BAB I
PENGERTIAN JINAYAH
Jinayah
(jana) seacara etimologi artinya berbuat
dosa atau salah. Sedangkan secara terminologi mempunyai pengertian perbuatan
yang dilarang oleh syara, baik perbuatan itu mengenai jiwa, harta, atau benda.
Jadi jinayah merupakan suatu tindakan yang dilarang oleh syara karena dapat
menimbulkan bahaya bagi jiwa, harta, dan akal.
Unsur
unsur jarimah Secara singkat dapat dijelaskan, dan suatu perbuatan dapat
dikatakan atau dianggap delik (jarimah) bila syarat dan rukunya terpenuhi.
Adapun rukun jarimah dapat dikategorikan menjadi 2, yaitu :
1. Unsur
umum, artinya unsur unsur yang harus terpenuhi pada setiap jarimah. Adapun yang
termasuk dalam unsur unsur umum jarimah yaitu :
a) Unsur
formil (adanya undang undang atau nas), artinya setiap perbuatan tidak dianggap
melawan hukum dan pelakunya tidak dapat di pidana kecuali adanya nas atau
undang undang yang mengaturnya. Dalam hukum positif maasalh ini dikenal sebagai
asas legalitas.
b) Usur
materiil (sifat melawan hukum), artinya adanya tindak perbuatan sesorang yang
membentuk jarimah, baik dengan sikap berbuat maupun sikap tidak berbuat.
c) Unsur
moril (pelakunya mukalaf), artinya pelaku jarimah adalah orang yang dapat
diminati pertanggung jawaban pidana terhadap jarimah yang dilakukannya. Artinya
bukan orang gila, bukan anak anak dan bukan karena dipaksa atau karena
pembelaan diri.
2. Unsur
khusus, artinya unsur unsur yang harus terpenuhi pada jenis jarimah tertentu.
Yang dimaksud unsur khusus adalah unsur yang hanya terdapat pada peristiwa
pidana (jarimah) tertentu dan berbeda antara unsur khusus pada jenis jarimah
yang satu dengan jenis jarimah lainya .misalnya pada jarimah pencurian, harus
terpenuhi unsur perbuatana dan benda. Syarat yang berkaitan dengan benda, bahwa
benda itu berupa harta, ada pada tempat penyimpanan dan sudah ada satu nasab.
Unsur khusus yang ada pada jarimah sedangkan unusur yang khusus bermacam macam
serta berbeda beda pada setiap jarimah.
Macam
macam Jarimah
1. Jarimah
ta’zir, yaitu memberi pelajaran, artinya suatu jarimah yang diancam dengan
hukum ta’zir yaitu hukuman selain had dan qisas diyat.
2. Jarimah
hudud, yaitu perbuatan melanggar hukum yang jenis dan ancaman hukumanya
ditentukan oleh nas, yaitu hukuman had (hak ALLAH).
3. Jarimah
qisas diyat, yaitu perbuatan yang diancam dengan hukuman qisas dan diyat. Baik
hukuman qisas maupun diyat merupakan hukuman yang telah ditentukan batasnya, tidak
ada batas terendah dan tertinggi, tetapi menjadi hak perorangan (sikorban dan
walinya), ini berbeda dengan hukuman had yang menjadi hak ALLAh semata.
BAB II
ASAS ASAS UMUM DALAM FIQIH JINAYAH
Kata
asas berasal dari bahasa arab asasun yang berarti dasar atau prinsip, sedangkan
kata legalitas berasal dari bahasa latin yaitu lex ”kata benda” yang berarti
undang undang atau dari kata jadian legalis yang berarti sah atau sesuai dengan
ketentuan undang undang. Dengan demikian arti legalitas adalah keabsahan
sesuatu menurut undang undang. Penerapnya di indonesia dapat dilihat di pasal 1
ayat (1) kitab undang undang yang berbunyi suatu perbuatan tidak dapat di
pidana kecuali berdasarkan kekuatan peraturan perundang undangan pidana.
Asas
legalitas secara jelas dianut dalam hukum islam terbukti adanya ayat yang
menunjukan atas legalitas tersebut. Hukum asas legalitas dalam islam adalah
sebagai berikut :
·
Al Qur’an dalam Surat al Isra ayat 15
·
Al Qur’an dalam surat al Qasas ayat 59
·
Al Qur’an dalam surat al an’am ayat 19
·
Al qur’an dalam surat al baqarah 286
Sebagai
gambaran ril mengenai penerapan hukum pidana islam yang tidak berlaku misalnya:
·
Beristirkan bekas ibu tiri.
·
Hukum riba.
·
Masalah pencurian.
Asas
tidak berlaku surut pada hukum pidan islam, artinya sebelum adanya nas yang
melarang perbuatan, maka tindakan mukalaf tidak bisa dianaggap suatu jarimah.
Jarimah yang diberlakukan surut antara lain:
·
Jarimah Qazf (menuduh zina).
·
Jarimah Hirabah.
Asas
praduga tak bersalah adalah suatu konsekuensi yang tidak bisa di hindarkan dari
asas legalitas adalah asas praduga tidak bersalah. Menurut asas ini perbuatan
dianggap boleh kecuali di nyatakan sebaliknya oleh oleh suatu nash hukum.
Selanjutnya setiap orang dianggap tidak bersalah untuk semua perbuatan jahat,
kecuali dibuktikan kesalahnnya pada suat kejahatan tanpa ada keraguan. Jika
suatu keraguan yang beralasan muncul, seorang tertuduh harus dibebaskan.
BAB III
PERCOBAAN MELAKUKAN JARIMAH
Tindak
pidana adalah tidak selesainya perbuatan pidana karena adanya faktor eksternal,
namun sipelaku ada niat dan adanya permualaan perbuatan pidana. Hukum pidana
islam tidak kosentrasi mebahas delik percobaan, tetapi lebih menekankan pada
jarimah yang telah selesai dan belum selesai. Hal ini tidak berarti bahwa
mereka tidak mebicarakan isi teori tentang percobaan, sebagaimana yang akan
terlihat nanti, tidak adanya perhatian secara khusus terhadap jarimah
percobaan.
Tiap
tiap jarimah mengalami fase fase tertentu sebelum terwujudnya hasil, pembagia
fase fase ini diperlukan sekali, sebab hanya pada satu fase saja, pembuat dapat
dituntut dari segi kepidanaan, sedangkan dalam fase fase lainya tidak di
tuntut.
1. Fase
pemikiran dan perencanaan (marhalah at tafkir wa at tashmim). Memikirkan dan
merencanakan sesuatau jarimah tidak dianggap ma’siat yang dijatuhi hukuman, karena
menurut aturan syari’at islam, seseorang tidak dituntut (sepersalahkan) karena
lintasan hatinya atau niatan yang tersimpan dalam dirinya.
2. Fase
persiapan (marhalah at tahdzir). Menyiapkan alat yang dipakai untuk
melaksanakan jarimah, seperti membeli senjata untuk membunuh orang lain atau
membuat kunci palsu untukn mencuri. Fase persiapan juga tidak dianggap ma’siat
yang dapat dihukum, kecuali apa bila perbuatan persiapan itu sendiri dipandang
sebagai ma’siat, seperti hendak mencuri milik sesorang dengan cara membiusnya.
Peristiwa dianggap syubhat dan pelakunya hanya dikenakan hukuman ta’zir.
3. Fase
Pelaksanaan (marhakah tanfidiyah). Pada fase ini lah perbuatan sipembuat
dianggap sebagai jarimah. Untuk dihukum, tidak menjadi persoalan apakah
perbuatan tersebut merupakan permualaan pelaksanaan unsur materil jarimah atau
tidak, melainkan cukup dihukum apabila perbuatan itu berupa ma’siat, yaitu
pelanggaran atas hak masyarakat dan hak perorangan, dan dimaksudkan pula untuk
melaksanakan unsur materiil, meskipun antara perbuatan tersebutunsur materiil
masih masih terdapat beberapa langkah lagi.
Pendirian
hukum positif sama dengan syara, bahwa permulaan tindak pidana tidak dapat
dihukum, baik pada fase fase pemikiran –perencanaan dan persiapan. Menurut
aliaran obyektif (objetieve leer) , saat tersebut ialah ketika ia melaksanakan
perbuatan materil yang mebentuk suatu jarimah. Menurut aliran subyektif (
subyektif leer) untuk melakukan dikatakan melakukan percobaan cukup apabila
pembuat telah memulai sesuatu pekerjaan apa saja yang mendatangkan kepada
perbuatan jarimah itu sendiri.
Menurut
syari’at islam ,jarimah jarimah hudud dan qisas, jarimah jarimah yang selesai
tidak boleh dipersamakan dengan jarimah jarimah yang tidak selesai (percobaan).
Aaturan tersebut berdasarkan hadits Nabi S.A.W “siapa yang mencapai hukuman had
bukan pada jarimah hudud (yang lenkap) maka dia termasuk oarang yang
menyeleweng”.
Tidak
Selesainya percobaan Seorang pembuat yang telah memulai perbuatan jarimahnya.
Kalau dapat menyelesaikan perbuatnya maka sudah sepantasbya ia djatuhi hukuman
yang diancamkan terhadap perbuatnya itu. Jika belum menyelesaikan nya maka dia
sudah seharusnya kembali kejalan allah SWT.
Tidak
Selesainya percobaan karena taubat berupa jarimah “hirabah” pembegalan atau
penggarongan atau jarimah jariah lain. Hal ini sesuai dengan firman allah SWT
hukuman bagi orang yang melakukan jarimah “kecuali orang orang yang taubat
(diantara mereka) sebelum kamu dapat menguasai (menagkap) mereka. maka
ketahuilah bahwasanya allah maha pengampun lagi maha penyayang.
BAB
IV
TURUT
SERTA BERBUAT JARIMAH
Pengertian
turut serta dalam beruat jarimah sesungguhnya berbeda dengan berserikat dalam
melakukan ti]ndak pidana. ”berserikat dalam jarimah ialah sama sama melakukan
dan mengkhendaki , demikian juga hasil dari perbuatan pidana juga sama sama
dikhendaki”. Dalam turut serta kita melihat adanya pelaku utama dan pembantu, sedang
pada berserikat keduanya merupakan pelaku utama. Bentu bentuk jarimah yang
dilakukan oleh beberapa orang dirumuskan senagai berukut :
1. Pembuat
melakukan jarimah bersama sama orang lain (memberikan bagianya dan melaksanakan
jarimah) atau bisa dikatakan melakukan jarimah bersama sama .
2. Pembuat
mengadakan persepakatan denga orang lain untuk melakukan jarimah.
3. Pembuat
menghasut (menyuruh )orang lain untuk memperbuat jarimah.
4. Memberi
bantuan atau kesempatan untuk melakukan jarimah dengan berbagai cara tanpa
turut berbuat.
Untuk
membedakan antara turut berbuat langsung dengan turut berbuat tidak langsung,
maka dikalangkan fuqaha dibedakan menjadi 2 golongan yaitu :
1. Orang
yang turut berbuat langsung dalam melakukan jarimah tersebut syarik mubasyir
dan perbuatnya disebut Isytirak mubasyir.
2. Orang
yang tidak turut berbuat secara langsung dalam melaksankan jarimah disebut
syarik mutasabbib, perbuatnya disebut isytirak ghairul mubasyir atau isytirak
bit-tasabbubi.
BAB V
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA
Sebagai
bentuk pembebanan pada pelaku jarimah, dan dia sudah tahu akibat melakukan
jarimah pidana ditegakan karena tiga hal :
1. Adanya
perbuatan yang dilarang untuk dikerjakan
atau adanya perintah untuk dkerjakan
2. Adanya
sikap berbuat atau tidak berbuat atas
kehendak atau kemauan seseorang.
3. Pelaku
mengetahui akibat akibat dari perbuatan yang dilakukan.
BAB VI
UQUBAN (HUKUMAN)
UQOBAH
(hukuman), yaitu bentuk bagi balsan seseorang yang atsa perbuatanya melanggar
ketentuan syara yang ditetapkan Allah SWT dan rasulNYA untuk kemashlahatan
manusia hakim dalam islam harus menegakan dua prinsip dari tindakan iktiyat :
1. Hindari
hukuman had dalam perkara yang mengandung hukuman subhat
2. Seorang
imam atau hakim lebih baik salah memafkan dari pada salah menjatuhkan hukuman.
Hukuman
dalam islam dapat dikelompokan dalam bebrapa jenis, hal ini dapat diperinci
sebagai berikut :
1. Hukum
dilihat dari pertalian hukuman yang satu dengan ang lain , ada empat macam :
a) Hukuman
pokok.
b) Hukuman
pengganti.
c) Hukuman
tambahan.
d) Hukuman
pelengkap.
2. Hukuman
dilihat dari kewenangan hakim dalam memutuskan perkara, ada dua macam :
a) Hukuman
yang bersifat terbatas.
b) Hukuman
yang memiliki alternatif untuk dipilih.
3. Hukuman
dari segi obyek ada 3 macam, yaitu :
a) Hukuma
jasmani.
b) Hukuman
benda.
Gabungan
hukum ialah serangkai sanksi kepada seseorang yang dterapkan karen dia telah
melakukan jarimah secara berulang ulang, dan satu dengan yang lainya belum
mendapatkan putusan akhir Gabungan hukum bagi pelaku jarimah pada intinya dapat
dibagi menjadi dua sifat :
1. Gabungan
anggapan (concurcus idealis).
2. Gabungan
nyata(concurus realis).
BAB VII
JARIMAH HUDUD
Hukuman
pidana islam sering mendapat tudingan sebagai huku yang out of date dan de
humanis.
Ø REDEFINSI
JARIMAH HUDUD
Jarimah
hudud sering diartikan sering diartikan sebagai tindak pidana dan sanksinya
ditetapkan secara mutlak oleh Allah.
Ø JARIMAH
ZINA
Hukumanay
ditegaskan dalam alqur’an dan hadits, hukuman bagi oarang yang belum menikah
(ghairu muhson) didera seratus kali. Sedangkan yang sudah menikah (muhsan) di
rajam.
Ø JARIMAH
QAZF
Menuduh
wanita baik baik berzina.
Ø JARIMAH
SARIQAH
Mengambil
harta orang lain secara diam diam untuk dimiliki tanap adanya paksaan.
Ø JARIMAH
HIRABAH
Sekolompok
orang yang membuat onar,pertumpahan darah ,merampas harta di muka bumi.
Ø JARIMAH
AL BAGHY (PEMBERONTAK)
Orang
yang keluar dari ketaatan pada imam yang sah tanpa alasan. H.JARIMAH SYURB AL
KHAMR larangan meminum minuman yang memabukan.
Ø JARIMAH
RIDDAH
Orang
yang keluar dari islam, atau disebut juga murtad.
BAB VII
JARIMAH QISHASH DIYAT
Qisas
diyat adalah suatu kejahatan terhadap jiwa (menghilangkan nyawa) dan anggota
badan (pelukaan) yang diancam hukuman qisasa atau hukuman diyat. Ketika hukum
islam berbicara tentang delik qisas, kesan ngeri seram dan menakutkan.
BAB IX
JARIMAH TA’ZIR
Menurut
bahasa, lafadz ta’zir berasal dari kata azzara yang berarti man’u wa rada
(mencegah dan menolak. Pada jarimah ta’zir al qur’an al hadits tidak menerapkan
secara terperincI, baik dari segi bentuk jarimah maupun hukumanya. Jarimah
ta’zir berbeda debgan jarimah hudut, jika jarimah hudud adalah jarimah yang
hukumanya telah ditentukan secara definitif oleh syara baik jenis jarimah
maupun sanksinya, maka jarimah ta’zir tidak di tentukan secara jelas dan
definitif.
Jenis
jenis jarimah ta’zir :
1. Jarimah
ta’zir yang berasal dari jarimah jarimah hudud atau qisas, tetapi syarat
syaratnya tidak terpenuhi atau ada syubhat, seperti pencuria tidak mencapai
nishab atau oleh keluarga sendiri.
2. Jarimah
ta’zir yang jenisnya disebutkan dalam nas syara, tetapi hukumanya belum
ditetapkan, seperti riba, suap, dan mengurangi takaran timbangan.
3. Jarimah
ta’zir yang baik jenis maupun sanksinya belum ditentukan oleh syara.
Hukuman
terhadap pelaku jarimah ta’zir :
1. Hukuman
mati.
2. Hukuman
cambuk.
3. Hukuman
penjara.
4. Hukuman
pengasingan.
5. Merampas
harta.
6. Mengubah
bentuk barang.
7. Hukuman
denda.
8. Peringatan
keras.
9. Pukuman
berupa nasihat.
10. Celaan
(taubikh).
11. Pengucilan.
12. Pemecatan
(al-‘azl).
13. Publikasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar