A.
Pengertian
Qira’ah al-Qur’an
Secara
etimologi, lafal qira’ah ( قراءة ) merupakan bentuk
masdar dari ( قرأ ) yang artinya
bacaan. Sedangkan menurut terminologi, terdapat berbagai pendapat para ulama
yang sehubungan dengan pengertian qira’at ini. Jadi, qira’ah al-Qur‘an secara bahasa adalah bacaan al-Qur’an. Pengertian qira’at menurut istilah cukup beragam. Hal ini disebabkan
oleh keluasan makna dan sisi pandang.
Qira’ah
al-Qur’an yang dimaksud bukanlah dalam pengertian menurut bahasa seperti itu sebab
belum memberikan pengertian yang memberikan batasan yang bersifat jami’ dan mani’. Yang dimaksud qira’ah
al-Qur’an bukan sekadar bacaan al-Quran sembarang bacaan. Yang
dimaksudkan adalah tatacara melafalkan lafal-lafal al-Quran.
Qira’ah al-Quran
itu berkaitan dengan pelafalan al-Quran dan makna al-Quran. Al-Quran sendiri,
lafal dan maknanya merupakan wahyu dari Allah SWT yang diturunkan kepada Rasul
saw. dan yang diriwayatkan dari beliau secara mutawatir dan kita beribadah dengan mengucapkannya.
Dengan demikian, qira’ah al-Quran itu harus mengikuti
sifat al-Quran itu. Artinya, qira’ah
al-Quran merupakan wahyu dan diriwayatkan dari Rasul saw. secara mutawatir. Karena itu, perbedaan qira’ah dibangun berdasarkan
pengucapan wahyu dan bukan bersandar pada pendapat dan ijtihad muqri’.
Qira’at sebagai salah satu sistem
bacaan menjadi sangat vital bagi para pembacanya, terlebih lagi Al-Qur’an
merupakan sumber pokok rujukan dalam segala hal bagi pemeluk agama Islam. Teks
wahyu yang diturunkan dalam bentuk lisan, diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW
dalam cara yang sama, meski tetap ada usaha dalam bentuk penulisan teks
Al-Qur’an tersebut. Tetapi, dalam praktek dominan metode ajar secara lisan
tetap menjadi metode utama hingga saat ini. Itulah mengapa dalam sejarahnya,
Al-Qur’an banyak mengalami ragam cara baca, sesuai dengan dialek Arab yang ada
pada saat itu.
Ada beberapa
pendapat menurut para ulama, antara lain:
1.
Menurut az-Zarqani.
Az-Zarqani
mendefinsikan qiraah dalam terjemahan bukunya yaitu : mazhab yang dianut oleh
seorang imam qiraat yang berbeda dengan lainnya dalam pengucapan al-Qur’an
serta kesepakatan riwayat-riwayat dan jalur-jalurnya, baik perbedaan itu dalam
pengucapan huruf-huruf ataupun bentuk-bentuk lainnya.
2.
Menurut Ibn al Jazari :
Ilmu yang
menyangkut cara-cara mengucapkan kata-kata al-Qur’an dan perbedaan-perbedaannya
dengan cara menisbatkan kepada penukilnya.
3.
Menurut al-Qasthalani :
Suatu ilmu
yang mempelajari hal-hal yang disepakati atau diperselisihkan ulama yang
menyangkut persoalan lughat, hadzaf, I’rab, itsbat, fashl, dan washl yang
kesemuanya diperoleh secara periwayatan.
4.
Menurut
As-Shabuni:
Qira’at adalah suatu madzhab pelafalan Al-Qur’an yang dianut salah
seorang imam berdasarkan sanad-sanad
yang bersambung kepada rasul.
Definisi di atas sudah
mengisyaratkan bahwa qirâ’ah al-Qur’ân
adalah pengucapan lafal-lafal al-Quran sebagaimana pengucapan Nabi saw. atau
pengucapan yang dilakukan di hadapan beliau dan beliau menyetujuinya. Atau
tilawah lafal-lafal al-Quran al-Karim sebagaimana yang dibaca oleh Nabi saw.
atau sebagaimana yang beliau ketahui dan dengar dari para Sahabat dan beliau
menyetujuinya.
Definisi-definisi ini sekaligus
menjelaskan dari mana sumber qira’ah
itu, bagaimana mengambilnya sekaligus yang menjadi tolok ukur mana yang
termasuk qira’ah al-Quran dan
mana yang tidak.
Dari sisi sumber, qira’ah itu harus diambil dari Rasul
saw. atau yang disetujui oleh Rasul saw., yaitu bersumber dari wahyu. Sebab, qira’ah itu adalah pengucapan
lafal-lafal al-Quran, sementara lafal al-Quran adalah wahyu dari Allah SWT, dan
satu-satunya pihak yang menerima wahyu al-Quran adalah Rasul saw. Jadi, qira’ah al-Quran harus bersumber dari
Rasul saw., yaitu bersumber dari wahyu.
Karena qira’ah harus bersumber dari Rasul saw., maka satu-satunya cara
kita mengambil qira’ah adalah
melalui periwayatan, tidak dengan jalan yang lain. Perlakuan terhadap riwayat qira’ah ini sama seperti terhadap
hadis.
Tentang kriteria suatu qira’ah bisa dinilai sebagai qira’ah al-Qur’an, ada perbedaan
pendapat tentang kriteria itu. Ada tiga kriteria yang dinyatakan para ulama:
1.
Kesahihan sanad.
2.
Kesesuaian dengan rasm Mushaf Utsmani.
3.
Kesesuaian dengan ketentuan bahasa Arab.
Hanya kriteria pertama yang
disepakati oleh para ulama. Tentang rincian ketiga kriteria ini para ulama
berbeda pendapat. Jika salah satu dari persyaratan ini
tidak terpenuhi, maka qira’at itu dinamakan qira’at yang lemah, syadz atau
bathil.
Adapun qira’ah yang tidak mutawatir
tidak bisa dinilai sebagai qira’ah
al-Quran bagaimanapun ditambah dengan kriteria dan syarat apapun. Sungguh telah
keliru orang yang memutuskan “kequranan” suatu qira’ah jika sesuai Mushaf Utsmani dan sesuai bahasa, tetapi
tidak mutawatir. Jika telah
jelas benarnya kriteria tawatur sanad
maka tidak ada bahaya atas kita dalam dua syarat lainnya. Sebab, tidak terbukti
bahwa qira’ah mutawatir itu
menyalahi rasm al-Quran atau
menyalahi bahasa Arab.
Dalam penyampaian qira’ah dalam kalangan ahli hadist ada beberapa
periwayatan menurut Dr. Muhammad bin alawial-maliki dalam bukunya berjudul zubdah al-itqan fi ulumil qur’an, di
antaranya :
a.
Mendengr langsung dari guru (al-sima’)
b.
Membacakan teks atau hafalan di depan guru (al-qira’ah
`ala al-syaikh)
c.
Melalui ijazah dari guru kepada murid
d.
Guru memberikan sebuh naskah asli kepada muridnya atau
salinan yang di koreksinya untuk di riwayatkan(al-munalah)
e.
Guru menuliskan sesuatu untuk di berikan di berikan
kepada muridnya(mukatabah)
f.
Wasiat dari guru kepada para murid-muridnya
g.
Peberitahuan tentang qira’ah tertentu(al-I’lam)
h.
Hasil temuan (al-wijadah)
B. Macam-Macam Qira’ah al-Qur’an
Yang dimaksud
dengan macam-macam qira’at disini yaitu ragam qira’at yang dapat diterima
sebagai qira’at al-Qur’an.
Dipandang
dari segi Kwantitas :
a. Qira’ah
Sa’bah (Qira’at tujuh)
Maksud Sa’bah adalah imam-imam qira’at yang tujuh,
mereka adalah :
1)
Abdullah bin Katsir Ad-Dari (wafat 120 H) dari Mekkah.
Ad-dari berasal dari generasi At-Tabi’in. qira’ah yang ia riwayatkan diperoleh
dari Abdullah bin Zubair dan lain-lain.
2)
Nafi’ bin Abdurrahman bin Abu Na’im (wafat 169 H) dari
Madinah. Tokoh ini belajar qira’ah dari 70 orang Tai’in.
3)
Abdullah Al-Yashibi terkenal dengan sebutan Abu Amir
Ad-Dimasyqi (wafat 118 H) dari Syam. Ia mengambil qira’at dari Al-Mughirah bin
Abi Syaibah Al-Mahzumi.
4)
Abu Amar (wafat 154 H) dari Bsrah, Irak. Ia
meriwayatkan Qira’at dari Mujahid bin Jabr.
5)
Ya’qub (wafat 205 H) dari Basrah, Irak. Ya’qub belajar
qira’at pada Salam bin Sulaiman Al-Thawil yang mengambil qira’at dari ‘Ashim
dan Abu Amar.
6)
Hamzah (wafat 188 H) Hamzah belajar qira’at pada
Sulaiman bin Mahram Al-A’masy, dari Yahya bin Watstsab, dari Dzar bin Hubasyi,
dari Ustman bin Affan, ‘Ali bin Thalib dan Mas’ud.
7)
Ashim (wafat 127 H). Ia belajar qira’at dari Dzar bin
Hubaisy, dan Abdullah bin Mas’ud.
b. Qira’at
Asyarah (Qira’at sepuluh). Yang dimaksud qira’at sepuluh adalah qira’at tujuh
yang telah disebutkan diatas ditambah tiga Qira’at berikut :
1)
Abu Ja’far, memperoleh qira’at dari Abdullah bin
Ayyasy bin Rabi’ah, Abdullah bin Abbsa, dan Abu Hurairah. Mereka berdua
memperolehnya dari Ubay bin Ka’ab, sedangkan Ubay memperolehnya langsung dari
Nabi.
2)
Ya’qub bin Ishaq bin Yazid bin Abdullah bin Abu Ishaq
Al-Hadhrami Al-Bashri. Ia memperoleh qira’at dari banyak orang yang sanadnya
bertemu pada Abu Musa Al-Asy’ari dan Ibn Abbas, yang membaca langsung dari
Rasulullah SAW
3)
Abu Muhammad Khalaf bin Hisyam bin Tsa’lab Al-Bazzaz
Al-Baghdad. Ia menerima qira’at dari Sulaiman bin Isa’ bin Habib.
c. Qira’at
Arba’at Asyrah (Qira’at empat belas). Yang dimaksud qira’at empat belas adalah
Qira’at sepuluh diatas ditambah dengan empat qira’at dibawah ini :
1)
Al-Hasan Al-Bashri (wafat 110 H). Salah seorang
Tabi’in besar yang terkenal kezahidannya.
2)
Muhammad bin Abdirrahman (wafat 123 H). Ia adalah guru
Abi ‘ Amr
3)
Yahya bin Al-Mubarak Al-Yazidi An-Nahwi Al-Baghdadi
(wafat 202 H). Ia mengambil qira’at dari Abi ‘Amr dan Hamzah.
4)
Abu Al-Fajr Muhammad bin Ahmad
Asy-Syanbudz (wafat 388 H).
Dipandang dari Segi Kualitas :
Berdasarkan
penelitian Al-Jazari, berdasarkan kualitas, qira’at dapat dikelompokkan dalam
lima bagian :
a. Qira’at
Mutawatir, yakni yang disampaikan sekelompok orang mulai dari sampai akhir
sanad, yang tidak mungkin bersepakat untuk berbuat dusta. Umumnya, qira’at yang
ada masuk kedalam bagian ini.
b. Qira’at
Mansyur, yakni yang memiliki sanad sahih, tetapi tidak sampai pada kualitas
Mutawatir, sesuai kaidah bahasa Arab dan tulisan Mushaf “Ustmani, Mansyur
dikalangan Qurra’. Dibaca sebagaimana ketentuan yang telah ditetapkan
Al-Jazari, dan tidak termasuk qira’at yang keliru dan menyimpang.
c. Qira’at
Ahad, yakni memiliki sanad sahih, tetapi menyalahi tulisan Mushaf ‘Ustmani dan
kaidah bahasa Arab, ketentuan yang telah ditetapkan Al-Jazari.
d. Qira’at
Syadz (menyimpang), yakni yang sanadnya tidak sahih. Telah banyak kitab yang
ditulis untuk jenis Qira’at ini.
e. Qira’at
Maudhu’ (palsu), seperti qira’at Al-Khazzani, Ash-Suyuthi kemudian menambah
qira’at yang keenam.
f. Qira’at yang
menyerupai Hadits Mudraj (sisipan), yakni adanya sisipan pada bacaan
dengan tujuan penafsiran.
Ditinjaudari segi nama jenis :
Sebagian ulama’ berpendapat bahwa jika qira’ah itu ditinjau dari sisi nama
jenis, maka qira’ah itu di bagi menjadi:
a.
Qira’ah, yaitu untuk nama bacaan yan
telah memenuhi tiga syarat sebagaimana penjelasan di atas, seperti Qira’ah
Sab’ah, Qira’ah Asyrah dan Qira’ah Arba’a Asyrata.
b.
Riwayat, nama bacaan yang hanya
berasal dari salah sorang perawinya sendiri.
c.
Thariq, yaitu nama untuk bacaan yang
sanadnya terdiri dari orang-orang yang sesudah para perawinya sendiri.
C.
Pengertian
I’jaz Alqur’an
Kata i’jaz diambil dari kata kerja
a’jaza-i’jaza yang berarti melemahkan atau menjadikan tidak mampu.
Lebih jauh Al-Qaththan
mendefinisikan I’jaz dengan, “Memperlihatkan kebenaran Nabi SAW. Atas pengakuan
kerasulannya, dengan cara membuktikan kelemahan orang Arab dan generasi
sesudahnya untuk menandingi kemukjizatan Al-Qur'an.”
Pelakunya (yang melemahkan) dinamai
mu’jiz. Bila kemampuannya melemahkan pihak lain amat menonjol sehingga mampu
membungkam lawan, ia dinamai mujizat. Tambahan ta’ marbhuthah pada akhir kata
itu mengandung makna mubalighah (superlatif). Mukjizat didefinisikan oleh pakar
agama Islam, antara lain sebagai suatu hal atau peristiwa luar biasa yang
terjadi melalui seorang yang mengaku Nabi, sebagai bukti kenabiannya sebagai
tantangan bagi orang ragu, untuk melakukan atau mendatangkan hal serupa, tetapi
tidak melayani tantangan itu.
Dengan redaksi yang berbeda,
mukjizat didefinisikan pula sebagai suatu yang luar biasa yang diperlihatkan
Allah SWT. Melalui para Nabi dan Rasul-Nya, sebagai bukti atas kebenaran
pengakuan kenabian dan kerasulannya. Manna’ Al-Qhathan mendefinisikan:
أَمْرُ خَارِقٌ لِلْعَادَةِ
مَقْرُوْنٌ بِالتَّحَدِّيْ سَالِمٌ عَنِ اْلمُعَارَضَةِ.
Artinya :
“Suatu kejadian yang keluar dari
kebiasaan, disertai dengan unsur tantangan, dan tidak akan dapat ditandingi.”
D.
Segi-segi I’jas al-Qur’an
1.
Segi Bahasa dan Susunan Redaksinya
Sejarah telah menyaksikan bahwa bangsa
Arab pada saat turunnya al-Quran telah mencapai tingkat yang belum pernah
dicapai oleh bangsa satu pun yang ada didunia ini, baik sebelum dan seudah
mereka dalam bidang kefashihan bahasa (balaghah). Mereka juga telah meramba
jalan yang belum pernah diinjak orang lain dalam kesempurnaan menyampaikan
penjelasan (al-bayan), keserasian dalam menyusun kata-kata, serta kelancaran
logika.
Oleh karena bangsa Arab telah
mencapai taraf yang begitu jauh dalam bahasa dan seni sastra, karena sebab
itulah al-Quran menantang mereka. Padahal mereka memiliki kemampuan bahasa yang
tidak bisa dicapai orang lain seperti kemahiran dalam berpuisi, syi’ir atau
prosa (natsar), memberikan penjelasan dalam langgam sastra yang tidak sampai
oleh selain mereka. Namun walaupun begitu mereka tetap dalam ketidakberdayaan
ketika dihadapkan dengan al-Quran.
Selanjutnya apabila ketidakmampuan
bangsa Arab telah terbukti sedangkan mereka jago dalam bidang bahasa dan
sastra, maka terbukti pulalah kemukjizatan al-Quran dalam segi bahasa dan
sastra dan itu merupakan argumenatasi terhadap mereka maupun terhadap kaum-kaum
selain mereka. Sebab dipahami bahwa apabila sebuah pekerjaan tidak bisa
dilakukan oleh mereka yang ahli dalam bidangnya tentunya semakin jauh lagi
kemustahilan itu bisa dilakukan oleh mereka yang tidak ahli dibidangnya.
Berkaitan dengan masalah pembuktian akan ketidak mampuan
bangsa Arab untuk menyaingi al-Quran para ulama banyak memberikan komentar yang
mengisyaratkan adanya perbedaan tentang ihwal ketidakmampuan itu bisa terjadi.
Secara umum pendapat ulama dalam masalah sebab terjadinya fenomena
ketidakmampuan orang Arab untuk menandingi al-Quran ada dua pendapat, yaitu:
a.
Muncul
dari factor i’jaz yang terkait dan inheren dalam al-Quran
b.
Muncul
dari luar al-Quran dengan adanya kesengajaan Allah untuk melemahkan orang Arab
secara intelektual (sharfah)
2. Segi Isyarat Ilmiah
Pemaknaan kemukjizatan al-Quran
dalam segi ilmiyyah adalah dorongan serta stimulasi al-Quran kepada manusia
untuk selalu berfikir keras atas dirinya sendiri dan alam semesta yang
mengitarinya.
Al-Quran memberikan ruangan
sebebas-bebasnya pada pergulan pemikiran ilmu pengetahuan sebagaimana halnya
tidak ditemukan pada kitab-kitab agama lainnya yang malah cenderung restriktif.
Pada Akhirnya teori ilmu pengetahuan yang telah lulus uji kebenaran ilmiahnya
akan selalu koheren dengan al-Quran.
Al-Quran dalam mengemukakan
dalil-dalil, argument serta penjelasan ayat-ayat ilmiah, menyebutkan
isyarat-isyarat ilmiah yang sebagaiannya baru terungkap pada zaman atom, planet
dan penaklukan angkasa luar sekarang ini. Diantaranya adalah :
a.
“Dan
Apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu
keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya.
Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka Mengapakah mereka
tiada juga beriman?” (QS. Al-Anbiya’: 30). Dalam ayat ini terdapat isyarat
ilmiah tentang sejarah tata surya dan asal mulanya yang padu, kemudian
terpisah-pisahnya benda-benda langit (planet-planet), sebagian dari yang lain
secara gradual. Begitu juga di dalamnya terdapat isyarat tentang asal-usul
kehidupan yaitu dari air.
b.
“Dan
Kami telah meniupkan angin untuk mengawinkan (tumbuh-tumbuhan) dan Kami
turunkan hujan dari langit, lalu Kami beri minum kamu dengan air itu, dan
sekali-kali bukanlah kamu yang menyimpannya.” (QS. Al-Hijr: 22) ayat ini
meberikan isyarat tentang peran angin dalam turunnya hujan begitu juga tentang
pembuahan serbuk bunga tumbuh-tumbuhan.
c.
“Pada
hari itu manusia ke luar dari kuburnya dalam Keadaan bermacam-macam, supaya
diperlihatkan kepada mereka (balasan) pekerjaan mereka,” (QS. Al-Zalzalah: 6)
adanyan pemeliharaan dan pengabadian segala macam perbuatan manusia di dunia.
Dan jika ini dapat dilakukan manusia, maka pastilah itu jauh lebih mudah bagi
Allah
d.
“Bukan
demikian, sebenarnya Kami Kuasa menyusun (kembali) jari jemarinya dengan
sempurna.” (QS. Al-Qiyamah: 4) dianatara kepelikan penciptaan manusia adalah
sidik jarinya. Ayat ini menyebutkan kenyataan ilmiah bahwa tidak ada jari-jari tangan
seorang manusia yang bersidik jari yang sama dengan manusia yang lainnya.
3. Segi Pemberitaan
yang Ghaib
Surat-surat dalam al-Quran mencakup
banyak berita tentang hal ghaib. Kapabilitas al-Quran dalam memberikan
informasi-informasi tentang hal-hal yang ghaib seakan menjadi prasyarat utama
penopang eksistensinya sebagai kitab mukjizat. Akan tetapi pemberian informasi
akan segala hal yang ghaib tidak memonopoli seuruh aspek kemukjizatan al-Quran
itu sendiri. Diantara contohnya adalah:
a.
Keghaiban
masa lampau. Al-Quran sangat jelas dan fasih sekali dalam menjelaskan cerita
masa lalu seakan-akan menjadi saksi mata yang langsung mengikuti jalannya
cerita. Dan tidak ada satupun dari kisah-kisah tersebut yang tidak terbukti
kebenarannya. Diantaranya adalah: Kisah nabi Musa: Dan (ingatlah), ketika Musa
berkata kepada kaumnya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor
sapi betina.” mereka berkata: “Apakah kamu hendak menjadikan Kami buah
ejekan?”[62] Musa menjawab: “Aku berlindung kepada Allah agar tidak menjadi
salah seorang dari orang-orang yang jahil”.(QS. Al-baqarah: 67) Kisah Fir’aun :
4. Sesungguhnya Fir’aun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan
menjadikan penduduknya berpecah belah, dengan menindas segolongan dari mereka,
menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan
mereka. Sesungguhnya Fir’aun Termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan.(QS.
Al-Qoshosh: 4)
b.
Keghaiban
masa sekarang. Terbukanya niat busuk orang munafik di masa rasulullah.. “Dan di
antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu,
dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, Padahal ia
adalah penantang yang paling keras”.(QS. Al-Baqarah: 204)
c.
Keghaiban
masa yang akan dating. Ghulibatir ruum. Fii adnal ‘ardhii wahum min ba’di
ghalibiin sayaghlibun fi bid’i sinin.(QS. Ar-Rum 2-4)
4. Segi Petunjuk Penetapan Hukum
Syara’
Diantara hal-hal yang mencengangkan
akal dan tak mungkin dicari penyebabnya selain bahwa al-Quran adalah wahyu
Allah, adalah terkandungnya syari’at paling ideal bagi umat manusia,
undang-undang yang paling lurus bagi kehidupan, yang dibawa al-Quran utnuk
mengatur kehidupan manusia yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia.
Antara lain contohnya :
a.
Keadilan.
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi
kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan
permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil
pelajaran”. (QS. An-nahl: 90)
b.
Mencegah
pertumpahan darah. “Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani
Israil, bahwa: Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang
itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi,
Maka seakan-akan Dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan Barangsiapa yang
memelihara kehidupan seorang manusia, Maka seolah-olah Dia telah memelihara
kehidupan manusia semuanya. Dan Sesungguhnya telah datang kepada mereka
Rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian
banyak diantara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam
berbuat kerusakan dimuka bumi.”
c.
Pertahanan
untuk menghancurkan fitnah dan agresi. “Dan perangilah mereka itu, sehingga
tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk
Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), Maka tidak ada permusuhan
(lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim. (QS. Al-Baqarah: 193)
E.
Faedah
I’jaz Al-Qur’an
I’jaz al-Quran dapat memberikan
manfaat bagi orang yang mempelajari dan mengkaji. Baik itu orang awam ataupun
para ilmuan, cendikiawan, dan semua kalangan manusia yang senantiasa
mempergunakan akal sehatnya. Adapun manfaat yang dapat dipetik dari I’jaz
al-Quran akan disebutkan dibawah ini :
1.
Kelembutan,
keindahan, keserasian kalimat dan redaksial-Quran dapat memberikan kesegaran
kepada akal dan hati, baik orang awam ataupun kaum cendikiawan
2.
Gaya
bahasa yang indah dapat dijadikan sebagai media dakwah untuk menarik hati
orang.
3.
Dengan
adanya berita-berita ghaib, itu dapat dijadikan ibrah guna memperkokoh iman
kepada Allah dan membimbing perbuatan ke arah yang benar.
4.
Dapat
dijadikan hujjah dalam menyampaikan kebenaran al-Qur’an bagi orang-orang yang
ragu.
5.
Dapat
mengokohkan keyakinan akan kebenaran Risalah Muhammad Saw.
6.
Dapat
mengetahui keagungan Allah dengan mengenal isyarat ilmiah yang ada di alam
dunia.
7.
Dapat
menjadi motivasi untuk selalu bereksperimen, berinovasi, dan berkarya dalam
ilmu pengetahuan.
8.
Mengetahui
kelemahan dan kekurangan manusia.
9.
Aturan-aturan
hukumnya dapat dijadikan sebagai landasan dalam beribadah, baik ibadah secara
vertikal ataupun horizontal.
10.
Dapat
menjaga kehormatan, harta, jiwa, akal, dan keturunan dengan menganut dan
mengindahkan tasyri-Nya
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Qira’at adalah cara membaca ayat-ayat yang dipilih oleh salah
seorang imam ahli qira’atyang berbeda yang berbeda dengan cara ulama’ lain
sertadi dasarkan atas riwayat yang mutawatir sanadnya yang selaras dengan
kaidah-kaidah bahasa arab yang terdapat dalam salah satu mushaf Utsmani, karena
Al-Qur’an adalah sumber ilmu bagi kaum muslimin yang merupakan dasar-dasar
hukum yang mencakup segala hal, baik aqidah, ibadah, etika, mu’amalah dan
sebagainya. Selain sebagai sumber ilmu,Al Qur’an juga mempunyai ilmu dalam membacanya.
Karena begitu besar keagungan Al Qur’an sehingga dapat melemahkan atau menjadikan sesuatu
tidak akan mampu untuk menandingi kemukjizatan Al Qur'an, sampai – sampai dalam membacanyapun harus di sertai ilmu membaca yang di
sebut ilmu qiro’ah, karena di kawatirkan apabila dalam membaca Al Qur’an tidak
di sertai ilmunya akan berakibat berubahnya arti,maksud serta tujuan dalam
setiap firman yang tertulis dalam Al Qur’an.
B.
SARAN
Demikianlah dalam hal ini penulis akhiri makalah ini
tak lupa mohon maaf kepada semua pihak, kritik dan saran, Penulis harapkan.
Demi perbaikan penulisan makalah ini selanjutnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar