Pengertian
Benda
Secara lazim, benda
menurut KUHPerdata disebut sebagai zaak.
Pasal 499 KUHPerdata menyatakan bahwa benda adalah tiap-tiap barang dan
tiap-tiap hak yang dapat dikuasai hak milik. Ilmu pengetahuan hukum juga
memberikan pengertian tentang benda, bahwa yang dimaksud benda adalah segala
sesuatu yang dapat menjadi objek hukum dan barang-barang yang dapat menjadi
milik serta hak setiap orang yang dilindungi oleh hukum.
Para sarjana juga
memberikan pengertian mengenai benda. Berikut ini pengertian benda menurut para
sarjana, diantaranya adalah :[1]
1.
Prof.
Soediman Kartohadiprodjo
Benda adalah semua
barang yang berwujud dan hak (kecuali hak milik)
2.
Prof.
Sri Soedewi MS
Benda pertama-tama
ialah barang yang berwujud yang dapat ditangkap dengan panca indera, tetapi
barang yang tak berwujud termasuk juga benda.
3.
Prof.
Subekti
Benda dalam arti luas
adalah segala sesuatu yang dapat dihaki oleh orang, sedangkan perkataan benda
dalam arti sempit adalah barang yang dapat terlihat saja.
4.
Prof.
L.J. van Apeldoorn
Benda dalam arti
yuridis adalah sesuatu yang merupakan objek hukum.
Sehingga pengertian benda dapat disimpulkan bahwa
benda itu merupakan segala sesuatu yang menjadi objek hukum serta dapat dihaki
oleh setiap orang.
Pengertian
Hukum Benda
Hukum Benda adalah
terjemahan dari istilah bahasa Belanda, yaitu zaakenrecht. Menurut Prof. Soediman Kartohadiprodjo, hukum benda
ialah semua kaidah hukum yang mengatur apa yang diartikan dengan benda dan
mengatur hak-hak atas benda. Menurut Prof. L.J. van Apeldoorn, hukum benda
adalah peraturan mengenai hak-hak kebendaan. Sedangkan menurut Prof. Sri
Soedewi, yang diatur pertama-tama adalah mengenai pengertian dari benda,
kemudian pembedaan macam-macam benda, dan selanjutnya bagian yang terbesar
mengatur mengenai macam-macam hak kebendaan.[2]
Sehingga dapat
disimpulkan bahwa yang dimaksud hukum benda adalah keseluruhan aturan yang
mengatur mengenai benda beserta hak-hak yang melekat atas benda.
Sistem
Pengaturan Hukum Benda
Mengenai sistem dalam Hukum
Perdata, pada dasarnya menganut 2 (dua) macam sistem, yaitu sistem terbuka dan
sistem tertutup. Sistem pengaturan hukum benda itu adalah sistem tertutup.
Artinya, orang tidak dapat mengadakan hak-hak kebendaan baru selain yang sudah
ditetapkan di dalam undang-undang.[3]
Sedangkan sistem terbuka artinya adalah bahwa orang dapat mengadakan perjanjian
mengenai apapun juga, baik yang sudah ada aturannya di dalam KUHPerdata maupun
yang tidak tercantum dalam KUHPerdata. Jenis perjanjian yang dikenal dalam
KUHPerdata adalah perjanjian jual beli, sewa-menyewa, tukar-menukar,
pinjam-meminjam uang, perjanjian kerja, dan pemberian kuasa.[4]
Sedangkan perjanjian yang tidak diatur dalam KUHPerdata misalnya seperti
perjanjian franchise, leasing, titip jual, investasi, dan masih banyak lagi.
Mengenai perjanjian yang menganut sistem
terbuka ini, setiap orang bebas untuk menentukan perjanjian apapun bentuk dan
namanya. Tentunya kebebasan itu sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan, kesusilaan, dan ketertiban umum.
Perubahan
dalam Buku II KUHperdata
Ketika membicarakan
Hukum Benda sesuai yang diatur dalam Buku II KUHPerdata hendaknya juga dengan
melihat ketentuan dalam Undang-undang Pokok Agraria, yaitu UU Nomor 5 Tahun
1960 tentang UUPA yang mulai berlaku sejak tanggal 24 September 1960. Dengan
berlakunya undang-undang tersebut memberikan pengaruh perubahan besar terhadap
berlakunya Buku II KUHPerdata dan juga berlakunya hukum tanah di Indonesia.[5]
Perubahan besar
terhadap berlakunya Buku II KUHPerdata terjadi karena berdasarkan ketentuan
UUPA yaitu sebagaimana tercantum dalam dictum dari Undang-undang tersebut
menentukan bahwa mencabut ketentuan dalam Buku II KUHPerdata Indonesia
sepanjang mengenai bumi, air, serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
kecuali ketentuan-ketentuan mengenai hipotik.[6]
Sehingga pasal-pasal
yang tidak berlaku lagi adalah :[7]
1.
Pasal-pasal
tentang benda tak bergerak yang melulu berhubungan dengan hak-hak mengenai
tanah.
2.
Pasal-pasal
tentang cara memperoleh hak milik melulu mengenai tanah.
3.
Pasal-pasal
mengenai penyerahan benda-benda tak bergerak.
4.
Pasal-pasal
tentang kerja Rodi (Pasal 673)
5.
Pasal-pasal
tentang hak dan kewajiban pemilik pekarangan bertetangga (Pasal 625-672)
6.
Pasal-pasal
tentang pengabdian pekarangan (Pasal 674-710)
7.
Pasal-pasal
tentang hak postal (Pasal 711-719)
8.
Pasal-pasal
tentang Hak Erfpacht (Pasal 720-736)
9.
Pasal-pasal
tentang bunga tanah dan hasil sepersepuluh (Pasal 737-755)
Klasifikasi
Benda
Undang-undang membagi
benda-benda dalam beberapa macam :[8]
1.
Benda
yang dapat diganti (contoh : uang) dan yang tidak dapat diganti (contoh :
seekor kuda);
2.
Benda
yang dapat diperdagangkan (praktis tiap barang dapat diperdagangkan) dan yang
tidak dapat diperdagangkan atau “di luar perdagangan” (contoh : jalan-jalan dan
lapangan umum);
3.
Benda
yang dapat dibagi (contoh : beras) dan benda yang tidak dapat dibagi (contoh :
seekor kuda)
4.
Benda
yang bergerak (contoh : perabot rumah tangga) dan yang tak bergerak (contoh :
tanah)
Dari
pembagian-pembagian yang tersebutkan di atas tersebut, yang paling penting
ialah yang disebutkan terakhir, yaitu pembagian “benda bergerak” dan “benda tak
bergerak”, sebab pembagian ini mempunyai akibat-akibat yang sangat penting
dalam hukum.[9]
Pembedaan antara benda
bergerak dan benda tak bergerak ini penting artinya. Pentingnya ini berhubungan
dengan 4 (empat) hal :[10]
1.
Bezit
Mengenai
bezit, misalnya, terhadap barang bergerak berlaku azas seperti yang tercantum
dalam Pasal 1977 KUHPerdata, yaitu bezitter dari barang bergerak adalah sebagai
eigenaar dari barang tersebut.
Sedangkan kalau mengenai barang tak bergerak tidak demikian halnya.
2.
Levering
(Penyerahan)
Mengenai
levering terhadap benda bergerak itu dapat dilakukan dengan penyerahan nyata,
sedangkan terhadap benda tak bergerak dilakukan dengan balik nama.
3.
Verjaring
(daluarsa)
Terhadap
benda-benda bergerak itu tidak dikenal verjaring sebab bezit adalah sama dengan eigendom
atas benda bergerak itu, sedang untuk benda-benda tak bergerak mengenal adanya verjaring.
4.
Bezwaring
(pembebanan)
Terhadap
benda bergerak harus dilakukan dengan pand sedang terhadap benda tak bergerak
harus dilakukan dengan hipotik.
Ada
satu lagi terkait hal penting adanya pembedaan antara benda bergerak dan benda
tak bergerak, yaitu Beslag
(penyitaan).[11]
Beslag ini ada 2 (dua) macam yaitu Revindicatoir Beslag, untuk benda
bergerak dan Conservatoir Beslag,
untuk benda tak bergerak.
Juga ada
istilah Executoir Beslag, yaitu
penyitaan yang dilakukan untuk melaksanakan putusan pengadilan, haruslah
terlebih dahulu dilakukan terhadap benda-benda bergerak. Apabila benda-benda
bergerak dinilai harganya tidak mencukupi untuk membayar utang debitur kepada
kreditur, barulah executoir beslag dilakukan
terhadap benda-benda tak bergerak.[12]
Hak-hak
Kebendaan
Menurut Prof. Subekti,
hak kebendaan adalah suatu hak yang memberikan kekuasaan langsung atas suatu
benda yang dapat dipertahankan terhadap tiap orang. Ilmu hukum dan
perundang-undangan telah lama membagi segala hak-hak manusia atas hak-hak
kebendaan dan hak-hak perseorangan. Suatu hak kebendaan memberikan kekuasaan
atas suatu benda, sedangkan suatu hak perseorangan memberikan suatu tuntutan
atau penagihan terhadap seseorang. Suatu hak kebendaan dapat dipertahankan
terhadap tiap orang yang melanggar hak itu, sedangkan suatu hak perseorangan
hanyalah dapat dipertahankan terhadap sementara orang tertentu saja atau
terhadap sesuatu pihak.[13]
Sedangkan menurut
Prof. Soedewi MS, hak kebendaan adalah hak mutlak atas sesuatu benda dimana hak
itu memberikan kekuasaan langsung atas sesuatu benda dan dapat dipertahankan
terhadap siapapun juga. Jadi hak kebendaan itu adalah hak mutlak (hak absolute)
sebagai lawan dari hak nisbi atau hak relatif.[14]
Hak mutlak adalah hak memiliki suatu benda-benda tertentu, misal hak atas benda
bergerak dan tidak bergerak. Sedangkan hak relatif adalah hak untuk menuntut
adanya suatu hak yang timbul karena adanya suatu hubungan hukum, misalnya utang
piutang, sewa-menyewa, atau pinjam-meminjam.
Klasifikasi
Hak-hak Kebendaan
Telah dijelaskan di
muka bahwa setelah berlakunya UUPA, maka ketentuan dalam Buku II KUHPerdata
sepanjang mengenai hak-hak yang berkenaan dengan bumi, air, dan segala kekayaan
alam yang ada di dalamnya menjadi tidak berlaku lagi, kecuali
ketentuan-ketentuan mengenai hipotik. Sehingga dalam kita membicarakan
macam-macam hak-hak kebendaan dalam Buku II KUHPerdata harus mengingat
berlakunya UUPA, dan harus mengetahui mana hak-hak kebendaan yang masih ada dan
mana hak kebendaan yang sudah dicabut berlakunya.[15]
Dengan demikian,
hak-hak kebendaan yang diatur dalam Buku II KUHPerdata (yang sudah disesuaikan
dengan berlakunya UUPA Nomor 5 Tahun 1960) dapat dibedakan atas dua macam :[16]
1.
Hak
kebendaan yang bersifat memberi kenikmatan (zakelijk
genotsrecht). Hak ini meliputi :
a.
Hak
kebendaan yang memberikan kenikmatan atas bendanya sendiri, misalnya : hak eigendom, dan hak bezit.
b.
Hak
kebendaan yang memberikan kenikmatan atas benda orang lain, misalnya : hak postal, hak erfpacht, hak memungut hasil, hak pakai, dan hak mendiami.
2.
Hak
kebendaan yang bersifat memberi jaminan (zakelijk
zakerheidsrecht). Misalnya: hak gadai (pand)
dan hipotik. Di samping itu ada pula hak-hak yang diatur dalam Buku II
KUHPerdata, tetapi bukan merupakan hak kebendaan, yaitu privilege, dan hak retentie.
Namun hak-hak ini dapat digolongkan dalam hak kebendaan.
Hak kebendaan yang ada dalam
KUHPerdata adalah :
1.
Hak
Bezit
Kedudukan seseorang
yang menguasai suatu kebendaan, baik dengan diri sendiri maupun dengan
perantaraan orang lain, dan yang mempertahankan atau menikmatinya selaku orang
yang memiliki kebendaan itu. (Pasal 529 KUHPerdata)
2.
Hak
Eigendom (Hak Milik)
Hak untuk menikmati
kegunaan sesuatu kebendaan dengan leluasa, dan untuk berbuat bebas terhadap
kebendaan itu dengan kedaulatan sepenuhnya, asal tidak bertentangan dengan
undang-undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh suatu kekuasaan yang
berhak menetapkannya, dan tidak mengganggu hak-hak orang lain (Pasal 570
KUHPerdata)
3.
Hak
Servituut (Hak Pengabdian Pekarangan)
Suatu beban yang
diberikan kepada pekarangan milik orang yang satu, untuk digunakan bagi dan
demi kemanfaatan pekarangan milik orang yang lain (Pasal 674 KUHPerdata)
4.
Hak
Opstal
Hak untuk memiliki
bangunan-bangunan atau tanaman-tanaman di atas tanahnya orang lain. Hak ini
juga disebut dengan hak numpang karang, yaitu suatu hak kebendaan untuk
mempunyai gedung-gedung, bangunan-bangunan, dan penanaman diatas pekarangan
orang lain. Sehingga hak postal dapat disimpulkan sebagai hak untuk memiliki
bangunan-bangunan atau tanaman di atas tanah orang lain. (Pasal 711 KUHPerdata)
5.
Hak
Erfpacht
Suatu hak kebendaan
untuk menikmati sepenuhnya akan kegunaan suatu barang tak bergerak milik orang
lain, dengan kewajiban akan membayar ganti rugi upeti tahunan kepada si pemilik
sebagai pengakuan akan kepemilikannya, baik berupa uang, baik berupa hasil atau
pendapatan.(Pasal 720 ayat (1))
Dapat juga diartikan
sebagai Suatu hak kebendaan untuk menarik penghasilan seluas-luasnya untuk
waktu yang lama dari sebidang tanah milik orang lain dengan kewajiban membayar
sejumlah uang atau penghasilan tiap-tiap tahun, yang dinamakan “pacht”. (Pasal
720)
6.
Hak
Pakai Hasil
Suatu hak kebendaan,
dengan mana seorang diperbolehkan menarik segala hasil dari sesuatu kebendaan
milik orang lain, seolah-olah dia sendiri pemilik kebendaan itu, dengan
kewajiban memeliharanya sebaik-baiknya. (Pasal 756)
7.
Hak
Gadai
Suatu hak kebendaan
yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan
kepadanya oleh seorang berutang atau oleh seorang lain atas namanya, dan yang
memberikan kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari
barang tersebut secara didahulukan daripada orang-orang yang berpiutang
lainnya. (Pasal 1150)
8.
Hak
Hipotik
Suatu hak kebendaan
atas benda-bendatak bergerak, untuk mengambil pengantian daripadanya bagi
pelunasan suatu perikatan. (Pasal 1162)
9.
Hak
Privilege
Banyak yang tidak
setuju ini diatur karena hanya hak untuk mendahulukan.
10. Hak Reklame
Hak yang diberikan kepada si
penjual untuk meminta kembali barangnya yang telah diterima oleh si pembeli
setelah pembeli membayar tunai. (Pasal 1145-1146)
Hak kebendaan menurut
Undang-undang Pokok Agraria :
1.
Hak
Milik
Hak
turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah,
dengan mengingat semua hak atas tanah mempunyai fungsi social (Pasal 20 UUPA)
2.
Hak
Guna Usaha
Hak
untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara, dalam jangka waktu
paling lama 25 tahun, guna perusahaan pertanian, perikanan, atau peternakan.
(Pasal 28)
3.
Hak
Guna Bangunan
Hak
untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya
sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun (Pasal 35)
4.
Hak
Pakai
Hak
untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung
oleh negara atau tanah milik orang lain, yang member wewenang dan kewajiban
yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang
memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan
perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal
tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan uu ini. (Pasal 41)
5.
Hak
Sewa
Hak
seseorang atau suatu badan hukum mempergunakan tanah milik orang lain atau
keperluan bangunan, dengan membayar kepada pemiliknya sejumlah uang sewa.
(Pasal 44)
Hak Kebendaan dalam KUHPerdata :
1.
Hak
Bezit
Bezit adalah suatu
keadaan lahir, dimana seorang menguasai suatu benda seolah-olah kepunyaannya
sendiri, yang oleh hukum dilindungi, dengan tidak mempersoalkan hak milik atas
benda itu sebenarnya ada pada siapa.[17]
Syarat-syarat adanya
bezit :[18]
a.
Adanya
Corpus, yaitu harus ada hubungan
antara orang yang bersangkutan dengan bendanya
b.
Adanya
Animus, yaitu hubungan antara orang
dengan benda itu harus dikehendaki oleh orang tersebut.
Sehingga,
untuk adanya bezit, harus ada dua unsur, yaitu kekuasaan atas
suatu benda dan kemauan untuk memiliki benda tersebut. Dalam hal ini, bezit harus dibedakan dengan “detentie”, dimana seseorang menguasai suatu benda berdasarkan
hubungan hukum tertentu dengan orang lain (pemilik benda itu). Jadi, seorang “detentor” tidak mempunyai kemauan untuk
memiliki benda itu bagi dirinya sendiri.[19]
Cara memperoleh bezit
:[20]
Menurut ketentuan
Pasal 538 KUHPerdata, bezit (kedudukan
berkuasa) atas sesuatu kebendaan diperoleh dengan cara melakukan perbuatan
menarik kebendaan itu dalam kekuasaannya sendiri. Menurut Pasal 540 KUHPerdata,
cara-cara memperoleh bezit dapat
dilakukan dengan cara :
1.
Occupatio (pengambilan benda)
Memperoleh
bezit tanpa bantuan dari orang yang
membezit terlebih dahulu. Jadi, bezit
diperoleh karena perbuatannya sendiri yang mengambil barang secara langsung.
2.
Traditio (pengoperan)
Memperoleh
bezit dengan bantuan dari orang yang
membezit terlebih dahulu. Jadi, bezit diperoleh karena adanya penyerahan dari
orang lain yang sudah menguasainya terlebih dahulu.
3.
Warisan
Menurut
Pasal 541 KUHPerdata, bahwa segala sesuatu bezit
yang merupakan bezit dari seorang
yang telah meninggal dunia beralih kepada ahli warisnya dengan segala sifat dan
cacat-cacatnya. Menurut Pasal 593 KUHPerdata, orang yang sakit ingatan tidak
memperoleh bezit, tetapi anak yang
belum dewasa dan perempuan yang telah menikah dapat memperoleh bezit.
Hapusnya bezit
Pada dasarnya orang
bisa kehilangan bezit apabila :
a.
Kekuasaan
atas benda itu berpindah pada orang lain, baik secara diserahkan maupun karena
diambil orang lain.
b.
Benda
yang dikuasainya, nyata telah ditinggalkan.
2.
Hak
Eigendom
Pasal 570 KUHPerdata
menyatakan bahwa eigendom adalah hak
untuk menikmati kegunaan sesuatu benda dengan leluasa, dan untuk berbuat bebas
terhadap kebendaan itu dengan kedaulatan sepenuhnya, asal tidak bertentangan
dengan undang-undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh suatu kekuasaan
yang berhak menetapkannya, dan tidak mengganggu hak-hak orang lain.
Eigendom
adalah hak paling sempurna atas suatu benda. Seorang
yang mempunyai hak eigendom (milik)
atas suatu benda dapat berbuat apa saja dengan benda itu (menjual,
menggadaikan, memberikan, bahkan merusak), asal saja ia tidak melanggar
undang-undang atau hak orang lain.[21]
Ciri-ciri Hak Milik :[22]
Prof. Sri Soedewi
Masjchoen Sofwan, mengatakan bahwa yang termasuk ciri-ciri dari hak milik itu
adalah :
a.
Hak
milik itu selalu merupakan hak induk terhadap hak-hak kebendaan yang lain.
Sedangkan hak-hak kebendaan yang lainnya yang bersifat terbatas itu
berkedudukan sebagai hak anak terhadap hak milik.
b.
Hak
milik itu ditinjau dari kuantitetnya merupakan hak yang selengkap-lengkapnya.
c.
Hak
milik itu sifatnya tetap. Artinya, tidak akan lenyap terhadap hak kebendaan
yang lain. Sedangkan hak kebendaan yang lain dapat lenyap jika menghadapi hak
milik.
d.
Hak
milik itu mengandung inti (benih) dari semua hak kebendaan yang lain. Sedangkan
hak kebendaan yang lain itu hanya merupakan onderdeel
(bagian) saja dari hak milik.
Pasal
574 KUHPerdata menyatakan bahwa tiap pemilik sesuatu benda, berhak menuntut
kembali bendanya dari siapa saja yang menguasainya berdasarkan hak miliknya
itu.
Cara Memperoleh Hak
Milik
Pasal 584 KUHPerdata,
hak eigendom dapat diperoleh dengan cara :[23]
a.
Pendakuan
(toeeigening)
Ini
duatur dalam Pasal 585 KUHPerdata, yaitu tentang pendakuan dari barang-barang
yang bergerak yang belum ada pemiliknya/tidak ada pemiliknya (Res Nullius).
Pasal 586 KUHPerdata pendakuan dari binatang-binatang liar di hutan, pendakuan
dari ikan-ikan di sungai.
b.
Ikutan
(natrekking)
Ini
diatur dalam Pasal 588-605 KUHPerdata, yaitu memperoleh benda itu karena benda
itu mengikuti benda yang lain. Misalnya, hak atas tanam-tanaman, itu mengikuti
tanah yang sudah menjadi hak milik dari orang yang menanami itu.
c.
Lampaunya
Waktu (verjaring)
Ini
diatur dalam Pasal 610 KUHPerdata dan diatur lebih lanjut dalam Buku IV
KUHPerdata. Cara memperoleh hak milik dengan verjaring ini ada dua macam, yaitu :
1.
Acquisitive Verjaring , yaitu lewat waktu
sebagai alat untuk memperoleh hak-hak kebendaan (diantaranya hak milik)
2.
Extinctive Verjaring, yaitu lewat waktu
sebagai alat untuk dibebaskan dari suatu perutangan.
Jadi memperoleh hak
milik dengan verjaring disini yang dimaksudkan adalah dengan acquisitive verjaring. Arti pentingnya
adalah sebagai pembuktian, yaitu untuk dipakai sebagai bukti bahwa orang adalah
pemilik, sehingga perlu kepastian hukum.
Cara memperoleh hak
milik dengan lewat waktu (acquisitive
verjaring) adalah :
1.
Harus
ada bezit
2.
Bezitnya
harus te goeder trouw
3.
Membezitnya
itu harus terus menerus, tak terputus.
4.
Membezitnya
harus tidak terganggu.
5.
Membezitnya
harus diketahui oleh umum.
6.
Membezitnya
harus selama waktu 20 tahun atau 30 tahun
7.
20
tahun dalam hal ada alas hak yang sah, 30 tahun dalam hal tidak ada alas hak
yang sah.
d.
Penyerahan
(levering)
Penyerahan
adalah perbuatan menyerahkan suatu benda oleh pemilik atau atas namanya kepada
orang lain, sehingga orang lain ini memperoleh hak milik atas benda itu.
Menurut
Pasal 612 KUHPerdata, untuk benda bergerak yang berwujud, penyerahan dapat
dilakukan dengan cara :[24]
1.
Penyerahan
Nyata
Penyerahan
nyata dilakukan dari tangan ke tangan
2.
Penyerahan
kunci dari tempat dimana benda itu berada
Penyerahan
kunci dapat diambil contoh misalnya adalah dalam rangka penyerahan gula/beras
dalam gudang, maka penyerahan nya cukup dengan menyerahkan kunci gudang.
Menurut Pasal 612 ayat
(2) KUHPerdata adakalanya penyerahan terhadap benda-benda bergerak yang
berwujud itu pada peralihan hak tak perlu dilakukan, yaitu dalam hal benda yang
akan diserahkan itu telah berada dalam tangan orang yang hendak menerimanya
berdasarkan atas hak yang lain. Di situ terjadi berbarengan du saat. Menganai
hal ini kita mengenai 2 macam figur penyerahan yang disebut :[25]
1.
Traditio Brevi Manu (penyerahan dengan
tangan pendek)
Misalnya
A meminjam buku B. B sebagai eigenaar buku
itu kemudian membutuhkan uang lalu menjual buku ke A. Dengan demikian levering tidak diperlukan.
2.
Constitutum
Pessessorium
(penyerahan dengan melanjutkan penguasaan atas bendanya)
Misalnya
A pemilik dari sebuah buku, karena membutuhkan uang, maka menjual bukunya
kepada A. akan tetapi karena A masih membutuhkan untuk mempelajarinya, maka A
kemudian meminjam buku tersebut dari B. A yang tadinya sebagai pemilik berubah
menjadi peminjam.
Sedangkan
penyerahan atas benda bergerak yang tak berwujud diantaranya adalah:[26]
1.
Piutang
atas nama
Atas
hal tersebut maka penyerahannya dilakukan dengan cessie, yaitu dengan cara membuat akta otentik atau akta di bawah
tangan (Pasal 613 ayat (1) KUHPerdata)
2.
Piutang
atas bawa
Atas
hal tersebut, maka penyerahannya dilakukan dengan penyerahan nyata (Pasal 613
ayat (3) KUHPerdata.
3.
Penyerahan
dari piutang atas pengganti
Atas
hal tersebut, maka penyerahannya dilakukan dengan penyerahan surat disertai
endosemen (Pasal 613 ayat (3) KUHPerdata)
Setelah
membicarakan mengenai penyerahan terhadap benda bergerak, maka sekarang kita
membicarakan penyerahan terhadap benda tak bergerak.
Penyerahan
benda tak bergerak dilakukan dengan balik nama. Pemindahan hak milik atas benda
yang tak bergerak ini tidak cukup dilaksanakan dengan pengoperan kekuasaan
belaka, melainkan harus pula dibuat suatu surat penyerahan (akte van transport) yang harus dikutip
dalam daftar eigendom. Sebaliknya terhadap benda yang bergerak, levering
lazimnya berupa penyerahan dari tangan ke tangan.[27]
Untuk
sahnya penyerahan itu, maka harus memenuhi syarat-syarat tertentu, yaitu :
1.
Harus
ada perjanjian yang zakelijk
2.
Harus
ada titel (alas hak)
3.
Harus
dilakukan oleh orang yang berwenang menguasai benda-benda tadi (orang yang beschikkingsbevoegd)
4.
Harus
ada penyerahan nyata.
Selain hak milik bisa
didapatkan, maka hak milik pun juga bisa hapus/dihapuskan. Pada dasarnya,
seseorang dapat kehilangan hak atas miliknya apabila :
1.
Seseorang
memperoleh hak milik itu melalui salah satu cara untuk memperoleh hak milik.
2.
Binasanya
benda itu.
3.
Pemilik
hak milik (eigenaar) melepaskan benda
itu.
Hak Servituut (erfdienstbaarheid)
Menurut Pasal 674 ayat (1) KUHPerdata Hak Servituut
disebut juga dengan pengabdian pekarangan, yaitu suatu beban yang diberikan
kepada pekarangan milik orang yang satu, untuk digunakan bagi dan demi
kemanfaatan pekarangan milik orang lain.
Prof. Subekti mengatakan bahwa Hak Servituut adalah
suatu beban yang diletakkan di atas suatu pekarangan untuk keperluan suatu
pekarangan lain yang berbatasan. Misalnya pemilik dari pekarangan A harus
mengizinkan orang-orang yang tinggal di pekarangan B setiap waktu melalui
pekarangan A, atau air yang dibuang dari pekarangan B dialirkan melewati
pekarangan A.[28]
Hak pekarangan
(servituut) baru dianggap sah, apabila telah memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut:[29]
1.
Harus
ada dua halaman, yang letaknya saling berdekatan, dibangun atau tidak dibangun
dan yang dimiliki oleh berbagai pihak.
2.
Kemanfaatan
dari hak pekarangan itu harus dapat dinikmati atau dapat berguna bagi berbagai
pihak yang memiliki halaman tadi.
3.
Hak
pekarangan harus bertujuan untuk meninggalkan kemanfaatan dari halaman
penguasa.
4.
Beban
yang diberatkan itu harus senantiasa bersifat menanggung sesuatu.
5.
Kewajiban-kewajiban
yang timbul dalam hak pekarangan itu hanya dapat ada dalam hal membolehkan
sesuatu atau tidak membolehkan sesuatu.
Hak Opstal
Pasal 711 KUHPerdata
adalah suatu hak untuk memiliki bangunan-bangunan atau tanaman-tanaman di atas
tanahnya orang lain. Hak opstal disebut juga hak numpang karang, yaitu adalah
suatu hak kebendaan untuk mempunyai gedung-gedung, bangunan-bangunan dan
penanaman diatas pekarangan orang lain. Sehingga dapat disimpulkan bahwa hak
opstal adalah hak untuk memiliki bangunan-bangunan atau tanaman di atas tanah
orang lain.[30]
Hak opstal dapat
dipindahkan pada orang lain dan dapat juga dipakai sebagai jaminan utang
(hipotik).[31]
Hak postal diperoleh karena perbuatan perdata (Pasal 713 KUHPerdata).
Mengenai hapusnya hak
opstal juga dapat terjadi. Hal ini sesuai yang diatur dalam Pasal 718-719
KUHPerdata, yaitu :
1.
Hak
opstal jatuh ke dalam satu tangan
2.
Musnahnya
pekarangan
3.
Selama
30 tahun tidak dipergunakan
4.
Waktu
yang diperjanjikan telah lampau
5.
Diakhiri
oleh pemilik tanah. Pengakhiran ini hanya dapat dilakukan setelah hak tersebut
paling sedikit sudah dipergunakan selama 30 tahun, dan sebelumnya harus
didahului pemberitahuan paling sedikit 1 tahun.
Hak
Erfpacht
Pasal 720 KUHPerdata
menyebutkan bahwa Hak Erfpacht adalah hak kebendaan untuk menarik penghasilan
seluas-luasnya untuk waktu yang lama dari sebidang tanah milik orang lain
dengan kewajiban membayar sejumlah uang atau penghasilan tiap-tiap tahun yang
dinamakan “pacht”
Hak erfpacht dapat
juga diartikan sebagai hak kebendaan untuk menikmati sepenuhnya akan kegunaan
suatu barang tak bergerak milik orang lain, dengan kewajiban akan membayar
upeti tahunan kepada si pemilik sebagai pengakuan akan kepemilikannya, baik
berupa uang, hasil atau pendapatan.[32]
Sehingga dapat
disimpulkan bahwa hak erfpacht (hak guna usaha) adalah hak kebendaan untuk
menikmati sepenuhnya untuk waktu yang lama dari sebidang tanah milik orang lain,
dengan kewajiban membayar sejumlah uang atau penghasilan setiap tahun.[33] Hak
erfpacht ini dapat juga dijual atau dipakai sebagai jaminan (hipotik).
Hak
Pakai Hasil (Vruchtgebruik)
Menurut Pasal 756
KUHPerdata, Hak Pakai Hasil adalah suatu hak kebendaan untuk menarik
penghasilan dari suatu benda orang lain, seolah-olah benda itu kepunyaannya
sendiri, dengan kewajiban menjaga supaya benda tersebut tetap dalam keadaannya
semula.
Prof. Sri Soedewi
memberikan definisi bahwa hak pakai hasil adalah suatu hak untuk memungut hasil
dari barang orang lain seolah-olah seperti eigenaar
dengan kewajiban untuk memelihara barang itu supaya tetap adanya.[34]
Hak pakai hasil juga
dapat diartikan sebagai suatu hak kebendaan, dengan mana seorang diperbolehkan
menarik segala hasil dari sesuatu kebendaan milik orang lain, seolah-olah dia
sendiri pemiliknya, dengan kewajiban memeliharanya dengan sebaik-baiknya.
Sehingga pengertian hak pakai hasil ini tidak hanya memberikan hak untuk
menarik saja, melainkan juga hak untuk memakai benda itu.[35]
Jadi, menurut
undang-undang, hak pakai hasil ini hanya dapat diberikan atas benda-benda yang
tidak akan hilang atau menjadi berkurang karena pemakaian, yaitu benda-benda
yang tak dapat diganti. Walaupun dalam praktek muncul suatu hak pakai hasil
atas barang-barang yang dapat diganti, misalnya atas suatu modal. Hal
terpenting dari hak ini adalah bahwa hak pakai hasil selalu diberikan kepada
seseorang secara pribadi, sehingga kemudian berakhir apabila penerima hak
meninggal dunia.[36]
Kewajiban-kewajiban
dari orang yang mempunyai hak pakai hasil adalah sebagai berikut (Pasal 783-784
KUHPerdata :
1.
Membuat
catatan/daftar pada waktu ia menerima haknya.
2.
Menanggung
segala biaya pemeliharaan dan perbaikan yang biasa.
3.
Memelihara
benda itu sebaik-baiknya dan menyerahkannya dalam keadaan yang baik apabila hak
itu berakhir.
Hak pakai hasil ini
biasanya dipergunakan untuk memberi penghasilan (tunjangan) pada seseorang
selama hidupnya. Misalnya dalam suatu testamen seorang menentukan bahwa harta
bendanya diwariskan kepada anak-anaknya, tetapi si isteri selama hidupnya,
mendapat hak pakai hasil atas kekayaan itu. Hak ini begitu luasnya, sehingga
sang pemilik hanya tinggal nama dan tidak ikut menikmati kenikmatan tersebut.[37]
Hak
Gadai
Pasal 1150 KUHPerdata,
yang dimaksud Hak Gadai adalah suatu hak kebendaan yang diperoleh seorang
berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang
berutang atau oleh seorang lain atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada
si berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara
didahulukan daripada orang-orang berpiutang lainnya.
Prof. Sri Soedewi
memberikan definisi mengenai Hak Gadai adalah hak yang diperoleh kreditur atas
suatu barang bergerak, yang diberikan kepadanya oleh debitur atau orang lain
atas namanya untuk menjamin suatu utang, dan yang memberikan kewenangan kepada
kreditur untuk mendapat pelunasan dari barang tersebut lebih dahulu dari
kreditur-kreditur lainnya, terkecuali biaya-biaya untuk melelang barang
tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk memelihara benda itu.[38]
Prof. Subekti
menyatakan bahwa Hak Gadai adalah suatu hak kebendaan atas suatu benda yang
bergerak kepunyaan orang lain, yang semata-mata diperjanjikan dengan
menyerahkan bezit atas benda tersebut, dengan tujuan untuk mengambil pelunasan
suatu hutang dari pendapatan penjualan benda itu, lebih dahulu dari
penagih-penagih lainnya.[39]
Hukum Romawi juga
mengatur adanya hak semacam hak gadai yang dinamakan dengan fiducia. Fiducia berupa suatu pemindahan
hak milik dengan perjanjian bahwa benda itu akan dikembalikan apabila si
berhutang sudah membayar hutangnya. Selama hutang belum dibayar, orang yang
menghutangkan menjadi pemilik benda yang menjadi tanggungan itu. Sebagai
pemilik, dengan sendirinya ia berhak menyuruh memakai atau menyewakan benda itu
pada si berhutang, sehingga si berhutang tetap menguasai bendanya.[40]
Sifat
Hak Gadai
Hak Gadai ini bersifat
accesoir, yaitu merupakan hak yang
tergantung dari adanya suatu perjanjian pokok.[41]
Dapat juga dikatakan sebagai merupakan tambahan saja dari perjanjian pokok yang
berupa perjanjian pinjaman uang. Ini dimaksudkan untuk menjaga agar jangan
sampai si berhutang itu lalai membayar kembali hutangnya.[42]
Sifat hak gadai juga
tidak dapat dibagi-bagi. Artinya, sebagian hak gadai itu tidak menjadi hapus
dengan dibayarnya sebagian dari hutang.[43]
Gadai tetap melekat atas seluruh benda.
Syarat
Timbulnya Hak Gadai
Hak Gadai lahir dengan
penyerahan kekuasaan atas barang yang dijadikan tanggungan pada pemegang gadai.
Hak atas barang gadai ini dapat pula ditaruh di bawah kekuasaan seorang pihak
ketiga atas persetujuan atas persetujuan kedua belah pihak yang berkepentingan
(Pasal 1152 ayat (1) KUHPerdata). Selanjutnya menurut ayat (2), gadai tidak sah
jika bendanya dibiarkan tetap berada dalam kekuasaan si pemberi gadai (si
berutang).[44]
Objek
Hak Gadai
Objek Hak Gadai adalah
semua benda bergerak, baik benda bergerak yang berwujud maupun benda bergerak
yang tak berwujud.
Hak Pemegang Gadai:
1.
Pemegang
Gadai berhak untuk menggadaikan lagi barang gadai itu, apabila hak itu sudah
menjadi kebiasaan, seperti halnya dengan penggadaian surat-surat sero atau
obligasi (Pasal 1155)
2.
Apabila
pemberi gadai melakukan wanprestasi, maka pemegang gadai berhak untuk menjual
barang yang digadaikan itu dan kemudian dapat mengambil pelunasan utang dari
hasil penjualan barang itu. Penjualan barang itu bisa dilakukan sendiri ataupun
dengan perantaraan Hakim (Pasal 1156 ayat (1))
3.
Pemegang
gadai berhak untuk mendapatkan ganti biaya-biaya yang telah ia keluarkan untuk
mnyelamatkan barang yang digadaikan itu. (Pasal 1157 ayat (2))
4.
Pemegang
gadai berhak untuk menahan barang yang digadaikan sampai pada waktu utang
dilunasi, baik yang mengenai jumlah pokok maupun bunga. (Pasal 1159 ayat (1))
Kewajiban Pemegang Gadai
1.
Pemegang
gadai wajib memberitahukan pada orang yang berutang apabila ia hendak menjual
barang gadainya (Pasal 1156 ayat (2))
2.
Pemegang
gadai bertanggung jawab atas hilangnya atau merosotnya harga barang yang
digadaikan, jika itu semua terjadi karena kelalaiannya (Pasal 1157 ayat (1))
3.
Pemegang
gadai harus memberikan perhitungan tentang pendapatan penjualan itu dan setelah
ia mengambil pelunasan hutangnya, maka ia harus menyerahkan kelebihannya pada
si berutang (Pasal 1158)
4.
Pemegang
gadai harus mengembalikan barang gadai, apabila utang pokok, bunga dan biaya
untuk menyelamatkan barang gadai telah dibayar lunas. (Pasal 1159)
Hapusnya Gadai:[45]
1.
Seluruh
utang sudah dibayar lunas
2.
Barang
gadai hilang/musnah
3.
Barang
gadai ke luar dari kekuasaan si penerima gadai
4.
Barang
gadai dilepaskan secara sukarela
Hak
Hipotik
Pasal 1162 KUHPerdata,
hipotik adalah suatu hak kebendaan atas benda-benda tak bergerak, untuk mengambil
penggantian daripadanya bagi pelunasan suatu perikatan. Prof. Subekti
memberikan definisi bahwa hak hipotik adalah suatu hak kebendaan atas suatu
benda tak bergerak, bertujuan untuk mengambil pelunasan suatu utang dari
(pendapatan penjualan) benda itu.[46]
Sedangkan menurut Prof. Sri Soedewi, hipotik adalah suatu hak kebendaan atas
benda tak bergerak, untuk mengambil penggantian daripadanya bagi pelunasan
suatu perutangan.[47]
Sifat
Hipotik
Pada dasarnya sifat
hipotik adalah sama dengan sifat hak gadai, yaitu accesoir. Dimana hak hipotik adalah mengikuti perjanjian pokoknya,
yaitu pinjam meminjam uang.
Subjek
dan Objek Hipotik
Suatu hipotik hanya
dapat diberikan oleh pemilik benda itu (Pasal 1168). Sedangkan yang dapat
dijadikan objek hipotik adalah benda tak bergerak.
Syarat
Hipotik
Cara untuk mendapatkan
hipotik harus memenuhi syarat-syarat tertentu, yaitu :
1.
Harus
dengan akta notaries, kecuali dalam hal-hal yang dengan tegas ditunjuk
undang-undang (Pasal 1171 KUHPerdata)
2.
Harus
didaftarkan ke Kantor Balik Nama (Pasal 1179)
Asas-asas
Hipotik
Prof. Sri Soedewi menyatakan
bahwa ada dua asas dalam hipotik, yaitu:[48]
1.
Asas
Publiciteit
Asas yang mengharuskan
bahwa hipotik itu harus didaftarkan pada pegawai pembalikan nama, yaitu pada
Kantor Kadaster. Yang didaftarkan adalah akta dari objek hipotik itu.
2.
Asas
Specialiteit
Asas yang menghendaki, bahwa
hipotik hanya dapat diadakan atas benda-benda yang ditunjukkan secara khusus
untuk dipakai sebagai tanggungan.
Perbedaan
antara gadai dan hipotik
Perbedaan antara gadai
dan hipotik dapat dikemukakan sebagai berikut :[49]
1.
Gadai,
benda jaminan adalah benda bergerak, sedangkan hipotik, benda jaminan adalah
benda tak bergerak.
2.
Gadai
harus disertai dengan penyerahan kekuasaan atas benda yang dijadikan gadai,
sedangkan pada hipotik syarat yang demikian tidak ada.
3.
Perjanjian
gadai dapat dibuat secara bebas dan tidak terikat pada bentuk tertentu,
sedangkan pada perjanjian hipotik harus dibuat dengan akte otentik.
Hak Privilege
Hak Privilege adalah
suatu hak yang oleh undang-undang diberikan kepada seorang berpiutang sehingga
tingkatnya lebih tinggi daripada orang berpiutang lainnya, semata-mata
berdasarkan sifatnya piutang. (Pasal 1134)
Menurut Prof. Subekti,
hak privilege adalah suatu kedudukan istimewa dari seorang penagih yang
diberikan oleh undang-undang melulu berdasarkan sifat piutang.[50] Sedangkan
menurut Prof. Sri Soedewi, hak privilege adalah suatu hak yang diberikan oleh
undang-undang kepada kreditur yang satu di atas kreditur lainnya semata-mata
berdasarkan sifat dari piutangnya.[51]
Hak
Reklame
Hak reklame adalah
suatu hak yang diberikan kepada penjual untuk meminta kembali barangnya yang
telah diterima oleh pembeli setelah pembeli membayar tunai. Jadi, jika
penjualan itu telah dilakukan secara tunai, maka penjual mempunyai kekuasaan
menuntut kembali barang-barangnya, selama barang-barang itu masih berada di
tangan pembeli, asal saja penuntutan kembali dilakukan dalam jangka waktu 30
hari setelah penyerahan barang kepada pembeli.[52]
Menurut undang-undang,
hak penjual ini gugur/tidak dapat dilaksanakan apabila :
1.
Barang-barang
yang telah diterima pembeli, ternyata telah disewakan (Pasal 1146)
2.
Barang-barang
tersebut oleh pembeli telah dibeli pihak ketiga dengan itikad baik dan telah
diserahkan kepada pihak ketiga tersebut (Pasal 1146a)
Hak
Retentie
Hak Retentie adalah
hak untuk menahan suatu benda, sampai suatu piutang yang bertalian dengan benda
itu dilunasi.[53]
Menurut H.F.A Vollmar, hak menahan (retentie) adalah hak untuk tetap memegang
benda milik orang lain sampai piutang si pemegang mengenai benda tersebut telah
lunas.[54]
Hak retentie ini
mempunyai sifat yang tak dapat dibagi-bagi. Artinya, pembayaran atas sebagian
utang saja, tidak menjadikan hak retentie menjadi hapus. Hak retentie hapus
jika seluruh utang telah dibayar lunas.[55]
Hak
Kebendaan Menurut Undang-undang Pokok Agraria
Selain hak-hak
kebendaan menurut KUHPerdata, juga ada hak-hak kebendaan menurut Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Undang-undang Pokok Agraria. Hak-hak atas tanah
tersebut adalah sebagai berikut :
1.
Hak
Milik
Hak milik adalah hak
turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah,
dengan mengingat semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. (Pasal 20 ayat
(1) UUPA)
2.
Hak
Guna Usaha
Hak Guna usaha adalah
hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara, dalam jangka
waktu paling lama 25 tahun, guna perusahaan pertanian, perikanan, atau
peternakan. (Pasal 28 ayat (1) UUPA)
3.
Hak
Guna Bangunan
Hak Guna Bangunan adalah
hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan
miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun (Pasal 35 ayat (1)
UUPA)
4.
Hak
Pakai
Hak Pakai adalah hak
untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung
oleh negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban
yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang
memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan
perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal
tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan undang-undang ini.
(Pasal 41 ayat (1) UUPA)
5.
Hak
Sewa untuk Bangunan
Hak Sewa untuk Bangunan adalah hak
seseorang atau suatu badan hukum mempergunakan tanah milik orang lain untuk
keperluan bangunan, dengan membayar kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai
sewa. (Pasal 44 ayat (1) UUPA)
Hak
Tanggungan
Hak Tanggungan adalah
hak jaminan atas tanah yang dibebankan pada hak atas tanah, berikut atau tidak
berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk
pelunasan utang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada
kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur yang lain.[56]
Kehadiran UUHT ini
adalah bertujuan untuk :[57]
1.
Menuntaskan
unifikasi tanah nasional, dengan menyatakan tidak berlaku lagi ketentuan
Hipotik dan Credietverband (Pasal 29 UUHT).
2.
Menyatakan
berlakunya UUHT dan Hak Tanggungan dinyatakan sebagai satu-satunya jaminan atas
tanah. Oleh karena itu, tidak berlaku lagi Fidusia sebagai hak jaminan atas
tanah.
Objek
Hak Tanggungan
Menurut Pasal 4 UUHT,
objek hak tanggungan adalah sebagai berikut :
1.
Hak
Milik (Pasal 25 UUPA), Hak Guna Usaha (Pasal 33 UUPA), dan Hak Guna Bangunan
(Pasal 39 UUPA)
2.
Hak
Pakai atas tanah negara, yang memenuhi syarat yaitu, yang bersertifikat dan
dapat diperjualbelikan.
3.
Bangunan
Rumah Susun dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yang berdiri di atas tanah
Hak Milik, Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai yang diberikan oleh Negara (UU
Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun)
Pemberi
dan Pemegang Hak Tanggungan
Pemberi hak tanggungan
adalah orang atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan
perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan yang bersangkutan (Pasal 8 ayat
(1) UUHT).
Sedangkan pemegang hak
tanggungan adalah orang atau badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak yang
berpiutang (kreditur). Sebagai pemegang hak tanggungan, dapat berstatus
Warganegara Indonesia, Badan Hukum Indonesia, Warganegara Asing, atau Badan
Hukum Asing, baik yang berkedudukan di Indonesia maupun di luar negeri,
sepanjang kredit yang bersangkutan dipergunakan untuk kepentingan pembangunan
di wilayah negara Republik Indonesia (Pasal 9 UUHT).
Fidusia
Fidusia adalah
pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan
bahwa benda yang hak kepemilikannya diadakan tersebut tetap dalam penguasaan
pemilik benda itu (Pasal 1 ayat (1) UU Nomor 42 Tahun 1999). Yang dimaksud
dengan jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang
berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak, khususnya
bangunan yang tidak dapat dibebani Hak Tanggungan sebagaimana yang dimaksud
dalam UU Nomor 4 Tahun 1996.[58]
Fidusia hanya berlaku
bagi benda bergerak. Pada prinsipnya, apabila suatu barang dijaminkan dengan
fidusia berarti kepemilikan atas barang tersebut beralih kepada kreditor.
Tetapi penguasaan barang itu tetap ada pada debitor.[59]
Sebelum berlakunya UU
Nomor 42 Tahun 1999, maka yang menjadi objek jaminan fidusia adalah benda bergerak
yang terdiri dari benda dalam persediaan, benda dagangan, piutang, peralatan
mesin, dan kendaraan bermotor, tetapi dengan berlakunya UU Nomor 42 Tahun 1999,
maka objek jaminan fidusia dibagi menjadi dua macam:[60]
1.
Benda
bergerak, baik yang berwujud maupun tidak berwujud.
2.
Benda
tidak bergerak, khususnya bangunan yang tidak dibebani Hak Tanggungan.
Yang dimaksud dengan
bangunan dalam kaitannya dengan bangunan rumah susun, sedangkan yang dapat
menjadi subjek dari jaminan fidusia adalah pemberi dan penerima fidusia.
Pemberi fidusia adalh orang perorangan atai korporasi pemilik benda yang
menjadi objek jaminan fidusia, sedangkan penerima fidusia adalah orang
perorangan atau korporasi yang mempunyai piutang yang pembayarannya dijamin
dengan jaminan fidusia.[61]
[1] P.N.H. Simanjuntak, Pokok-pokok
Hukum Perdata Indonesia, Jakarta, Djambatan, hlm. 203
[2] P.N.H. Simanjuntak, Pokok-pokok
Hukum Perdata Indonesia, Jakarta, Djambatan, hlm. 204
[3] Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum
Perdata :Hukum Benda, Yogyakarta,
Liberty, hlm. 13
[4] Salim HS, Pengantar Hukum
Perdata Tertulis (BW), Jakarta, Sinar Grafika, hlm. 91
[5] Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum
Perdata :Hukum Benda, Yogyakarta,
Liberty, hlm. 3
[6] Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum
Perdata :Hukum Benda, Yogyakarta,
Liberty, hlm. 3
[7] Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum
Perdata :Hukum Benda, Yogyakarta,
Liberty, hlm. 6
[8] Subekti, Pokok-pokok Hukum
Perdata, Jakarta, Intermasa, hlm. 61
[9] Subekti, Ibid, hlm. 61
[10] Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum
Perdata :Hukum Benda, Yogyakarta,
Liberty, hlm. 22
[11] Riduan Syahrani, Rangkuman
Intisari Ilmu Hukum, Jakarta, Pustaka Kartini, hlm. 133
[12] Riduan Syahrani, Ibid,
Jakarta, Pustaka Kartini, hlm. 133
[13] Prof. Subekti, Pokok-pokok
Hukum Perdata, Jakarta, Intermasa, hlm. 62
[14] Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum
Perdata :Hukum Benda, Yogyakarta,
Liberty, hlm. 24
[15] Sri Soedewi MS, Hukum benda,
Yogyakarta, Liberty, hlm. 28
[16] Sri Soedewi MS, Hukum benda,
Yogyakarta, Liberty, hlm. 28
[17] Subekti, Pokok-pokok Hukum
Perdata, Jakarta, Intermasa, hlm. 63
[18] P.N.H. Simanjuntak, Pokok-pokok
Hukum Perdata Indonesia, Jakarta, Djambatan, hlm 214
[19] P.N.H. Simanjuntak, Pokok-pokok
Hukum Perdata Indonesia, Jakarta, Djambatan, hlm 214
[20] P.N.H. Simanjuntak, Pokok-pokok
Hukum Perdata Indonesia, Jakarta, Djambatan, hlm 215
[21] Subekti, Pokok-pokok Hukum
Perdata, Jakarta, Intermasa, hlm. 69
[22] Sri Soedewi MS, Hukum benda,
Yogyakarta, Liberty, hlm. 27
[23] Sri Soedewi MS, Hukum benda,
Yogyakarta, Liberty, hlm. 63
[24] Sri Soedewi MS, Hukum benda,
Yogyakarta, Liberty, hlm. 68
[25] Sri Soedewi MS, Hukum benda,
Yogyakarta, Liberty, hlm. 68
[26] P.N.H. Simanjuntak, Pokok-pokok
Hukum Perdata Indonesia, Jakarta, Djambatan, hlm 219
[27] Subekti, Pokok-pokok Hukum
Perdata, Jakarta, Intermasa, hlm. 71
[28] Subekti, Pokok-pokok Hukum
Perdata, Jakarta, Intermasa, hlm. 75
[29] C.S.T. Kansil, Modul Hukum
Perdata, Jakarta: Pradnya Paramita, 1991, hlm. 169
[30] P.N.H. Simanjuntak, Pokok-pokok
Hukum Perdata Indonesia, Jakarta, Djambatan, hlm. 224
[31] Subekti, Pokok-pokok Hukum
Perdata, Jakarta, Intermasa, hlm. 75
[32] P.N.H. Simanjuntak, Pokok-pokok
Hukum Perdata Indonesia, Jakarta, Djambatan, hlm. 224
[33] P.N.H. Simanjuntak, Pokok-pokok
Hukum Perdata Indonesia, Jakarta, Djambatan, hlm. 225
[34] Sri Soedewi MS, Hukum Benda,
Yogyakarta, Liberty, hlm. 119
[35] P.N.H. Simanjuntak, Pokok-pokok
Hukum Perdata Indonesia, Jakarta, Djambatan, hlm. 226
[36] Subekti, Pokok-pokok Hukum
Perdata, Jakarta, Intermasa, hlm. 77
[37] Subekti, Pokok-pokok Hukum
Perdata, Jakarta, Intermasa, hlm. 77
[38] Sri Soedewi MS, Hukum Benda,
Yogyakarta, Liberty, hlm. 97
[39] Subekti, Pokok-pokok Hukum
Perdata, Jakarta, Intermasa, hlm. 79
[40] Subekti, Pokok-pokok Hukum
Perdata, Jakarta, Intermasa, hlm. 78
[41] Subekti, Pokok-pokok Hukum
Perdata, Jakarta, Intermasa, hlm. 79
[42] P.N.H. Simanjuntak, Pokok-pokok
Hukum Perdata Indonesia, Jakarta, Djambatan, hlm. 228
[43] P.N.H. Simanjuntak, Pokok-pokok
Hukum Perdata Indonesia, Jakarta, Djambatan, hlm. 228
[44] P.N.H. Simanjuntak, Pokok-pokok
Hukum Perdata Indonesia, Jakarta, Djambatan, hlm. 228
[45] P.N.H. Simanjuntak, Pokok-pokok
Hukum Perdata Indonesia, Jakarta, Djambatan, hlm. 230
[46] Subekti, Pokok-pokok Hukum
Perdata, Jakarta, Intermasa, hlm. 230
[47] Sri Soedewi MS, Hukum Benda,
Yogyakarta, Liberty, hlm. 103
[48] Sri Soedewi MS, Hukum Benda,
Yogyakarta, Liberty, hlm. 104
[49] P.N.H. Simanjuntak, Pokok-pokok
Hukum Perdata Indonesia, Jakarta, Djambatan, hlm. 232
[50] Subekti, Pokok-pokok Hukum
Perdata, Jakarta, Intermasa, hlm. 88
[51] Sri Soedewi MS, Hukum Benda,
Yogyakarta, Liberty, hlm. 33
[52] P.N.H. Simanjuntak, Pokok-pokok
Hukum Perdata Indonesia, Jakarta, Djambatan, hlm. 235
[53] Sri Soedewi MS, Hukum Benda,
Yogyakarta, Liberty, hlm. 35
[54] H.F.A. Vollmar, Pengantar
Studi Hukum Perdata (terjemahan I.S. Adiwimarta), Jakarta, Rajawali, 1992,
hlm. 367
[55] P.N.H. Simanjuntak, Pokok-pokok
Hukum Perdata Indonesia, Jakarta, Djambatan, hlm. 236
[56] Pasal 1 angka 1 UU Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan
[57] P.N.H. Simanjuntak, Pokok-pokok
Hukum Perdata Indonesia, Jakarta, Djambatan, hlm. 238
[58] Salim HS, Pengantar Hukum
Perdata Tertulis, Jakarta, Sinar Grafika, hlm. 127
[59] Salim HS, Pengantar Hukum
Perdata Tertulis, Jakarta, Sinar Grafika, hlm. 126
[60] Salim HS, Pengantar Hukum
Perdata Tertulis, Jakarta, Sinar Grafika, hlm. 128
[61] Salim HS, Pengantar Hukum
Perdata Tertulis, Jakarta, Sinar Grafika, hlm. 128
Tidak ada komentar:
Posting Komentar