Senin, 12 Januari 2015

ETIKA PEMILU DAN PELANGGARANYA

Pemilihan umum atau yang lebih dikenal dengan Pemilu adalah pemilihan untuk memilih orang - orang untuk jabatan – jabatan tertentu dalam politik. Pemilu telah serinng kita jalani dan lakukan karena pada dasarnya pemilu ini berlangsung hampir menyeluruh di masyarakat, misal saja pemilihan dalam pemihan desa atau bahkan dalam kegiatan sekolah seperti pemilihan ketua osis kita juga melaksanakan pemilihan umum.
Namun, ibarat pepatah yang mengakatakan “Tak ada gading yang tak retak”, pelaksanaan pemilu mungkin juga tidak terlepas dari kekurangan. Terjadinya pelanggaran dalam pelaksanaan pemilu tidak terhindarkan, entah karena adanya unsur kesengajaan maupun karena kelalaian. Walaupun demikian, dalam upaya menghasilkan wakil rakyat yang demokratis secara substantif dan bukan sekedar prosesi ritual belaka, pemilu telah dilengkapi dengan tersedianya aturan main yang jelas dan adil bagi semua peserta pemilu, adanya penyelenggara yang independen dan tidak diskriminatif, pelaksanaan aturan yang konsisten, dan adanya sanksi yang adil kepada semua pihak.
Secara khusus terhadap pelanggaran yang menyangkut masalah perilaku yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu, seperti KPU, Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS), jajaran sekretariatnya serta Bawaslu, Panwaslu dan jajaran sekretariatnya, yang terkait dengan Kode Etik Pengawas Pemilu. Cara penanganannya telah diatur dalam Peraturan KPU tentang Kode Etik Penyelenggara Pemilu.
Kode etik bertujuan untuk memastikan terciptanya penyelenggara pemilu yang independent, berintegritas dan kredibel, sehingga pemilu bisa terselenggara secara Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur dan Adil. Di dalam kode etik termaktub serangkaian pedoman perilaku penyelenggara pemilu, KPU, Pengawas Pemilu, serta aparat sekretariat KPU dan Panwaslu, di semua tingkatan dalam menjalankan tugas dan kewajibannya.
Secara garis besar prinsip-prinsip dasar kode etik penyelenggara dan pengawas pemilu, meliputi :
1.      Menggunakan kewenangan berdasarkan hukum
2.      Bersikap dan bertindak non-partisan dan imparsial
3.      Bertindak transparan dan akuntabel
4.      Melayani pemilih menggunakan hak pilihnya
5.      Tidak melibatkan diri dalam konflik kepentingan
6.      Bertindak professional; dan administrasi pemilu yang akurat
Adapun rincian implementasi dari prinsip dasar kode etik tersebut bisa kita pelajari dalam Peraturan KPU No.31 Tahun 2008 tentang Kode Etik Penyelenggara Pemilihan Umum. Sehingga diharapkan semua pihak bisa melakukan kontrol dan evaluasi terhadap kinerja penyelenggara pemilu, apakah sudah sesuai dengan kode etik atau malah menyimpang jauh dari kode etik yang ada.
Namun sekali lagi dalam kenyataannya pelanggaranpun masih saja terjadi seperti praktek manipulasi, politik uang, penyalahgunaan wewenang yang manakala merupakan beberapa dari aib politik. Sebagai contoh buntut kekacauan pemilu akibat ketidaknetralan anggota penyelenggara berdampak pada pemberhentian secara tidak terhormat anggota KPU Andi Nurpati tahun 2010 karena terbukti melanggar asas dan kode etik pemilu.
Salah satu terobosan yang patut jadi perhatian kita yakni dengan adanya keberadaan lembaga penegak kode etik pemilu dalam mengawal komitmen pemerintah, DPR, KPU, dan Bawaslu pada pemilukada provinsi DKI Jakarta 2012 yang menjadikannya sebagai barometer pemilu 2014. DKPP juga memberhentikan ketua Panwaslukada Provinsi karena terbukti melanggar kode etik dengan bertindak tidak independen. Artinya sukses tidaknya penyelenggaraan pemilukada Provinsi DKI Jakarta jadi persepsi baik buruknya penyelenggaraan pemilu 2014.
Pada dasarrnya praktek kecurangan hampir terjadi pada setiap tahapan, pemilu menjadi salah satu faktor tumbuhnya praktek KKN, maalah kadang Penyelenggara tidak saja berfungsi sebagai penengah atau sekurang-kurangnya menjadi “wasit” tetapi di beberapa daerah dengan diam-diam merangkap jadi pemain.
UU No. 8 Tahun 2012 sudah lebih rinci mengatur dibandingkan dengan UU No. 10 Tahun 2008. Pelanggaran pemilu yang dimaksud dapat berupa :
1.      Pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu
Adalah pelanggaran terhadap etika penyelenggara Pemilu yang berpedomankan sumpah dan/atau janji sebelum menjalankan tugas sebagai penyelenggara Pemilu. Pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu diselesaikan oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dengan tata cara penyelesaian yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan UU tentang Penyelenggara Pemilu.
2.      Pelanggaran administrasi Pemilu
Adalah pelanggaran yang meliputi tata cara, prosedur, dan mekanisme yang berkaitan dengan administrasi pelaksanaan pemilu dalam setiap tahapan penyelenggaraan Pemilu di luar tindak pidana Pemilu dan pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu. Atas pelanggaran ini Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Panwaslu Kab./Kota mengkaji dan membuat rekomendasi yang kemudian diteruskan kepada KPU, KPU Provinsi, KPU Kab./Kota untuk ditindaklanjuti.
3.      Tindak pidana pemilu
Adalah tindak pidana pelanggaran dan/atau kejahatan terhadap ketentuan tindak pidana Pemilu sebagaimana diatur dalam UU No. 8 Tahun 2012. Laporan tindak Pidana Pemilu diteruskan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia sejak diputuskan oleh Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Panwaslu Kab./Kota, dan/atau Panwaslu Kecamatan.
Proses penyelesaian tindak pidana pemilu diawali dengan penyampaian berkas perkara oleh penyidik kepolisian kepada penuntut umum, kemudian dilanjutkan dengan pelimpahan berkas perkara ke Pengadilan Negeri untuk diperiksa, diadili dan diputus paling lama 7 hari sejak pelimpahan berkas dan terhadap putusan Pengadilan Negeri ini dapat diajukan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi sebagai upaya terakhir dan tidak dapat dilakukan upaya hukum
4.      Sengketa Pemilu
Adalah sengketa yang terjadi antar peserta Pemilu dan sengketa peserta pemilu dengan penyelenggara Pemilu sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU, KPU Provinsi, KPU Kab./Kota. Penyelesaian terhadap sengketa pemilu ini ada pada Bawaslu yang dapat didelegasikan kepada Bawaslu Provinsi, Panwaslu Kab./Kota, Panwas kecamatan, Panitia Pengawas Lapangan (PPL) dan Panitia Pengawas Luar Negeri (PPLN). Bawaslu menyelesaikan sengketa pemilu ini dengan terlebih dahulu menerima dan mengkaji laporan atau temuan kemudian mempertemukan pihak-pihak yang bersengketa untuk mencapai kesepakatan melalui musyawarah dan mufakat.
Apabila tidak tercapai kesepakatan antara pihak yang bersengketa, Bawaslu memberikan alternatif penyelesaian. Adapun Keputusan Bawaslu terhadap sengketa pemilu ini merupakan keputusan terakhir dan mengikat, kecuali yang berkaitan dengan verifikasi partai politik Peserta Pemilu dan Daftar Calon Tetap (DCT) anggota DPR, DPD, DPRD.
Macam-Macam Pelanggaran Pemilu Menurut UU No. 10 Tahun 2008
1.      Pelanggaran Administrasi 
Pasal 248 UU Pemilu mendefinisikan perbuatan yang termasuk dalam pelanggaran
administrasi adalah pelanggaran terhadap ketentuan UU Pemilu yang tidak termasuk dalam ketentuan pidana Pemilu dan ketentuan lain yang diatur  dalam Peraturan KPU. Dengandemikian maka semua jenis pelanggaran, kecuali yang telah ditetapkan sebagai tindak pidana, termasuk dalam kategori pelanggaran administrasi.
Contoh pelanggaran administratif tersebut misalnya; tidak memenuhi syarat-syarat untuk menjadi peserta Pemilu, menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah dan tempatpendidikan untuk berkampanye, tidak melaporkan rekening awal dana kampanye, pemantau Pemilu melanggar kewajiban dan larangan.
2.      Tindak Pidana Pemilu
Rumusan tentang pelanggaran pidana Pemilu diatur dalam Pasal 252 UU No. 10 Tahun 2008 yaitu pelanggaran terhadap ketentuan pidana Pemilu yang diatur dalam Undang-undang ini yang penyelesaiannya dilaksanakan melalui pengadilan dalam lingkungan peradilan umum. 
Jika ditelusuri lebih jauh, setidaknya ada 51 pasal (Pasal 260 s/d 311) yang memuat
ketentuan tentang pidana Pemilu ini, diantaranya: 
·         Sengaja menghilangkan hak pilih orang lain (Pasal 260)
·         Sengaja memberikan keterangan yang tidak benar mengenai diri sendiri atau diri orang lain tentang suatu hal yang diperlukanuntuk pengisian daftar pemilih (Pasal 261)
·         Penetapan jumlah surat suara yang dicetak melebihi jumlah yang ditentukan oleh Undang-undang (Pasal 283)
·         dll.
3.      Perselisihan Hasil Pemilu
Yang dimaksud dengan perselisihan hasil Pemilu menurut pasal 258 Undang-undang
Pemilu adalah perselisihan antara KPU dan peserta Pemilu mengenai penetapan jumlah
perolehan suara hasil Pemilu secara nasional. Perselisihan tentang hasil suara sebagaimana dimaksud hanya terhadap perbedaan penghitungan perolehan hasil suara yang dapat memengaruhi perolehan kursi peserta Pemilu.
Lembaga pengadilan yang berwenang untuk memeriksa dan memutus sengketa hasil pemilihan umum ini sesuai dengan Pasal 24 C ayat (1) UUD 1945 yang kemudian dijabarkan lebih detail lagi melalui UU N0. 24 Tahun 2003 khususnya pasal 10 adalah Mahkamah Konstitusi.  
Setelah Pemilihan Kepala Daerah masuk pada rezim Pemilu, praktis saat ini ada tiga jenis Perselisihan Hasil Pemilu (PHPU), yakni:
a.       PHPU Anggota DPR, DPD, dan DPRD
b.      PHPU Presiden dan Wakil Presiden
c.       PHPU Pemilukada.
Menyikapi dugaan adanya pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu di beberapa daerah, maka kita harus objektif dan proporsional dalam upaya menyelesaikan permasalahan tersebut. Memang langkah yang dinilai bijak adalah bagi mereka yang telah nyata-nyata melanggar kode etik, disarankan untuk segera mengajukan pengunduran diri sebagai penyelenggara pemilu. Namun jika tidak mengundurkan diri, cepat atau lambat pasti ada sanksi kepada yang bersangkutan, baik berupa peringatan lisan, peringatan tertulis, pemberhentian sementara, maupun pemberhentian sebagai penyelenggara pemilu. Hal ini dilakukan agar kredibilitas, harkat dan martabat, serta kehormatan penyelenggara pemilu tetap terjaga.
Peran serta masyarakat dalam memberikan informasi tentang pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu dapat dilakukan dengan cara membuat pengaduan dan/atau laporan adanya pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu yang dilakukan oleh anggota KPU atau jajaran dibawahnya secara tertulis kepada KPU dengan menyebutkan nama dan alamat secara jelas, dan dibuktikan dengan foto copy KTP.
Dalam laporan tersebut juga harus menyebutkan secara jelas kode etik penyelenggara pemilu yang dilanggar, disebutkan pula hari dan tanggal pelanggaran kode etik, nama dan jabatan yang diduga melanggar kode etik, serta bukti-bukti tertulis lainnya yang mendukung tentang terjadinya pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu.
Dalam peraturan KPU No.31 Tahun 2008 tentang Kode Etik Penyelenggara Pemilu telah diatur bahwa pihak yang diberi kewenangan untuk memeriksa pengaduan dan/atau laporan adanya dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu dilakukan oleh Dewan Kehormatan KPU, Dewan Kehormatan KPU Provinsi, dan Dewan Kehormatan Bawaslu.

Tentunya kita berharap hasil dari pemilihan umum legislatif maupun pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden ini akan mampu menghasilkan pemimpin bangsa yang jujur dan amanah dengan proses pemilihan umum yang dilaksanakan oleh orang-orang yang jujur dan amanah pula.

2 komentar:

  1. Mohon di tinjau kembali PEMILIHAN UMUM DI KABUPATEN SERAM BAGIAN BARAT = MALUKU,... sebab ternyata ketua KPU dan Panwas berasal dari 1 daerah dengan calon bupati Nomor urut 4. salah satu pelanggaran yang telah terjadi ialah bahwa KPU meloloskan Paslon No. 4 tanpa melakukan ferivikasi data tentang utang piutang pasangan calon. Sisi keadilan dan kenetralan KPU dan Panwas tidak ada.

    BalasHapus
  2. Disinyalir Pemilu di Kabupaten Seram Bagian Barat telah di seting dan tidak lagi mencerminkan keadilan. (ralat pemberitahuan sebelumnya bukan 1 daerah tapi 1 desa yang sama).

    BalasHapus