain sebagai suatu hal atau peristiwa luar biasa yang terjadi melalui seorang yang mengaku Nabi, sebagai bukti kenabiannya sebagai tantangan bagi orang ragu, untuk melakukan atau mendatangkan hal serupa, tetapi tidak melayani tantangan itu.
 Dengan redaksi yang berbeda, mukjizat didefinisikan pula sebagai suatu yang luar biasa yang diperlihatkan Allah SWT. Melalui para Nabi dan Rasul-Nya, sebagai bukti atas kebenaran pengakuan kenabian dan kerasulannya. Manna’ Al-Qhathan mendefinisikan:

أَمْرُ خَارِقٌ لِلْعَادَةِ مَقْرُوْنٌ بِالتَّحَدِّيْ سَالِمٌ عَنِ اْلمُعَارَضَةِ.

Artinya :
“Suatu kejadian yang keluar dari kebiasaan, disertai dengan unsur tantangan, dan tidak akan dapat ditandingi.”



D. Segi-segi I’jas al-Qur’an

1. Segi Bahasa dan Susunan Redaksinya
Sejarah telah menyaksikan bahwa bangsa Arab pada saat turunnya al-Quran telah mencapai tingkat yang belum pernah dicapai oleh bangsa satu pun yang ada didunia ini, baik sebelum dan seudah mereka dalam bidang kefashihan bahasa (balaghah). Mereka juga telah meramba jalan yang belum pernah diinjak orang lain dalam kesempurnaan menyampaikan penjelasan (al-bayan), keserasian dalam menyusun kata-kata, serta kelancaran logika.
Oleh karena bangsa Arab telah mencapai taraf yang begitu jauh dalam bahasa dan seni sastra, karena sebab itulah al-Quran menantang mereka. Padahal mereka memiliki kemampuan bahasa yang tidak bisa dicapai orang lain seperti kemahiran dalam berpuisi, syi’ir atau prosa (natsar), memberikan penjelasan dalam langgam sastra yang tidak sampai oleh selain mereka. Namun walaupun begitu mereka tetap dalam ketidakberdayaan ketika dihadapkan dengan al-Quran.
Selanjutnya apabila ketidakmampuan bangsa Arab telah terbukti sedangkan mereka jago dalam bidang bahasa dan sastra, maka terbukti pulalah kemukjizatan al-Quran dalam segi bahasa dan sastra dan itu merupakan argumenatasi terhadap mereka maupun terhadap kaum-kaum selain mereka. Sebab dipahami bahwa apabila sebuah pekerjaan tidak bisa dilakukan oleh mereka yang ahli dalam bidangnya tentunya semakin jauh lagi kemustahilan itu bisa dilakukan oleh mereka yang tidak ahli dibidangnya.
Berkaitan dengan masalah pembuktian akan ketidak mampuan bangsa Arab untuk menyaingi al-Quran para ulama banyak memberikan komentar yang mengisyaratkan adanya perbedaan tentang ihwal ketidakmampuan itu bisa terjadi. Secara umum pendapat ulama dalam masalah sebab terjadinya fenomena ketidakmampuan orang Arab untuk menandingi al-Quran ada dua pendapat, yaitu:
a.    Muncul dari factor i’jaz yang terkait dan inheren dalam al-Quran
b.    Muncul dari luar al-Quran dengan adanya kesengajaan Allah untuk melemahkan orang Arab secara intelektual (sharfah)

2. Segi Isyarat Ilmiah
Pemaknaan kemukjizatan al-Quran dalam segi ilmiyyah adalah dorongan serta stimulasi al-Quran kepada manusia untuk selalu berfikir keras atas dirinya sendiri dan alam semesta yang mengitarinya.
Al-Quran memberikan ruangan sebebas-bebasnya pada pergulan pemikiran ilmu pengetahuan sebagaimana halnya tidak ditemukan pada kitab-kitab agama lainnya yang malah cenderung restriktif. Pada Akhirnya teori ilmu pengetahuan yang telah lulus uji kebenaran ilmiahnya akan selalu koheren dengan al-Quran.
Al-Quran dalam mengemukakan dalil-dalil, argument serta penjelasan ayat-ayat ilmiah, menyebutkan isyarat-isyarat ilmiah yang sebagaiannya baru terungkap pada zaman atom, planet dan penaklukan angkasa luar sekarang ini. Diantaranya adalah :

a.    “Dan Apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka Mengapakah mereka tiada juga beriman?” (QS. Al-Anbiya’: 30). Dalam ayat ini terdapat isyarat ilmiah tentang sejarah tata surya dan asal mulanya yang padu, kemudian terpisah-pisahnya benda-benda langit (planet-planet), sebagian dari yang lain secara gradual. Begitu juga di dalamnya terdapat isyarat tentang asal-usul kehidupan yaitu dari air.

b.    “Dan Kami telah meniupkan angin untuk mengawinkan (tumbuh-tumbuhan) dan Kami turunkan hujan dari langit, lalu Kami beri minum kamu dengan air itu, dan sekali-kali bukanlah kamu yang menyimpannya.”  (QS. Al-Hijr: 22) ayat ini meberikan isyarat tentang peran angin dalam turunnya hujan begitu juga tentang pembuahan serbuk bunga tumbuh-tumbuhan.

c.    “Pada hari itu manusia ke luar dari kuburnya dalam Keadaan bermacam-macam, supaya diperlihatkan kepada mereka (balasan) pekerjaan mereka,” (QS. Al-Zalzalah: 6) adanyan pemeliharaan dan pengabadian segala macam perbuatan manusia di dunia. Dan jika ini dapat dilakukan manusia, maka pastilah itu jauh lebih mudah bagi Allah

d.   “Bukan demikian, sebenarnya Kami Kuasa menyusun (kembali) jari jemarinya dengan sempurna.” (QS. Al-Qiyamah: 4) dianatara kepelikan penciptaan manusia adalah sidik jarinya. Ayat ini menyebutkan kenyataan ilmiah bahwa tidak ada jari-jari tangan seorang manusia yang bersidik jari yang sama dengan manusia yang lainnya.


3. Segi Pemberitaan yang Ghaib
Surat-surat dalam al-Quran mencakup banyak berita tentang hal ghaib. Kapabilitas al-Quran dalam memberikan informasi-informasi tentang hal-hal yang ghaib seakan menjadi prasyarat utama penopang eksistensinya sebagai kitab mukjizat. Akan tetapi pemberian informasi akan segala hal yang ghaib tidak memonopoli seuruh aspek kemukjizatan al-Quran itu sendiri. Diantara contohnya adalah:
a.    Keghaiban masa lampau. Al-Quran sangat jelas dan fasih sekali dalam menjelaskan cerita masa lalu seakan-akan menjadi saksi mata yang langsung mengikuti jalannya cerita. Dan tidak ada satupun dari kisah-kisah tersebut yang tidak terbukti kebenarannya. Diantaranya adalah: Kisah nabi Musa: Dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina.” mereka berkata: “Apakah kamu hendak menjadikan Kami buah ejekan?”[62] Musa menjawab: “Aku berlindung kepada Allah agar tidak menjadi salah seorang dari orang-orang yang jahil”.(QS. Al-baqarah: 67) Kisah Fir’aun : 4. Sesungguhnya Fir’aun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah belah, dengan menindas segolongan dari mereka, menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka. Sesungguhnya Fir’aun Termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan.(QS. Al-Qoshosh: 4)

b.    Keghaiban masa sekarang. Terbukanya niat busuk orang munafik di masa rasulullah.. “Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, Padahal ia adalah penantang yang paling keras”.(QS. Al-Baqarah: 204)

c.    Keghaiban masa yang akan dating. Ghulibatir ruum. Fii adnal ‘ardhii wahum min ba’di ghalibiin sayaghlibun fi bid’i sinin.(QS. Ar-Rum 2-4)

4. Segi Petunjuk Penetapan Hukum Syara’
Diantara hal-hal yang mencengangkan akal dan tak mungkin dicari penyebabnya selain bahwa al-Quran adalah wahyu Allah, adalah terkandungnya syari’at paling ideal bagi umat manusia, undang-undang yang paling lurus bagi kehidupan, yang dibawa al-Quran utnuk mengatur kehidupan manusia yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Antara lain contohnya :
a.    Keadilan. “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”. (QS. An-nahl: 90)

b.    Mencegah pertumpahan darah. “Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, Maka seakan-akan Dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, Maka seolah-olah Dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan Sesungguhnya telah datang kepada mereka Rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi.”

c.    Pertahanan untuk menghancurkan fitnah dan agresi. “Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), Maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim. (QS. Al-Baqarah: 193)


E.     Faedah I’jaz Al-Qur’an
I’jaz al-Quran dapat memberikan manfaat bagi orang yang mempelajari dan mengkaji. Baik itu orang awam ataupun para ilmuan, cendikiawan, dan semua kalangan manusia yang senantiasa mempergunakan akal sehatnya. Adapun manfaat yang dapat dipetik dari I’jaz al-Quran akan disebutkan dibawah ini :
1.    Kelembutan, keindahan, keserasian kalimat dan redaksial-Quran dapat memberikan kesegaran kepada akal dan hati, baik orang awam ataupun kaum cendikiawan
2.    Gaya bahasa yang indah dapat dijadikan sebagai media dakwah untuk menarik hati orang.
3.    Dengan adanya berita-berita ghaib, itu dapat dijadikan ibrah guna memperkokoh iman kepada Allah dan membimbing perbuatan ke arah yang benar.
4.    Dapat dijadikan hujjah dalam menyampaikan kebenaran al-Qur’an bagi orang-orang yang ragu.
5.    Dapat mengokohkan keyakinan akan kebenaran Risalah Muhammad Saw.
6.    Dapat mengetahui keagungan Allah dengan mengenal isyarat ilmiah yang ada di alam dunia.
7.    Dapat menjadi motivasi untuk selalu bereksperimen, berinovasi, dan berkarya dalam ilmu pengetahuan.
8.    Mengetahui kelemahan dan kekurangan manusia.
9.    Aturan-aturan hukumnya dapat dijadikan sebagai landasan dalam beribadah, baik ibadah secara vertikal ataupun horizontal.
10.  Dapat menjaga kehormatan, harta, jiwa, akal, dan keturunan dengan menganut dan mengindahkan tasyri-Nya
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Qira’at adalah cara membaca ayat-ayat yang dipilih oleh salah seorang imam ahli qira’atyang berbeda yang berbeda dengan cara ulama’ lain sertadi dasarkan atas riwayat yang mutawatir sanadnya yang selaras dengan kaidah-kaidah bahasa arab yang terdapat dalam salah satu mushaf Utsmani, karena Al-Qur’an adalah sumber ilmu bagi kaum muslimin yang merupakan dasar-dasar hukum yang mencakup segala hal, baik aqidah, ibadah, etika, mu’amalah dan sebagainya. Selain sebagai sumber ilmu,Al Qur’an juga mempunyai ilmu dalam membacanya. Karena begitu besar keagungan Al Qur’an sehingga dapat melemahkan atau menjadikan sesuatu tidak akan mampu untuk menandingi kemukjizatan Al Qur'an, sampai – sampai dalam membacanyapun harus di sertai ilmu membaca yang di sebut ilmu qiro’ah, karena di kawatirkan apabila dalam membaca Al Qur’an tidak di sertai ilmunya akan berakibat berubahnya arti,maksud serta tujuan dalam setiap firman yang tertulis dalam Al Qur’an.
B.     SARAN
Demikianlah dalam hal ini penulis akhiri makalah ini tak lupa mohon maaf kepada semua pihak, kritik dan saran, Penulis harapkan. Demi perbaikan penulisan makalah ini selanjutnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar