PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Indonesia adalah sebuah laboratorium besar yang penuh dengan
berbagai eksperimentasi di bidang polotik, pemerintahan dan administrasi
publik. Sejarah mencatat bahwa praktik di bidang-bidang tersebut berjalan
dengan dinamika perubahan yang sangat cepat. Dari orde lama dibawah
kepemimpinan presiden Soekarno. Orde baru dibawah kendali presiden Soeharto
sampai orde reformasi yang sudah di nahkodai oleh sejumlah presiden (B.J.
Habibi, AbdurRahman Wahid, megawati Soekarno Putri sampai Susilo Bambang
Yudoyono), Indonesia menunjukkan wajah pemerintahan dan administrasi publik
yang berfariasi. Satu hal yang sama adalah bahwa berbagai setrategi reformasi
melalui introduksi sejumlah Undanhg-Undang belum menunjukkan dampak perbaikan kesejahteraan rakyat yang signifikan.
Dalam sejarah perkembangannya kebijakan otonomi daerah di
Indonesia mengikuti pola seperti pada bandul jam yaitu beredar antara
sangat sentralistik dan sangat desentarlistik. Apabila
kebijakan yang dilaksanakan sangat sentralistikmaka bandulnya akan ditarik
kembali kepada arah titik keseimbanganm desentralistik demikian pula
sebaliknya. Hal ini dapat dilihat dengan mengikuti perkembangan
pelaksanaan otonomi daerah melalui peraturan perundang-undangan yang mengaturnya
mulai dari UU nomor 1 tahun 1945 sampai dengan UU Nomor 22 tahun
1999.
Perkembangan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia telah
mengalami pasang surut mulai sejak jaman kolonial Belanda sampai saat ini.
Pengaruh kekuasaan regim tampaknya menjadi salah satu elemen yang turut
mempengaruhi pasang surutnya desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia.
Oleh karena itu bentuk, dimensi dan derajat desentralisasi dan otonomi daerah
pun selalu berbeda-beda sesuai dengan keinginan regim yang berkuasa pada
zamannya.
Otonomi daerah telah melahirkan begitu banyak perubahan dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dampak otonomi
daerah sangat luas, tidak hanya sekedar menciptakan perubahan pada aspek
pemerintahan tetapi perubahan pada hampir seluruh sendi kehidupan masyarakat
termasuk sosial, budaya, ekonomi dan politik.
Dampak otonomi daerah yang luas tersebut timbul karena otonomi
daerah pada dasarnya memiliki makna strategis yang berkaitan erat dengan tata
kehidupan sosial, budaya, ekonomi dan politik masyarakat Indonesia. Secara
konseptual, otonomi daerah diharapkan dapat mendorong terciptanya demokratisasi
di Indonesia, yang ditandai dengan meningkatnya peran masyarakat dalam proses
pembangunan. Peran tersebut diwujudkan dalam bentuk partisipasi, prakarsa dan
kreativitas untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya masing-masing.
Secara faktual, konsepsi otonomi daerah sejak dilaksanakan pada
tahun 1999 hingga saat ini telah melahirkan berbagai perubahan, diantara sekian
banyak dampak otonomi daerah terhadap kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara tersebut, ada dampak otonomi daerah yang dinilai
positif tetapi tidak sedikit pula dampak otonomi
daerah yang dinilai negatif.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
sejarah otonomi daerah?
2.
Bagaimana
perkembangan Otonomi Daerah sampai hari ini?
3.
Bagaimana
dampak Otonomi daerah terhadap Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah Otonomi
Daerah
Otonomi daerah berasal dari bahasa Yunani yaitu auto dan nomous
yang berarti sendiri dan peraturan atau hukum. Jadi dapat disimpulkan bahwa
otonomi daerah adalah hak kewenangan dan kewajiban daerah untuk mengatur dan
mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Sedangkan menurut UU Nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah
adalah hak wewenang dan kewajiban daerah otonomi untuk mengatur dan mengatur
sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
Tujuan utama otonomi daerah dalah membebaskan pemerintah pusat
dari beban-beban yang tidak perlu dalam menangani urusan daerah. Adapun tujuan otonomi
daerah yaitu:
1. Peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin
baik.
2. Pengembangan kehidupan demokrasi.
3. Keadilan.
4. Pemerataan.
5. Pemeliharaan hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah serta
antar daerah dalam rangka keutuhan NKRI.
6. Mendorong untuk memberdayakan masyarakat.
7. Menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peran serta
masyarakat, mengembangkan peran dan fungsi DPRD.
Otonomi daerah dapat diartikan sebagai kewajiban yang
diberikan kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut aspirasi masyarakat
untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam
rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
Sedangkan yang dimaksud dengan kewajiban adalah kesatuan masyarakat
hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus
urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa
sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.
Pelaksanaan otonomi daerah selain berlandaskan pada acuan hukum,
juga sebagai implementasi tuntutan globalisasi yang harus diberdayakan dengan
cara memberikan daerah kewenangan yang lebih luas, lebih nyata dan bertanggung
jawab, terutama dalam mengatur, memanfaatkan dan menggali sumber-sumber potensi
yang ada di daerahnya masing-masing.
Perkembangan sebuah ilmu sangat ditentukan oleh kemampuannya
menjawab berbagai masalah-masalah sosial dan alam yang menjadi bidang
garapannya. Semakin fungsional sebuah ilmu- dalam arti mampu menjalankan
sekurang-kurangnya lima fungsi utama ilmu – akan semakin banyak pendukungnya.
Hal tersebut pada gilirannya akan mendorong semakin banyak orang yang
mempelajari dan menghasilkan teori maupun konsep baru. Sebaliknya, apabila
sebuah ilmu tidak fungsional dalam menjawab kebutuhan masyarakat, maka ilmu tersebut
akan ditinggalkan oleh masyarakat dan akhirnya akan mati.
Kemampuan suatu ilmu untuk menjawab berbagai kebutuhan masyarakat
akan sangat tergantung pada epistemologinya, karena salah satu hal yang
membedakan antara ilmu satu dengan ilmu lainnya adalah dari segi
metodologinya.(Wasistiono, 2001). Demikian juga halnya dengan Ilmu
Pemerintahan. Dari berbagai literature dapat lihat bahwa bahwa pemerintahan
disamping sebagai sebuah pengetahuan (knowledge) adalah sekaligus
juga meruapakan sebuah kemahiran (know-how).Karena itu Ilmu Pemerintahan
diharapkan dapat menjawab berbagai tantangan dalam kehidupan manusia, termasuk
dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia dewasa ini.
Gelombang perubahan yang melanda Indonesia pasca jatuhnya pemerintahan
orde baru, membuka wacana dan gerakan baru diseluruh aspek kehidupan
masyarakat, tak terkecuali dalam dunia pemerintahan. Semangat yang
menyala-nyala untuk melakukan reformasi, bahkan cennderung melahirkan euphoria,
memberikan energi yang luar biasa bagi bangkintya kembali wacana otonomi
daerah, setelah hampir sepertiga abad ditenggelamkan oleh rezim otoritarian
orde baru dengan politik stick and carrot-nya (Sri Budi Santoso :
2000). Salah satu unsur reformasi total itu adalah tuntutan pemberian otonomi
yang luas kepada daerah kabupaten dan kota. Marsdiasmo (1999), menyatakan bahwa
tuntutan seperti itu adalah wajar, paling tidak untuk dua
alasan. Pertama, intervensi pemerintah pusat yang terlalu besar di
masa yang lalu telah menimbulkan masalah rendahnya kapabilitas dan efektivitas
pemerintah daerah dalam mendorong proses pembangunan dan kehidupan demokrasi di
daerah , Kedua, tuntutan pemberian otonomi itu juga muncul sebagai
jawaban untuk memasuki era new game yang membawa new
rules pada semua aspek kehidupan manusia di masa akan datang.
Dalam sejarah perkembangannya kebijakan otonomi daerah di
Indonesia mengikuti pola seperti pada bandul jam yaitu beredar antara
sangat sentralistik dan sangat desentarlistik. Apabila
kebijakan yang dilaksanakan sangat sentralistikmaka bandulnya akan ditarik
kembali kepada arah titik keseimbanganm desentralistik demikian pula
sebaliknya. Hal ini dapat dilihat dengan mengikuti perkembangan
pelaksanaan otonomi daerah melalui peraturan perundang-undangan yang
mengaturnya mulai dari UU nomor 1 tahun 1945 sampai dengan UU Nomor
22 tahun 1999.
Otonomi Daerah di Indonesia dilaksanakan dalam rangka
desentralisasi di bidang pemerintahan. Desentralisasi itu sendiri
setidak-tidaknya mempunyai tiga tujuan. Pertama, tujuan politik, yakni
demokratisasi kehidupan berbangsa dan bernegara pada tataran infrastruktur dan
suprastruktur politik. Kedua, tujuan administrasi, yakni efektivitas
dan efisiensi proses-proses administrasi pemerintahan sehingga pelayanan kepada
masyarakat menjadi lebih cepat, tepat, transparan serta
murah. Ketiga, tujuan social ekonomi, yakni meningkatnya taraf
kesejahteraan masyarakat.(Sadu Wasisitiono;2003)
Dalam malakah ini mencoba untuk membahas sejarah perkembangan
pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia sejak awal kemerdekaan sampai dengan
era reformasi sekarang ini dengan melihat oelaksanaan undang-undang otonomi
daearh dalam era tersebut. untuk dapat membedakan pelaksanaan otonomi
daerah pada masing-masing undang-undang maka kami akan mengakajinya dari
sudut sisitem yang digunakan. Kemudian untuk memudahkan pemahamannya maka dalam
penulisan makalah ini kami membaginya menjadi dua bagian. Pada bagian pertama
kami akan mengakaji tentang system otonomi daerah. Sedangkan pada bagian kedua
mengkaji tentang perkembangan system yang digunakan pada masing-masing
Undang-Undang otoniomi daerah yang pernah digunakan sepanjang sejarah Republik
Indonesia.
B.
Perkembangan
Otonomi Daerah
1.
Otonomi Daerah
Masa Orde Baru
Sejak tahun 1966, pemerintah Orde Baru berhasil membangun suatu
pemerintahan nasional yang kuat dengan menempatkan stabilitas politik sebagai
landasan untuk mempercepat pembangunan ekonomi Indonesia. Politik yang pada
masa pemerintahan Orde Lama dijadikan panglima, digantikan dengan ekonomi
sebagai panglimanya, dan mobilisasi massa atas dasar partai secara perlahan
digeser oleh birokrasi dan politik teknokratis. Banyak prestasi dan hasil yang
telah dicapai oleh pemerintahan Orde Baru, terutama keberhasilan di bidang
ekonomi yang ditopang sepenuhnya oleh kontrol dan inisiatif program-program
pembangunan dari pusat. Dalam kerangka struktur sentralisasi kekuasaan politik
dan otoritas administrasi inilah, dibentuklah Undang-Undang No. 5 Tahun 1974
tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah.
Mengacu pada UU ini, Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan
kewajiban Daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai
dengan peraturan perundangan yang berlaku. Selanjutnya yang dimaksud dengan
Daerah Otonom, selanjutnya disebut Daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum
yang mempunyai batas wilayah tertentu yang berhak, berwenang dan berkewajiban
mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan
Republik Indonesia, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Undang-undang No. 5 Tahun 1974 ini juga meletakkan dasar-dasar
sistem hubungan pusat-daerah yang dirangkum dalam tiga prinsip:
1. Desentralisasi, penyerahan urusan pemerintah dari Pemerintah atau
Daerah tingkat atasnya kepada Daerah menjadi urusan rumah tangganya;
2.
Dekonsentrasi,
pelimpahan wewenang dari Pemerintah atau Kepala Wilayah atau Kepala Instansi
Vertikal tingkat atasnya kepada Pejabat-pejabat di daerah;
3.
Tugas
Pembantuan (medebewind), tugas untuk turut serta dalam melaksanakan urusan
pemerintahan yang ditugaskan kepada Pemerintah Daerah oleh Pemerintah oleh
Pemerintah Daerah atau Pemerintah Daerah tingkat atasnya dengan kewajiban
mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskannya.
Dalam kaitannya dengan Kepala Daerah baik untuk Dati I (Propinsi)
maupun Dati II (Kabupaten/Kotamadya), dicalonkan dan dipilih oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah dari sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang dan
sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang calon yang telah dimusyawarahkan dan
disepakati bersama antara Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah/Pimpinan
Fraksi-fraksi dengan Menteri Dalam Negeri, untuk masa jabatan 5 (lima) tahun
dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya, dengan
hak, wewenang dan kewajiban sebagai pimpinan pemerintah Daerah yang
berkewajiban memberikan keterangan pertanggungjawaban kepada Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah sekurang-kurangnya sekali setahun, atau jika dipandang perlu
olehnya, atau apabila diminta oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, serta mewakili
Daerahnya di dalam dan di luar Pengadilan.
Berkaitan dengan susunan,
fungsi dan kedudukan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, diatur dalam Pasal
27, 28, dan 29 dengan hak seperti hak yang dimiliki oleh anggota Dewan
Perwakilan Rakyat (hak anggaran; mengajukan pertanyaan bagi masing-masing
Anggota; meminta keterangan; mengadakan perubahan; mengajukan pernyataan
pendapat; prakarsa; dan penyelidikan), dan kewajiban seperti a) mempertahankan,
mengamankan serta mengamalkan PANCASILA dan UUD 1945; b)menjunjung tinggi dan
melaksanakan secara konsekuen Garis-garis Besar Haluan Negara,
Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat serta mentaati segala
peraturan perundang-undangan yang berlaku; c) bersama-sama Kepala Daerah
menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja daerah dan peraturan-peraturan Daerah
untuk kepentingan Daerah dalam batas-batas wewenang yang diserahkan kepada
Daerah atau untuk melaksanakan peraturan perundangundangan yang pelaksanaannya
ditugaskan kepada Daerah; dan d) memperhatikan aspirasi dan memajukan tingkat
kehidupan rakyat dengan berpegang pada program pembangunan Pemerintah.
Dari dua bagian tersebut di atas, nampak bahwa meskipun harus
diakui bahwa UU No. 5 Tahun 1974 adalah suatu komitmen politik, namun dalam
prakteknya yang terjadi adalah sentralisasi (baca: kontrol dari pusat) yang
dominan dalam perencanaan maupun implementasi pembangunan Indonesia. Salah satu
fenomena paling menonjol dari pelaksanaan UU No. 5 Tahun 1974 ini adalah
ketergantungan Pemda yang relatif tinggi terhadap pemerintah pusat.
2.
Otonomi Daerah
Masa Reformasi
Upaya serius untuk melakukan desentralisasi di Indonesia pada masa
reformasi dimulai di tengah-tengah krisis yang melanda Asia dan bertepatan
dengan proses pergantian rezim (dari rezim otoritarian ke rezim yang lebih
demokratis). Pemerintahan Habibie yang memerintah setelah jatuhnya rezim
Suharto harus menghadapi tantangan untuk mempertahankan integritas nasional dan
dihadapkan pada beberapa pilihan yaitu,
a.
melakukan
pembagian kekuasaan dengan pemerintah daerah, yang berarti mengurangi peran
pemerintah pusat dan memberikan otonomi kepada daerah;
b.
pembentukan
negara federal; atau membuat pemerintah provinsi sebagai agen murni pemerintah pusat.
Pada masa ini, pemerintahan Habibie memberlakukan dasar hukum
desentralisasi yang baru untuk menggantikan Undang-Undang No. 5 Tahun 1974,
yaitu dengan memberlakukan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Daerah. Beberapa hal yang mendasar mengenai otonomi daerah
dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang sangat
berbeda dengan prinsip undang-undang sebelumnya antara lain :
a. Dalam Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1974 pelaksanaan otonomi daerah lebih mengedepankan otonomi daerah
sebagai kewajiban dari pada hak,
b. Dalam Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999 menekankan arti penting kewenangan daerah dalam mengatur
dan mengurus kepentingan masyarakat melalui prakarsanya sendiri.
Prinsip yang menekankan asas desentralisasi dilaksanakan
bersama-sama dengan asas dekonsentrasi seperti yang selama ini diatur dalam
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tidak dipergunakan lagi, karena kepada daerah
otonom diberikan otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Hal ini secara
proporsional diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber
daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Di
samping itu, otonomi daerah juga dilaksanakan dengan prinsip-prinsip demokrasi
yang juga memperhatikan keanekaragaman daerah.
Beberapa hal yang sangat mendasar dalam penyelenggaraan otonomi
daerah dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, adalah pentingnya pemberdayaan
masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas mereka secara aktif, serta
meningkatkan peran dan fungsi Badan Perwakilan Rakyat Daerah. Oleh karena itu,
dalam Undang-undang ini otonomi daerah diletakkan secara utuh pada daerah
otonom yang lebih dekat dengan masyarakat, yaitu daerah yang selama ini
berkedudukan sebagai Daerah Tingkat II, yang dalam Undang-undang ini disebut
Daerah Kabupaten dan Daerah Kota. Sistem otonomi yang dianut dalam
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 adalah otonomi yang luas, nyata dan
bertanggung jawab, dimana semua kewenangan pemerintah, kecuali bidang politik
luar negeri, hankam, peradilan, moneter dan fiskal serta agama dan bidang-
bidang tertentu diserahkan kepada daerah secara utuh, bulat dan menyeluruh,
yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
Daerah otonom mempunyai kewenangan dan kebebasan untuk membentuk
dan melaksanakan kebijakan menurut prakarsa dan aspirasi masyarakat. Sedang
yang selama ini disebut Daerah Tingkat I atau yang setingkat, diganti menjadi
daerah propinsi dengan kedudukan sebagai daerah otonom yang sekaligus wilayah administrasi,
yaitu wilayah kerja Gubernur dalam melaksanakan fungsi-fungsi kewenangan pusat
yang didelegasikan kepadanya. Kabupaten dan Kota sepenuhnya menggunakan asas
desentralisasi atau otonom. Dalam hubungan ini, kecamatan tidak lagi berfungsi
sebagai peringkat dekonsentrasi dan wilayah administrasi, tetapi menjadi
perangkat daerah kabupaten/kota. Mengenai asas tugas pembantuan dapat
diselenggarakan di daerah propinsi, kabupaten, kota dan desa. Pengaturan
mengenai penyelenggaraan pemerintahan desa sepenuhnya diserahkan pada daerah
masing-masing dengan mengacu pada pedoman yang ditetapkan oleh pemerintah. Wilayah
Propinsi meliputi wilayah laut sepanjang 12 mil dihitung secara lurus dari
garis pangkal pantai, sedang wilayah Kabupaten/Kota yang berkenaan dengan
wilayah laut sebatas 1/3 wilayah laut propinsi.
Pemerintah Daerah terdiri dari Kepala Daerah dan perangkat daerah
lainnya sedang DPRD bukan unsur pemerintah daerah. DPRD mempunyai fungsi
pengawasan, anggaran dan legislasi daerah. Kepala daerah dipilih dan
bertanggung jawab kepada DPRD. Gubernur selaku kepala wilayah administratif
bertanggung jawab kepada Presiden. Peraturan
Daerah ditetapkan oleh Kepala Daerah dengan persetujuan DPRD sesuai pedoman
yang ditetapkan Pemerintah, dan tidak perlu disahkan oleh pejabat yang
berwenang. Daerah dibentuk berdasarkan pertimbangan kemampuan ekonomi, potensi
daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah, dan
pertimbangannya lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah, daerah,
daerah yang tidak mampu menyelenggarakan otonomi daerah dapat dihapus dan atau
digabung dengan daerah lain. Daerah dapat dimekarkan menjadi lebih dari satu
daerah, yang ditetapkan dengan undang-undang.
Setiap daerah hanya dapat memiliki seorang wakil kepala daerah, dan
dipilih bersama pemilihan kepala daerah dalam satu paket pemilihan oleh DPRD. Daerah
diberi kewenangan untuk melakukan pengangkatan, pemindahan, pemberhentian,
penetapan pensiun, pendidikan dan pelatihan pegawai sesuai dengan kebutuhan dan
kemampuan daerah, berdasarkan nama, standar, prosedur yang ditetapkan
pemerintah. Kepada Kabupaten dan Kota diberikan otonomi yang luas, sedang pada
propinsi otonomi yang terbatas. Kewenangan yang ada pada propinsi adalah
otonomi yang bersifat lintas Kabupaten dan Kota, yakni serangkaian kewenangan
yang tidak efektif dan efisien kalau diselenggarakan dengan pola kerjasama
antar Kabupaten atau Kota. Misalnya kewenangan di bidang perhubungan, pekerjaan
umum, kehutanan dan perkebunan dan kewenangan bidang pemerintahan tertentu
lainnya dalam skala propinsi termasuk berbagai kewenangan yang belum mampu
ditangani Kabupaten dan Kota.
Pengelolaan kawasan perkotaan di luar daerah kota dapat dilakukan
dengan cara membentuk badan pengelola tersendiri, baik secara intern oleh pemerintah
Kabupaten sendiri maupun melalui berkerjasama antar daerah atau dengan pihak
ketiga. Selain DPRD, daerah juga memiliki kelembagaan lingkup pemerintah
daerah, yang terdiri dari Kepala Daerah, Sekretariat Daerah, Dinas-Dinas Teknis
Daerah, Lembaga Staf Teknis Daerah, seperti yang menangani perencanaan,
penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, pengawasan dan badan usaha
milik daerah. Besaran dan pembentukan lembaga-lembaga itu sepenuhnya diserahkan
pada daerah. Lembaga pembantu Gubernur, Pembantu Bupati/Walikota, Asisten
Sekwilda, Kantor Wilayah dan Kandep dihapus.
Kepala Daerah sepenuhnya bertanggung jawab kepada DPRD, dan DPRD
dapat meminta Kepala Daerahnya berhenti apabila pertanggungjawaban Kepala
daerah setelah 2 (dua) kali tidak dapat diterima oleh DPRD.
C. Dampak Otonomi Daerah
1. Dampak Otonomi Daerah secara Umum
Terdapat begitu banyak
harapan yang ideal dibalik penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah di
Indonesia. Salah satu dampak otonomi daerah yang diharapkan adalah peningkatan
efektifitas dan efisiensi dalam pelayanan publik, meningkatnya pertumbuhan
ekonomi dan terwujudnya kemajuan pembangunan di seluruh daerah secara merata.
Secara empiris, negara-negara yang sukses dalam menyelenggarakan kebijakan
desentralisasi telah membuktikan hal tersebut. Namun, bukti empiris juga
menunjukkan bahwa di negara-negara yang gagal, penyelenggaraan kebijakan
desentralisasi justru mengganggu sektor pelayanan publik dan menimbulkan
ancaman terhadap stabilitas ekonomi dan politik.
Dalam pidato pengukuhan
Prof. Wihana Kirana Jaya, Msoc.Sc., Ph.D. sebagai Guru Besar dalam Ilmu Ekonomi
di Universitas Gadjah Mada (2010), disebutkan bahwa sejumlah studi yang
dilakukan terhadap negara maju dan berkembang menunjukkan bahwa penyelenggaraan
desentralisasi dan otonomi daerah di satu sisi telah mendorong terciptanya
akuntabilitas anggaran, namun di sisi lain juga membuka peluang yang sangat
besar bagi terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme serta memungkinkan
terjadinya kontrol yang kuat dari para elit politik di tingkat lokal (daerah).
Dari hasil survey yang
dilaksanakan oleh PERC (political and economy risk consultancy) pada tahun
2010, disebutkan bahwa dari 16 negara yang berada di Asia Pacific, Indonesia
masih menjadi negara dengan tingkat korupsi tertinggi. Diantara 7 negara ASEAN,
Singapura dan Malaysia berada pada urutan pertama negara yang tingkat
korupsinya terendah, yakni hanya sekitar 1,07 persen. Selanjutnya disusul oleh
Filipina dengan tingkat korupsi sekitar 7 persen, Vietnam sekitar 7,11 persen, lalu Kamboja
sekitar 7,25 persen dan Thailand dengan tingkat korupsi sekitar 7,11 persen.
Indonesia masih berada di urutan terakhir dengan skor, 8,32 persen.
Ada juga pendapat yang
menyatakan bahwa penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia
telah mengakibatkan terjadinya perubahan yang sangat besar dan signifikan
disemua aspek pemerintahan dengan cepat. Hal ini menimbulkan dampak otonomi
daerah yang negatif karena tidak diimbangi dengan kesiapan seluruh pihak yang
akan berperan dalam penyelenggaraan otonomi daerah tersebut, serta tidak
didahului dengan penyiapan infrastruktur yang memadai, baik itu berupa sarana
dan prasarana fisik maupun regulasi atau peraturan perundang-undangan yang
lebih komprehensif.
Perubahan tata kelembagaan
di era otonomi daerah sedikit banyak telah menimbulkan ketidakjelasan atau
mengaburkan antara lembaga yang memberikan kewenangan dan lembaga yang menerima
kewenangan atau yang mewakili. Hal ini menimbulkan ketidakharmonisan antar
lembaga-lembaga yang ada dan berpotensi menghambat penyelenggaraan good
governance atau tata kelola yang baik.
Pada gilirannya,
berbagai kekurangan tersebut menimbulkan dampak otonomi daerah yang negatif dalam penyelenggaraan kebijakan
desentralisasi dan otonomi daerah. ICW (Indonesia Cooruption Watch) pada
semester pertama tahun 2010, merilis data yang menunjukkan bahwa salah satu
penyumbang kerugian negara adalah korupsi keuangan daerah. Korupsi yang terjadi
di daerah tersebut, terutama dilakukan oleh oknum DPRD dan Kepala Daerah. Hingga tahun 2010, dari
435 laporan keuangan pemerintah daerah di Indonesia yang diperiksa oleh Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK), sekitar 24 persen diantaranya disclaimer atau BPK
tidak memberikan pendapat. 72 persen dinilai wajar dengan pengecualian dan
hanya 4 persen dari laporan keuangan pemerintah daerah yang dinilai wajar tanpa
pengecualian. Penyebab dari tingginya angka ketidakwajaran atas laporan
keuangan pemerintah daerah tersebut adalah rendahnya akuntabilitas,
penyimpangan anggaran daerah, rendahnya daya serap anggaran dan rendahnya
disiplin atas pengelolaan anggaran.
Dampak otonomi daerah lainnya adalah terkait dengan rendahnya kemampuan daerah dalam
menyusun regulasi dalam rangka mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya
masing-masing. Orientasi daerah yang menginginkan adanya peningkatan Pendapatan
Asli Daerah melalui peraturan daerah untuk menambah anggaran pembangunan di
daerah ternyata berpotensi menjadi boomerang yang
justru mengurangi tingkat pertumbuhan ekonomi di suatu daerah. Selain itu,
penyusunan regulasi yang tidak sesuai dengan teknik legal drafting juga pada
akhirnya berpotensi membuat peraturan daerah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
lainnya. Sehubungan dengan hal tersebut, Menteri Dalam Negeri telah membatalkan
sejumlah peraturan daerah yang dinilai tidak sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
2.
Dampak Positif
dan Negatif Otonomi Daerah
a. Positif:
1) Setiap daerah bisa memaksimalkan potensi masing-masing.
2)
Pembangunan
untuk daerah yang punya pendapatan tinggi akan lebih cepat berkembang.
3)
Daerah punya
kewenangan untuk mengatur dan memberikan kebijakan tertentu.
4)
Adanya
desentralisasi kekuasaan.
5)
Daerah yang
lebih tau apa yang lebih dibutuhkan di daerah itu, maka diharapkan dengan
otonomi daerah menjadi lebih maju.
6)
Pemerintah
daerah akan lebih mudah mengelola sumber daya alam yang dimilikinya, jika SDA
yang dimiliki daerah telah dikelola secara optimal maka PAD dan pendapatan
masyarakat akan meningkat.
7)
Dengan
diterapkannya sistem otonomi dareah, biaya birokrasi menjadi lebih efisien.
8)
Pemerintah
daerah akan lebih mudah untuk mengembangkan kebudayaan yang dimiliki oleh
daerah tersebut. (Kearifan lokal yg terkandung dalam budaya dan adat istiadat daerah)
b.
Negatif :
1) Daerah yang miskin akan sedikit lambat berkembang.
2)
Tidak adanya
koordinasi dengan daerah tingkat satu karena merasa yang punya otonomi adalah
daerah Kabupaten/Kota.
3)
Kadang-kadang
terjadi kesenjangan sosial karena kewenangan yang di berikan pemerintah pusat
kadang-kadang bukan pada tempatnya.
4)
Karena merasa
melaksanakan kegiatannya sendiri sehingga para pimpinan sering lupa tanggung
jawabnya.
3.
Dampak Positif
dan Negatif Otonomi Daerah dari Segi Ekonomi
a.
Dampak Positif
:
Dari segi
ekonomi banyak sekali keutungan dari penerapan otonomi daerah diantaranya;
pemerintahan daerah memberikan wewenang kepada masyarakat daerah untuk
mengelola sumber daya alam yang dimiliki di masing-masing daerah, dengan
demikian apabila sumber daya alam yang dimiliki telah dikelola secara maksimal
maka pendapatan daerah dan pendapatan masyarakat akan meningkat. Dengan begitu
masyarakat akan mandiri dan berusaha untuk mengembangkan suber daya alam yang
mereka miliki, karena mereka lebih mengetahui hal-hal apa saja yang terbaik
bagi mereka. Pengelolaan sumberdaya alam khususnya sumberdaya kelautan berbasis
komunitas lokal sangatlah tepat diterapkan di indonesia, selain karena efeknya
yang positif juga mengingat komunitas lokal di Indonesia memiliki keterikatan
yang kuat dengan daerahnya sehingga pengelolaan yang dilakukan akan diusahakan
demi kebaikan daerahnya.
b.
Dampak Negatif
:
Namun demikian,
sejak orde lama sampai berakhirnya orde baru, pemerintah pusat begitu dominan
dalam menggerakkan seluruh aktivitas negara. Dominasi pemerintah pusat terhadap
pemerintah daerah telah menghilangkan eksistensi daerah sebagai tatanan
pemerintahan lokal yang memiliki keunikan dinamika sosial budaya tersendiri,
keadaan ini dalam jangka waktu yang panjang mengakibatkan ketergantungan kepada
pemerintah pusat yang pada akhirnya mematikan kreasi dan inisiatif lokal untuk
membangun lokalitasnya. Dan dengan adanya penerapan sistem ini membukan peluang
yang sebesar-besarnya bagi pejabat daerah (pejabat yang tidak benar) untuk
melalukan praktek KKN.
4.
Dampak
Positif dan Negatif Otonomi Daerah dari Segi Sosial Budaya
a.
Dampak Positif
:
Dengan diadakannya desentralisasi akan memperkuat ikatan sosial
budaya pada suatu daerah. Karena dengan diterapkannya desentralisasi ini
pemerintahan daerah akan dengan mudah untuk mengembangkan kebudayaan yang
dimiliki oleh daerah tersebut. Bahkan kebudayaan tersebut dapat dikembangkan
dan di perkenalkan kepada daerah lain. Yang nantinya bisa di jadikan symbol
daerah tersebut.
b.
Dampak Negatif
:
Dapat
menimbulkan kompetisi yang tidak sehat anatar daerah karena setiap ingin
menonjolkan kebudayaan masing-masing dan merasa bahwa kebudayaannya paling
baik.
5.
Dampak Positif
dan Negatif Otonomi Daerah dari Segi Keamanan Politik
a.
Dampak Positif:
Dengan
diadakannya desentralisasi merupakan suatu upaya untuk mempertahankan kesatuan
Negara Indonesia, karena dengan diterapkannya kebijakna ini akan bisa meredam
daerah-daerah yang ingin memisahkan diri dengan NKRI, (daerah-daerah yang
merasa kurang puas dengan sistem atau apa saja yang menyangkut NKRI).
b.
Dampak Negatif
:
Disatu sisi
otonomi daerah berpotensi menyulut konflik antar daerah satu dengan yang lain.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Otonomi
daerah telah memberi pengaruh positip dan negatip terhadap sistem pemerintahan
daerah. Adapun pengaruh positip dan negatip dari otonomi daerah tersebut antara
lain pemilihan kepala daerah langsung, hubungan antara provinsi dengan
kabupaten/kota, hubungan antara eksekutif dan legislatif, distorsi putera
daerah, dan kemunculan raja lokal, serta timbulnya konflik batas wilayah.
”Mengeluarkan suatu kebijakan ibarat
melemparkan batu kedalam air, pasti akan menimbulkan riak, namun riaknya air
akan hilang ketika batu telah sampai kepada dasar atau kedalaman tertentu.”
Begitu juga kebijakan otonomi daerah yang menimbulkan pro dan kontra sebagai
suatu konsekuensi logis yang harus disikapi oleh seluruh masyarakat menuju
proses pendewasaan bangsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar