Sabtu, 17 Januari 2015

Hukum Kebendaan


Pengertian Benda
Secara lazim, benda menurut KUHPerdata disebut sebagai zaak. Pasal 499 KUHPerdata menyatakan bahwa benda adalah tiap-tiap barang dan tiap-tiap hak yang dapat dikuasai hak milik. Ilmu pengetahuan hukum juga memberikan pengertian tentang benda, bahwa yang dimaksud benda adalah segala sesuatu yang dapat menjadi objek hukum dan barang-barang yang dapat menjadi milik serta hak setiap orang yang dilindungi oleh hukum.
Para sarjana juga memberikan pengertian mengenai benda. Berikut ini pengertian benda menurut para sarjana, diantaranya adalah :[1]
1.      Prof. Soediman Kartohadiprodjo
Benda adalah semua barang yang berwujud dan hak (kecuali hak milik)
2.      Prof. Sri Soedewi MS
Benda pertama-tama ialah barang yang berwujud yang dapat ditangkap dengan panca indera, tetapi barang yang tak berwujud termasuk juga benda.
3.      Prof. Subekti
Benda dalam arti luas adalah segala sesuatu yang dapat dihaki oleh orang, sedangkan perkataan benda dalam arti sempit adalah barang yang dapat terlihat saja.
4.      Prof. L.J. van Apeldoorn
Benda dalam arti yuridis adalah sesuatu yang merupakan objek hukum.

Sehingga pengertian benda dapat disimpulkan bahwa benda itu merupakan segala sesuatu yang menjadi objek hukum serta dapat dihaki oleh setiap orang.
Pengertian Hukum Benda
Hukum Benda adalah terjemahan dari istilah bahasa Belanda, yaitu zaakenrecht. Menurut Prof. Soediman Kartohadiprodjo, hukum benda ialah semua kaidah hukum yang mengatur apa yang diartikan dengan benda dan mengatur hak-hak atas benda. Menurut Prof. L.J. van Apeldoorn, hukum benda adalah peraturan mengenai hak-hak kebendaan. Sedangkan menurut Prof. Sri Soedewi, yang diatur pertama-tama adalah mengenai pengertian dari benda, kemudian pembedaan macam-macam benda, dan selanjutnya bagian yang terbesar mengatur mengenai macam-macam hak kebendaan.[2]
Sehingga dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud hukum benda adalah keseluruhan aturan yang mengatur mengenai benda beserta hak-hak yang melekat atas benda.
Sistem Pengaturan Hukum Benda
Mengenai sistem dalam Hukum Perdata, pada dasarnya menganut 2 (dua) macam sistem, yaitu sistem terbuka dan sistem tertutup. Sistem pengaturan hukum benda itu adalah sistem tertutup. Artinya, orang tidak dapat mengadakan hak-hak kebendaan baru selain yang sudah ditetapkan di dalam undang-undang.[3] Sedangkan sistem terbuka artinya adalah bahwa orang dapat mengadakan perjanjian mengenai apapun juga, baik yang sudah ada aturannya di dalam KUHPerdata maupun yang tidak tercantum dalam KUHPerdata. Jenis perjanjian yang dikenal dalam KUHPerdata adalah perjanjian jual beli, sewa-menyewa, tukar-menukar, pinjam-meminjam uang, perjanjian kerja, dan pemberian kuasa.[4] Sedangkan perjanjian yang tidak diatur dalam KUHPerdata misalnya seperti perjanjian franchise, leasing, titip jual, investasi, dan masih banyak lagi. Mengenai perjanjian  yang menganut sistem terbuka ini, setiap orang bebas untuk menentukan perjanjian apapun bentuk dan namanya. Tentunya kebebasan itu sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesusilaan, dan ketertiban umum.  
Perubahan dalam Buku II KUHperdata
Ketika membicarakan Hukum Benda sesuai yang diatur dalam Buku II KUHPerdata hendaknya juga dengan melihat ketentuan dalam Undang-undang Pokok Agraria, yaitu UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang UUPA yang mulai berlaku sejak tanggal 24 September 1960. Dengan berlakunya undang-undang tersebut memberikan pengaruh perubahan besar terhadap berlakunya Buku II KUHPerdata dan juga berlakunya hukum tanah di Indonesia.[5]
Perubahan besar terhadap berlakunya Buku II KUHPerdata terjadi karena berdasarkan ketentuan UUPA yaitu sebagaimana tercantum dalam dictum dari Undang-undang tersebut menentukan bahwa mencabut ketentuan dalam Buku II KUHPerdata Indonesia sepanjang mengenai bumi, air, serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya kecuali ketentuan-ketentuan mengenai hipotik.[6]
Sehingga pasal-pasal yang tidak berlaku lagi adalah :[7]
1.      Pasal-pasal tentang benda tak bergerak yang melulu berhubungan dengan hak-hak mengenai tanah.
2.      Pasal-pasal tentang cara memperoleh hak milik melulu mengenai tanah.
3.      Pasal-pasal mengenai penyerahan benda-benda tak bergerak.
4.      Pasal-pasal tentang kerja Rodi (Pasal 673)
5.      Pasal-pasal tentang hak dan kewajiban pemilik pekarangan bertetangga (Pasal 625-672)
6.      Pasal-pasal tentang pengabdian pekarangan (Pasal 674-710)
7.      Pasal-pasal tentang hak postal (Pasal 711-719)
8.      Pasal-pasal tentang Hak Erfpacht (Pasal 720-736)
9.      Pasal-pasal tentang bunga tanah dan hasil sepersepuluh (Pasal 737-755)
Klasifikasi Benda
Undang-undang membagi benda-benda dalam beberapa macam :[8]
1.      Benda yang dapat diganti (contoh : uang) dan yang tidak dapat diganti (contoh : seekor kuda);
2.      Benda yang dapat diperdagangkan (praktis tiap barang dapat diperdagangkan) dan yang tidak dapat diperdagangkan atau “di luar perdagangan” (contoh : jalan-jalan dan lapangan umum);
3.      Benda yang dapat dibagi (contoh : beras) dan benda yang tidak dapat dibagi (contoh : seekor kuda)
4.      Benda yang bergerak (contoh : perabot rumah tangga) dan yang tak bergerak (contoh : tanah)
Dari pembagian-pembagian yang tersebutkan di atas tersebut, yang paling penting ialah yang disebutkan terakhir, yaitu pembagian “benda bergerak” dan “benda tak bergerak”, sebab pembagian ini mempunyai akibat-akibat yang sangat penting dalam hukum.[9]
Pembedaan antara benda bergerak dan benda tak bergerak ini penting artinya. Pentingnya ini berhubungan dengan 4 (empat) hal :[10]
1.      Bezit
Mengenai bezit, misalnya, terhadap barang bergerak berlaku azas seperti yang tercantum dalam Pasal 1977 KUHPerdata, yaitu bezitter dari barang bergerak adalah sebagai eigenaar dari barang tersebut. Sedangkan kalau mengenai barang tak bergerak tidak demikian halnya.
2.      Levering (Penyerahan)
Mengenai levering terhadap benda bergerak itu dapat dilakukan dengan penyerahan nyata, sedangkan terhadap benda tak bergerak dilakukan dengan balik nama.
3.      Verjaring (daluarsa)
Terhadap benda-benda bergerak itu tidak dikenal verjaring sebab bezit adalah sama dengan eigendom atas benda bergerak itu, sedang untuk benda-benda tak bergerak mengenal adanya verjaring.
4.      Bezwaring (pembebanan)
Terhadap benda bergerak harus dilakukan dengan pand sedang terhadap benda tak bergerak harus dilakukan dengan hipotik.

Ada satu lagi terkait hal penting adanya pembedaan antara benda bergerak dan benda tak bergerak, yaitu Beslag (penyitaan).[11] Beslag ini ada 2 (dua) macam yaitu Revindicatoir Beslag, untuk benda bergerak dan Conservatoir Beslag, untuk benda tak bergerak.
Juga ada istilah Executoir Beslag, yaitu penyitaan yang dilakukan untuk melaksanakan putusan pengadilan, haruslah terlebih dahulu dilakukan terhadap benda-benda bergerak. Apabila benda-benda bergerak dinilai harganya tidak mencukupi untuk membayar utang debitur kepada kreditur, barulah executoir beslag dilakukan terhadap benda-benda tak bergerak.[12]



Hak-hak Kebendaan
Menurut Prof. Subekti, hak kebendaan adalah suatu hak yang memberikan kekuasaan langsung atas suatu benda yang dapat dipertahankan terhadap tiap orang. Ilmu hukum dan perundang-undangan telah lama membagi segala hak-hak manusia atas hak-hak kebendaan dan hak-hak perseorangan. Suatu hak kebendaan memberikan kekuasaan atas suatu benda, sedangkan suatu hak perseorangan memberikan suatu tuntutan atau penagihan terhadap seseorang. Suatu hak kebendaan dapat dipertahankan terhadap tiap orang yang melanggar hak itu, sedangkan suatu hak perseorangan hanyalah dapat dipertahankan terhadap sementara orang tertentu saja atau terhadap sesuatu pihak.[13]
Sedangkan menurut Prof. Soedewi MS, hak kebendaan adalah hak mutlak atas sesuatu benda dimana hak itu memberikan kekuasaan langsung atas sesuatu benda dan dapat dipertahankan terhadap siapapun juga. Jadi hak kebendaan itu adalah hak mutlak (hak absolute) sebagai lawan dari hak nisbi atau hak relatif.[14] Hak mutlak adalah hak memiliki suatu benda-benda tertentu, misal hak atas benda bergerak dan tidak bergerak. Sedangkan hak relatif adalah hak untuk menuntut adanya suatu hak yang timbul karena adanya suatu hubungan hukum, misalnya utang piutang, sewa-menyewa, atau pinjam-meminjam.
Klasifikasi Hak-hak Kebendaan
Telah dijelaskan di muka bahwa setelah berlakunya UUPA, maka ketentuan dalam Buku II KUHPerdata sepanjang mengenai hak-hak yang berkenaan dengan bumi, air, dan segala kekayaan alam yang ada di dalamnya menjadi tidak berlaku lagi, kecuali ketentuan-ketentuan mengenai hipotik. Sehingga dalam kita membicarakan macam-macam hak-hak kebendaan dalam Buku II KUHPerdata harus mengingat berlakunya UUPA, dan harus mengetahui mana hak-hak kebendaan yang masih ada dan mana hak kebendaan yang sudah dicabut berlakunya.[15]
Dengan demikian, hak-hak kebendaan yang diatur dalam Buku II KUHPerdata (yang sudah disesuaikan dengan berlakunya UUPA Nomor 5 Tahun 1960) dapat dibedakan atas dua macam :[16]
1.      Hak kebendaan yang bersifat memberi kenikmatan (zakelijk genotsrecht). Hak ini meliputi :
a.       Hak kebendaan yang memberikan kenikmatan atas bendanya sendiri, misalnya : hak eigendom, dan hak bezit.
b.      Hak kebendaan yang memberikan kenikmatan atas benda orang lain, misalnya : hak postal, hak erfpacht, hak memungut hasil, hak pakai, dan hak mendiami.
2.      Hak kebendaan yang bersifat memberi jaminan (zakelijk zakerheidsrecht). Misalnya: hak gadai (pand) dan hipotik. Di samping itu ada pula hak-hak yang diatur dalam Buku II KUHPerdata, tetapi bukan merupakan hak kebendaan, yaitu privilege, dan hak retentie. Namun hak-hak ini dapat digolongkan dalam hak kebendaan.
Hak kebendaan yang ada dalam KUHPerdata adalah :
1.      Hak Bezit
Kedudukan seseorang yang menguasai suatu kebendaan, baik dengan diri sendiri maupun dengan perantaraan orang lain, dan yang mempertahankan atau menikmatinya selaku orang yang memiliki kebendaan itu. (Pasal 529 KUHPerdata)
2.      Hak Eigendom (Hak Milik)
Hak untuk menikmati kegunaan sesuatu kebendaan dengan leluasa, dan untuk berbuat bebas terhadap kebendaan itu dengan kedaulatan sepenuhnya, asal tidak bertentangan dengan undang-undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh suatu kekuasaan yang berhak menetapkannya, dan tidak mengganggu hak-hak orang lain (Pasal 570 KUHPerdata)
3.      Hak Servituut (Hak Pengabdian Pekarangan)
Suatu beban yang diberikan kepada pekarangan milik orang yang satu, untuk digunakan bagi dan demi kemanfaatan pekarangan milik orang yang lain (Pasal 674 KUHPerdata)
4.      Hak Opstal
Hak untuk memiliki bangunan-bangunan atau tanaman-tanaman di atas tanahnya orang lain. Hak ini juga disebut dengan hak numpang karang, yaitu suatu hak kebendaan untuk mempunyai gedung-gedung, bangunan-bangunan, dan penanaman diatas pekarangan orang lain. Sehingga hak postal dapat disimpulkan sebagai hak untuk memiliki bangunan-bangunan atau tanaman di atas tanah orang lain. (Pasal 711 KUHPerdata)
5.      Hak Erfpacht
Suatu hak kebendaan untuk menikmati sepenuhnya akan kegunaan suatu barang tak bergerak milik orang lain, dengan kewajiban akan membayar ganti rugi upeti tahunan kepada si pemilik sebagai pengakuan akan kepemilikannya, baik berupa uang, baik berupa hasil atau pendapatan.(Pasal 720 ayat (1))
Dapat juga diartikan sebagai Suatu hak kebendaan untuk menarik penghasilan seluas-luasnya untuk waktu yang lama dari sebidang tanah milik orang lain dengan kewajiban membayar sejumlah uang atau penghasilan tiap-tiap tahun, yang dinamakan “pacht”. (Pasal 720)
6.      Hak Pakai Hasil
Suatu hak kebendaan, dengan mana seorang diperbolehkan menarik segala hasil dari sesuatu kebendaan milik orang lain, seolah-olah dia sendiri pemilik kebendaan itu, dengan kewajiban memeliharanya sebaik-baiknya. (Pasal 756)
7.      Hak Gadai
Suatu hak kebendaan yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang berutang atau oleh seorang lain atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada orang-orang yang berpiutang lainnya. (Pasal 1150)
8.      Hak Hipotik
Suatu hak kebendaan atas benda-bendatak bergerak, untuk mengambil pengantian daripadanya bagi pelunasan suatu perikatan. (Pasal 1162)
9.      Hak Privilege
Banyak yang tidak setuju ini diatur karena hanya hak untuk mendahulukan.
10.  Hak Reklame
Hak yang diberikan kepada si penjual untuk meminta kembali barangnya yang telah diterima oleh si pembeli setelah pembeli membayar tunai. (Pasal 1145-1146)
Hak kebendaan menurut Undang-undang Pokok Agraria :
1.      Hak Milik
Hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat semua hak atas tanah mempunyai fungsi social (Pasal 20 UUPA)
2.      Hak Guna Usaha
Hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara, dalam jangka waktu paling lama 25 tahun, guna perusahaan pertanian, perikanan, atau peternakan. (Pasal 28)
3.      Hak Guna Bangunan
Hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun (Pasal 35)
4.      Hak Pakai
Hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain, yang member wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan uu ini. (Pasal 41)
5.      Hak Sewa
Hak seseorang atau suatu badan hukum mempergunakan tanah milik orang lain atau keperluan bangunan, dengan membayar kepada pemiliknya sejumlah uang sewa. (Pasal 44)
Hak Kebendaan dalam KUHPerdata :
1.      Hak Bezit
Bezit adalah suatu keadaan lahir, dimana seorang menguasai suatu benda seolah-olah kepunyaannya sendiri, yang oleh hukum dilindungi, dengan tidak mempersoalkan hak milik atas benda itu sebenarnya ada pada siapa.[17]

Syarat-syarat adanya bezit :[18]
a.       Adanya Corpus, yaitu harus ada hubungan antara orang yang bersangkutan dengan bendanya
b.      Adanya Animus, yaitu hubungan antara orang dengan benda itu harus dikehendaki oleh orang tersebut.
Sehingga, untuk adanya bezit,  harus ada dua unsur, yaitu kekuasaan atas suatu benda dan kemauan untuk memiliki benda tersebut. Dalam hal ini, bezit  harus dibedakan dengan “detentie”, dimana seseorang menguasai suatu benda berdasarkan hubungan hukum tertentu dengan orang lain (pemilik benda itu). Jadi, seorang “detentor” tidak mempunyai kemauan untuk memiliki benda itu bagi dirinya sendiri.[19]




Cara memperoleh bezit :[20]
Menurut ketentuan Pasal 538 KUHPerdata, bezit (kedudukan berkuasa) atas sesuatu kebendaan diperoleh dengan cara melakukan perbuatan menarik kebendaan itu dalam kekuasaannya sendiri. Menurut Pasal 540 KUHPerdata, cara-cara memperoleh bezit dapat dilakukan dengan cara :
1.      Occupatio (pengambilan benda)
Memperoleh bezit tanpa bantuan dari orang yang membezit terlebih dahulu. Jadi, bezit diperoleh karena perbuatannya sendiri yang mengambil barang secara langsung.
2.      Traditio (pengoperan)
Memperoleh bezit dengan bantuan dari orang yang membezit terlebih dahulu. Jadi, bezit diperoleh karena adanya penyerahan dari orang lain yang sudah menguasainya terlebih dahulu.
3.      Warisan
Menurut Pasal 541 KUHPerdata, bahwa segala sesuatu bezit yang merupakan bezit dari seorang yang telah meninggal dunia beralih kepada ahli warisnya dengan segala sifat dan cacat-cacatnya. Menurut Pasal 593 KUHPerdata, orang yang sakit ingatan tidak memperoleh bezit, tetapi anak yang belum dewasa dan perempuan yang telah menikah dapat memperoleh bezit.

Hapusnya bezit
Pada dasarnya orang bisa kehilangan bezit apabila :
a.       Kekuasaan atas benda itu berpindah pada orang lain, baik secara diserahkan maupun karena diambil orang lain.
b.      Benda yang dikuasainya, nyata telah ditinggalkan. 

2.      Hak Eigendom
Pasal 570 KUHPerdata menyatakan bahwa eigendom adalah hak untuk menikmati kegunaan sesuatu benda dengan leluasa, dan untuk berbuat bebas terhadap kebendaan itu dengan kedaulatan sepenuhnya, asal tidak bertentangan dengan undang-undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh suatu kekuasaan yang berhak menetapkannya, dan tidak mengganggu hak-hak orang lain.
Eigendom  adalah hak paling sempurna atas suatu benda. Seorang yang mempunyai hak eigendom (milik) atas suatu benda dapat berbuat apa saja dengan benda itu (menjual, menggadaikan, memberikan, bahkan merusak), asal saja ia tidak melanggar undang-undang atau hak orang lain.[21]

Ciri-ciri Hak Milik :[22]
Prof. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, mengatakan bahwa yang termasuk ciri-ciri dari hak milik itu adalah :
a.       Hak milik itu selalu merupakan hak induk terhadap hak-hak kebendaan yang lain. Sedangkan hak-hak kebendaan yang lainnya yang bersifat terbatas itu berkedudukan sebagai hak anak terhadap hak milik.
b.      Hak milik itu ditinjau dari kuantitetnya merupakan hak yang selengkap-lengkapnya.
c.       Hak milik itu sifatnya tetap. Artinya, tidak akan lenyap terhadap hak kebendaan yang lain. Sedangkan hak kebendaan yang lain dapat lenyap jika menghadapi hak milik.
d.      Hak milik itu mengandung inti (benih) dari semua hak kebendaan yang lain. Sedangkan hak kebendaan yang lain itu hanya merupakan onderdeel (bagian) saja dari hak milik.

Pasal 574 KUHPerdata menyatakan bahwa tiap pemilik sesuatu benda, berhak menuntut kembali bendanya dari siapa saja yang menguasainya berdasarkan hak miliknya itu.

Cara Memperoleh Hak Milik
Pasal 584 KUHPerdata, hak eigendom dapat diperoleh dengan cara :[23]
a.       Pendakuan (toeeigening)
Ini duatur dalam Pasal 585 KUHPerdata, yaitu tentang pendakuan dari barang-barang yang bergerak yang belum ada pemiliknya/tidak ada pemiliknya (Res Nullius). Pasal 586 KUHPerdata pendakuan dari binatang-binatang liar di hutan, pendakuan dari ikan-ikan di sungai.
b.      Ikutan (natrekking)
Ini diatur dalam Pasal 588-605 KUHPerdata, yaitu memperoleh benda itu karena benda itu mengikuti benda yang lain. Misalnya, hak atas tanam-tanaman, itu mengikuti tanah yang sudah menjadi hak milik dari orang yang menanami itu.
c.       Lampaunya Waktu (verjaring)
Ini diatur dalam Pasal 610 KUHPerdata dan diatur lebih lanjut dalam Buku IV KUHPerdata. Cara memperoleh hak milik dengan verjaring ini ada dua macam, yaitu :
1.      Acquisitive Verjaring , yaitu lewat waktu sebagai alat untuk memperoleh hak-hak kebendaan (diantaranya hak milik)
2.      Extinctive Verjaring, yaitu lewat waktu sebagai alat untuk dibebaskan dari suatu perutangan.
Jadi memperoleh hak milik dengan verjaring disini yang dimaksudkan adalah dengan acquisitive verjaring. Arti pentingnya adalah sebagai pembuktian, yaitu untuk dipakai sebagai bukti bahwa orang adalah pemilik, sehingga perlu kepastian hukum.
Cara memperoleh hak milik dengan lewat waktu (acquisitive verjaring) adalah :
1.      Harus ada bezit
2.      Bezitnya harus te goeder trouw
3.      Membezitnya itu harus terus menerus, tak terputus.
4.      Membezitnya harus tidak terganggu.
5.      Membezitnya harus diketahui oleh umum.
6.      Membezitnya harus selama waktu 20 tahun atau 30 tahun
7.      20 tahun dalam hal ada alas hak yang sah, 30 tahun dalam hal tidak ada alas hak yang sah.
d.      Penyerahan (levering)
Penyerahan adalah perbuatan menyerahkan suatu benda oleh pemilik atau atas namanya kepada orang lain, sehingga orang lain ini memperoleh hak milik atas benda itu.
Menurut Pasal 612 KUHPerdata, untuk benda bergerak yang berwujud, penyerahan dapat dilakukan dengan cara :[24]
1.      Penyerahan Nyata
Penyerahan nyata dilakukan dari tangan ke tangan
2.      Penyerahan kunci dari tempat dimana benda itu berada
Penyerahan kunci dapat diambil contoh misalnya adalah dalam rangka penyerahan gula/beras dalam gudang, maka penyerahan nya cukup dengan menyerahkan kunci gudang.
Menurut Pasal 612 ayat (2) KUHPerdata adakalanya penyerahan terhadap benda-benda bergerak yang berwujud itu pada peralihan hak tak perlu dilakukan, yaitu dalam hal benda yang akan diserahkan itu telah berada dalam tangan orang yang hendak menerimanya berdasarkan atas hak yang lain. Di situ terjadi berbarengan du saat. Menganai hal ini kita mengenai 2 macam figur penyerahan yang disebut :[25]
1.      Traditio Brevi Manu (penyerahan dengan tangan pendek)
Misalnya A meminjam buku B. B sebagai eigenaar buku itu kemudian membutuhkan uang lalu menjual buku ke A. Dengan demikian levering tidak diperlukan.
2.      Constitutum Pessessorium (penyerahan dengan melanjutkan penguasaan atas bendanya)
Misalnya A pemilik dari sebuah buku, karena membutuhkan uang, maka menjual bukunya kepada A. akan tetapi karena A masih membutuhkan untuk mempelajarinya, maka A kemudian meminjam buku tersebut dari B. A yang tadinya sebagai pemilik berubah menjadi peminjam.

Sedangkan penyerahan atas benda bergerak yang tak berwujud diantaranya adalah:[26]
1.      Piutang atas nama
Atas hal tersebut maka penyerahannya dilakukan dengan cessie, yaitu dengan cara membuat akta otentik atau akta di bawah tangan (Pasal 613 ayat (1) KUHPerdata)
2.      Piutang atas bawa
Atas hal tersebut, maka penyerahannya dilakukan dengan penyerahan nyata (Pasal 613 ayat (3) KUHPerdata.
3.      Penyerahan dari piutang atas pengganti
Atas hal tersebut, maka penyerahannya dilakukan dengan penyerahan surat disertai endosemen (Pasal 613 ayat (3) KUHPerdata)

Setelah membicarakan mengenai penyerahan terhadap benda bergerak, maka sekarang kita membicarakan penyerahan terhadap benda tak bergerak.
Penyerahan benda tak bergerak dilakukan dengan balik nama. Pemindahan hak milik atas benda yang tak bergerak ini tidak cukup dilaksanakan dengan pengoperan kekuasaan belaka, melainkan harus pula dibuat suatu surat penyerahan (akte van transport) yang harus dikutip dalam daftar eigendom. Sebaliknya terhadap benda yang bergerak, levering lazimnya berupa penyerahan dari tangan ke tangan.[27]

Untuk sahnya penyerahan itu, maka harus memenuhi syarat-syarat tertentu, yaitu :
1.      Harus ada perjanjian yang zakelijk
2.      Harus ada titel (alas hak)
3.      Harus dilakukan oleh orang yang berwenang menguasai benda-benda tadi (orang yang beschikkingsbevoegd)
4.      Harus ada penyerahan nyata.
Selain hak milik bisa didapatkan, maka hak milik pun juga bisa hapus/dihapuskan. Pada dasarnya, seseorang dapat kehilangan hak atas miliknya apabila :
1.      Seseorang memperoleh hak milik itu melalui salah satu cara untuk memperoleh hak milik.
2.      Binasanya benda itu.
3.      Pemilik hak milik (eigenaar) melepaskan benda itu.

Hak Servituut (erfdienstbaarheid)
Menurut Pasal 674 ayat (1) KUHPerdata Hak Servituut disebut juga dengan pengabdian pekarangan, yaitu suatu beban yang diberikan kepada pekarangan milik orang yang satu, untuk digunakan bagi dan demi kemanfaatan pekarangan milik orang lain.
Prof. Subekti mengatakan bahwa Hak Servituut adalah suatu beban yang diletakkan di atas suatu pekarangan untuk keperluan suatu pekarangan lain yang berbatasan. Misalnya pemilik dari pekarangan A harus mengizinkan orang-orang yang tinggal di pekarangan B setiap waktu melalui pekarangan A, atau air yang dibuang dari pekarangan B dialirkan melewati pekarangan A.[28]
Hak pekarangan (servituut) baru dianggap sah, apabila telah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:[29]
1.      Harus ada dua halaman, yang letaknya saling berdekatan, dibangun atau tidak dibangun dan yang dimiliki oleh berbagai pihak.
2.      Kemanfaatan dari hak pekarangan itu harus dapat dinikmati atau dapat berguna bagi berbagai pihak yang memiliki halaman tadi.
3.      Hak pekarangan harus bertujuan untuk meninggalkan kemanfaatan dari halaman penguasa.
4.      Beban yang diberatkan itu harus senantiasa bersifat menanggung sesuatu.
5.      Kewajiban-kewajiban yang timbul dalam hak pekarangan itu hanya dapat ada dalam hal membolehkan sesuatu atau tidak membolehkan sesuatu.
Hak Opstal
Pasal 711 KUHPerdata adalah suatu hak untuk memiliki bangunan-bangunan atau tanaman-tanaman di atas tanahnya orang lain. Hak opstal disebut juga hak numpang karang, yaitu adalah suatu hak kebendaan untuk mempunyai gedung-gedung, bangunan-bangunan dan penanaman diatas pekarangan orang lain. Sehingga dapat disimpulkan bahwa hak opstal adalah hak untuk memiliki bangunan-bangunan atau tanaman di atas tanah orang lain.[30]
Hak opstal dapat dipindahkan pada orang lain dan dapat juga dipakai sebagai jaminan utang (hipotik).[31] Hak postal diperoleh karena perbuatan perdata (Pasal 713 KUHPerdata).
Mengenai hapusnya hak opstal juga dapat terjadi. Hal ini sesuai yang diatur dalam Pasal 718-719 KUHPerdata, yaitu :
1.      Hak opstal jatuh ke dalam satu tangan
2.      Musnahnya pekarangan
3.      Selama 30 tahun tidak dipergunakan
4.      Waktu yang diperjanjikan telah lampau
5.      Diakhiri oleh pemilik tanah. Pengakhiran ini hanya dapat dilakukan setelah hak tersebut paling sedikit sudah dipergunakan selama 30 tahun, dan sebelumnya harus didahului pemberitahuan paling sedikit 1 tahun.
Hak Erfpacht
Pasal 720 KUHPerdata menyebutkan bahwa Hak Erfpacht adalah hak kebendaan untuk menarik penghasilan seluas-luasnya untuk waktu yang lama dari sebidang tanah milik orang lain dengan kewajiban membayar sejumlah uang atau penghasilan tiap-tiap tahun yang dinamakan “pacht
Hak erfpacht dapat juga diartikan sebagai hak kebendaan untuk menikmati sepenuhnya akan kegunaan suatu barang tak bergerak milik orang lain, dengan kewajiban akan membayar upeti tahunan kepada si pemilik sebagai pengakuan akan kepemilikannya, baik berupa uang, hasil atau pendapatan.[32]
Sehingga dapat disimpulkan bahwa hak erfpacht (hak guna usaha) adalah hak kebendaan untuk menikmati sepenuhnya untuk waktu yang lama dari sebidang tanah milik orang lain, dengan kewajiban membayar sejumlah uang atau penghasilan setiap tahun.[33]  Hak erfpacht ini dapat juga dijual atau dipakai sebagai jaminan (hipotik).

Hak Pakai Hasil (Vruchtgebruik)
Menurut Pasal 756 KUHPerdata, Hak Pakai Hasil adalah suatu hak kebendaan untuk menarik penghasilan dari suatu benda orang lain, seolah-olah benda itu kepunyaannya sendiri, dengan kewajiban menjaga supaya benda tersebut tetap dalam keadaannya semula.
Prof. Sri Soedewi memberikan definisi bahwa hak pakai hasil adalah suatu hak untuk memungut hasil dari barang orang lain seolah-olah seperti eigenaar dengan kewajiban untuk memelihara barang itu supaya tetap adanya.[34]
Hak pakai hasil juga dapat diartikan sebagai suatu hak kebendaan, dengan mana seorang diperbolehkan menarik segala hasil dari sesuatu kebendaan milik orang lain, seolah-olah dia sendiri pemiliknya, dengan kewajiban memeliharanya dengan sebaik-baiknya. Sehingga pengertian hak pakai hasil ini tidak hanya memberikan hak untuk menarik saja, melainkan juga hak untuk memakai benda itu.[35]
Jadi, menurut undang-undang, hak pakai hasil ini hanya dapat diberikan atas benda-benda yang tidak akan hilang atau menjadi berkurang karena pemakaian, yaitu benda-benda yang tak dapat diganti. Walaupun dalam praktek muncul suatu hak pakai hasil atas barang-barang yang dapat diganti, misalnya atas suatu modal. Hal terpenting dari hak ini adalah bahwa hak pakai hasil selalu diberikan kepada seseorang secara pribadi, sehingga kemudian berakhir apabila penerima hak meninggal dunia.[36]
Kewajiban-kewajiban dari orang yang mempunyai hak pakai hasil adalah sebagai berikut (Pasal 783-784 KUHPerdata :
1.      Membuat catatan/daftar pada waktu ia menerima haknya.
2.      Menanggung segala biaya pemeliharaan dan perbaikan yang biasa.
3.      Memelihara benda itu sebaik-baiknya dan menyerahkannya dalam keadaan yang baik apabila hak itu berakhir.
Hak pakai hasil ini biasanya dipergunakan untuk memberi penghasilan (tunjangan) pada seseorang selama hidupnya. Misalnya dalam suatu testamen seorang menentukan bahwa harta bendanya diwariskan kepada anak-anaknya, tetapi si isteri selama hidupnya, mendapat hak pakai hasil atas kekayaan itu. Hak ini begitu luasnya, sehingga sang pemilik hanya tinggal nama dan tidak ikut menikmati kenikmatan tersebut.[37]
Hak Gadai
Pasal 1150 KUHPerdata, yang dimaksud Hak Gadai adalah suatu hak kebendaan yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang berutang atau oleh seorang lain atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada orang-orang berpiutang lainnya.
Prof. Sri Soedewi memberikan definisi mengenai Hak Gadai adalah hak yang diperoleh kreditur atas suatu barang bergerak, yang diberikan kepadanya oleh debitur atau orang lain atas namanya untuk menjamin suatu utang, dan yang memberikan kewenangan kepada kreditur untuk mendapat pelunasan dari barang tersebut lebih dahulu dari kreditur-kreditur lainnya, terkecuali biaya-biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk memelihara benda itu.[38]
Prof. Subekti menyatakan bahwa Hak Gadai adalah suatu hak kebendaan atas suatu benda yang bergerak kepunyaan orang lain, yang semata-mata diperjanjikan dengan menyerahkan bezit atas benda tersebut, dengan tujuan untuk mengambil pelunasan suatu hutang dari pendapatan penjualan benda itu, lebih dahulu dari penagih-penagih lainnya.[39]
Hukum Romawi juga mengatur adanya hak semacam hak gadai yang dinamakan dengan fiducia. Fiducia berupa suatu pemindahan hak milik dengan perjanjian bahwa benda itu akan dikembalikan apabila si berhutang sudah membayar hutangnya. Selama hutang belum dibayar, orang yang menghutangkan menjadi pemilik benda yang menjadi tanggungan itu. Sebagai pemilik, dengan sendirinya ia berhak menyuruh memakai atau menyewakan benda itu pada si berhutang, sehingga si berhutang tetap menguasai bendanya.[40]
Sifat Hak Gadai
Hak Gadai ini bersifat accesoir, yaitu merupakan hak yang tergantung dari adanya suatu perjanjian pokok.[41] Dapat juga dikatakan sebagai merupakan tambahan saja dari perjanjian pokok yang berupa perjanjian pinjaman uang. Ini dimaksudkan untuk menjaga agar jangan sampai si berhutang itu lalai membayar kembali hutangnya.[42]
Sifat hak gadai juga tidak dapat dibagi-bagi. Artinya, sebagian hak gadai itu tidak menjadi hapus dengan dibayarnya sebagian dari hutang.[43] Gadai tetap melekat atas seluruh benda.
Syarat Timbulnya Hak Gadai
Hak Gadai lahir dengan penyerahan kekuasaan atas barang yang dijadikan tanggungan pada pemegang gadai. Hak atas barang gadai ini dapat pula ditaruh di bawah kekuasaan seorang pihak ketiga atas persetujuan atas persetujuan kedua belah pihak yang berkepentingan (Pasal 1152 ayat (1) KUHPerdata). Selanjutnya menurut ayat (2), gadai tidak sah jika bendanya dibiarkan tetap berada dalam kekuasaan si pemberi gadai (si berutang).[44]
Objek Hak Gadai
Objek Hak Gadai adalah semua benda bergerak, baik benda bergerak yang berwujud maupun benda bergerak yang tak berwujud.
Hak Pemegang Gadai:
1.      Pemegang Gadai berhak untuk menggadaikan lagi barang gadai itu, apabila hak itu sudah menjadi kebiasaan, seperti halnya dengan penggadaian surat-surat sero atau obligasi (Pasal 1155)
2.      Apabila pemberi gadai melakukan wanprestasi, maka pemegang gadai berhak untuk menjual barang yang digadaikan itu dan kemudian dapat mengambil pelunasan utang dari hasil penjualan barang itu. Penjualan barang itu bisa dilakukan sendiri ataupun dengan perantaraan Hakim (Pasal 1156 ayat (1))
3.      Pemegang gadai berhak untuk mendapatkan ganti biaya-biaya yang telah ia keluarkan untuk mnyelamatkan barang yang digadaikan itu. (Pasal 1157 ayat (2))
4.      Pemegang gadai berhak untuk menahan barang yang digadaikan sampai pada waktu utang dilunasi, baik yang mengenai jumlah pokok maupun bunga. (Pasal 1159 ayat (1))
Kewajiban Pemegang Gadai
1.      Pemegang gadai wajib memberitahukan pada orang yang berutang apabila ia hendak menjual barang gadainya (Pasal 1156 ayat (2))
2.      Pemegang gadai bertanggung jawab atas hilangnya atau merosotnya harga barang yang digadaikan, jika itu semua terjadi karena kelalaiannya (Pasal 1157 ayat (1))
3.      Pemegang gadai harus memberikan perhitungan tentang pendapatan penjualan itu dan setelah ia mengambil pelunasan hutangnya, maka ia harus menyerahkan kelebihannya pada si berutang (Pasal 1158)
4.      Pemegang gadai harus mengembalikan barang gadai, apabila utang pokok, bunga dan biaya untuk menyelamatkan barang gadai telah dibayar lunas. (Pasal 1159)
Hapusnya Gadai:[45]
1.      Seluruh utang sudah dibayar lunas
2.      Barang gadai hilang/musnah
3.      Barang gadai ke luar dari kekuasaan si penerima gadai
4.      Barang gadai dilepaskan secara sukarela
Hak Hipotik
Pasal 1162 KUHPerdata, hipotik adalah suatu hak kebendaan atas benda-benda tak bergerak, untuk mengambil penggantian daripadanya bagi pelunasan suatu perikatan. Prof. Subekti memberikan definisi bahwa hak hipotik adalah suatu hak kebendaan atas suatu benda tak bergerak, bertujuan untuk mengambil pelunasan suatu utang dari (pendapatan penjualan) benda itu.[46] Sedangkan menurut Prof. Sri Soedewi, hipotik adalah suatu hak kebendaan atas benda tak bergerak, untuk mengambil penggantian daripadanya bagi pelunasan suatu perutangan.[47]

Sifat Hipotik
Pada dasarnya sifat hipotik adalah sama dengan sifat hak gadai, yaitu accesoir. Dimana hak hipotik adalah mengikuti perjanjian pokoknya, yaitu pinjam meminjam uang.
Subjek dan Objek Hipotik
Suatu hipotik hanya dapat diberikan oleh pemilik benda itu (Pasal 1168). Sedangkan yang dapat dijadikan objek hipotik adalah benda tak bergerak.
Syarat Hipotik
Cara untuk mendapatkan hipotik harus memenuhi syarat-syarat tertentu, yaitu :
1.      Harus dengan akta notaries, kecuali dalam hal-hal yang dengan tegas ditunjuk undang-undang (Pasal 1171 KUHPerdata)
2.      Harus didaftarkan ke Kantor Balik Nama (Pasal 1179)
Asas-asas Hipotik
Prof. Sri Soedewi menyatakan bahwa ada dua asas dalam hipotik, yaitu:[48]
1.      Asas Publiciteit
Asas yang mengharuskan bahwa hipotik itu harus didaftarkan pada pegawai pembalikan nama, yaitu pada Kantor Kadaster. Yang didaftarkan adalah akta dari objek hipotik itu.
2.      Asas Specialiteit
Asas yang menghendaki, bahwa hipotik hanya dapat diadakan atas benda-benda yang ditunjukkan secara khusus untuk dipakai sebagai tanggungan.
Perbedaan antara gadai dan hipotik
Perbedaan antara gadai dan hipotik dapat dikemukakan sebagai berikut :[49]
1.      Gadai, benda jaminan adalah benda bergerak, sedangkan hipotik, benda jaminan adalah benda tak bergerak.
2.      Gadai harus disertai dengan penyerahan kekuasaan atas benda yang dijadikan gadai, sedangkan pada hipotik syarat yang demikian tidak ada.
3.      Perjanjian gadai dapat dibuat secara bebas dan tidak terikat pada bentuk tertentu, sedangkan pada perjanjian hipotik harus dibuat dengan akte otentik.
Hak Privilege
Hak Privilege adalah suatu hak yang oleh undang-undang diberikan kepada seorang berpiutang sehingga tingkatnya lebih tinggi daripada orang berpiutang lainnya, semata-mata berdasarkan sifatnya piutang. (Pasal 1134)
Menurut Prof. Subekti, hak privilege adalah suatu kedudukan istimewa dari seorang penagih yang diberikan oleh undang-undang melulu berdasarkan sifat piutang.[50] Sedangkan menurut Prof. Sri Soedewi, hak privilege adalah suatu hak yang diberikan oleh undang-undang kepada kreditur yang satu di atas kreditur lainnya semata-mata berdasarkan sifat dari piutangnya.[51]
Hak Reklame
Hak reklame adalah suatu hak yang diberikan kepada penjual untuk meminta kembali barangnya yang telah diterima oleh pembeli setelah pembeli membayar tunai. Jadi, jika penjualan itu telah dilakukan secara tunai, maka penjual mempunyai kekuasaan menuntut kembali barang-barangnya, selama barang-barang itu masih berada di tangan pembeli, asal saja penuntutan kembali dilakukan dalam jangka waktu 30 hari setelah penyerahan barang kepada pembeli.[52]
Menurut undang-undang, hak penjual ini gugur/tidak dapat dilaksanakan apabila :
1.      Barang-barang yang telah diterima pembeli, ternyata telah disewakan (Pasal 1146)
2.      Barang-barang tersebut oleh pembeli telah dibeli pihak ketiga dengan itikad baik dan telah diserahkan kepada pihak ketiga tersebut (Pasal 1146a)
Hak Retentie
Hak Retentie adalah hak untuk menahan suatu benda, sampai suatu piutang yang bertalian dengan benda itu dilunasi.[53] Menurut H.F.A Vollmar, hak menahan (retentie) adalah hak untuk tetap memegang benda milik orang lain sampai piutang si pemegang mengenai benda tersebut telah lunas.[54]
Hak retentie ini mempunyai sifat yang tak dapat dibagi-bagi. Artinya, pembayaran atas sebagian utang saja, tidak menjadikan hak retentie menjadi hapus. Hak retentie hapus jika seluruh utang telah dibayar lunas.[55]
Hak Kebendaan Menurut Undang-undang Pokok Agraria
Selain hak-hak kebendaan menurut KUHPerdata, juga ada hak-hak kebendaan menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Undang-undang Pokok Agraria. Hak-hak atas tanah tersebut adalah sebagai berikut :
1.      Hak Milik
Hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. (Pasal 20 ayat (1) UUPA)

2.      Hak Guna Usaha
Hak Guna usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara, dalam jangka waktu paling lama 25 tahun, guna perusahaan pertanian, perikanan, atau peternakan. (Pasal 28 ayat (1) UUPA)
3.      Hak Guna Bangunan
Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun (Pasal 35 ayat (1) UUPA)
4.      Hak Pakai
Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan undang-undang ini. (Pasal 41 ayat (1) UUPA)
5.      Hak Sewa untuk Bangunan
Hak Sewa untuk Bangunan adalah hak seseorang atau suatu badan hukum mempergunakan tanah milik orang lain untuk keperluan bangunan, dengan membayar kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai sewa. (Pasal 44 ayat (1) UUPA)
Hak Tanggungan
Hak Tanggungan adalah hak jaminan atas tanah yang dibebankan pada hak atas tanah, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur yang lain.[56]
Kehadiran UUHT ini adalah bertujuan untuk :[57]
1.      Menuntaskan unifikasi tanah nasional, dengan menyatakan tidak berlaku lagi ketentuan Hipotik dan Credietverband (Pasal 29 UUHT).
2.      Menyatakan berlakunya UUHT dan Hak Tanggungan dinyatakan sebagai satu-satunya jaminan atas tanah. Oleh karena itu, tidak berlaku lagi Fidusia sebagai hak jaminan atas tanah.
Objek Hak Tanggungan
Menurut Pasal 4 UUHT, objek hak tanggungan adalah sebagai berikut :
1.      Hak Milik (Pasal 25 UUPA), Hak Guna Usaha (Pasal 33 UUPA), dan Hak Guna Bangunan (Pasal 39 UUPA)
2.      Hak Pakai atas tanah negara, yang memenuhi syarat yaitu, yang bersertifikat dan dapat diperjualbelikan.
3.      Bangunan Rumah Susun dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yang berdiri di atas tanah Hak Milik, Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai yang diberikan oleh Negara (UU Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun)
Pemberi dan Pemegang Hak Tanggungan
Pemberi hak tanggungan adalah orang atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan yang bersangkutan (Pasal 8 ayat (1) UUHT).
Sedangkan pemegang hak tanggungan adalah orang atau badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang (kreditur). Sebagai pemegang hak tanggungan, dapat berstatus Warganegara Indonesia, Badan Hukum Indonesia, Warganegara Asing, atau Badan Hukum Asing, baik yang berkedudukan di Indonesia maupun di luar negeri, sepanjang kredit yang bersangkutan dipergunakan untuk kepentingan pembangunan di wilayah negara Republik Indonesia (Pasal 9 UUHT).
Fidusia
Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya diadakan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda itu (Pasal 1 ayat (1) UU Nomor 42 Tahun 1999). Yang dimaksud dengan jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak, khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani Hak Tanggungan sebagaimana yang dimaksud dalam UU Nomor 4 Tahun 1996.[58]
Fidusia hanya berlaku bagi benda bergerak. Pada prinsipnya, apabila suatu barang dijaminkan dengan fidusia berarti kepemilikan atas barang tersebut beralih kepada kreditor. Tetapi penguasaan barang itu tetap ada pada debitor.[59]
Sebelum berlakunya UU Nomor 42 Tahun 1999, maka yang menjadi objek jaminan fidusia adalah benda bergerak yang terdiri dari benda dalam persediaan, benda dagangan, piutang, peralatan mesin, dan kendaraan bermotor, tetapi dengan berlakunya UU Nomor 42 Tahun 1999, maka objek jaminan fidusia dibagi menjadi dua macam:[60]
1.      Benda bergerak, baik yang berwujud maupun tidak berwujud.
2.      Benda tidak bergerak, khususnya bangunan yang tidak dibebani Hak Tanggungan.
Yang dimaksud dengan bangunan dalam kaitannya dengan bangunan rumah susun, sedangkan yang dapat menjadi subjek dari jaminan fidusia adalah pemberi dan penerima fidusia. Pemberi fidusia adalh orang perorangan atai korporasi pemilik benda yang menjadi objek jaminan fidusia, sedangkan penerima fidusia adalah orang perorangan atau korporasi yang mempunyai piutang yang pembayarannya dijamin dengan jaminan fidusia.[61]




[1] P.N.H. Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum Perdata Indonesia, Jakarta, Djambatan, hlm. 203
[2] P.N.H. Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum Perdata Indonesia, Jakarta, Djambatan, hlm. 204
[3] Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata :Hukum Benda,  Yogyakarta, Liberty, hlm. 13
[4] Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Jakarta, Sinar Grafika, hlm. 91
[5] Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata :Hukum Benda,  Yogyakarta, Liberty, hlm. 3
[6] Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata :Hukum Benda,  Yogyakarta, Liberty, hlm. 3
[7] Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata :Hukum Benda,  Yogyakarta, Liberty, hlm. 6
[8] Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta, Intermasa, hlm. 61
[9] Subekti, Ibid, hlm. 61
[10] Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata :Hukum Benda,  Yogyakarta, Liberty, hlm. 22
[11] Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Jakarta, Pustaka Kartini, hlm. 133
[12] Riduan Syahrani, Ibid, Jakarta, Pustaka Kartini, hlm. 133
[13] Prof. Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta, Intermasa, hlm. 62
[14] Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata :Hukum Benda,  Yogyakarta, Liberty, hlm. 24

[15] Sri Soedewi MS, Hukum benda, Yogyakarta, Liberty, hlm. 28
[16] Sri Soedewi MS, Hukum benda, Yogyakarta, Liberty, hlm. 28
[17] Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta, Intermasa, hlm. 63
[18] P.N.H. Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum Perdata Indonesia, Jakarta, Djambatan, hlm 214
[19] P.N.H. Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum Perdata Indonesia, Jakarta, Djambatan, hlm 214
[20] P.N.H. Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum Perdata Indonesia, Jakarta, Djambatan, hlm 215
[21] Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta, Intermasa, hlm. 69
[22] Sri Soedewi MS, Hukum benda, Yogyakarta, Liberty, hlm. 27
[23] Sri Soedewi MS, Hukum benda, Yogyakarta, Liberty, hlm. 63

[24] Sri Soedewi MS, Hukum benda, Yogyakarta, Liberty, hlm. 68
[25] Sri Soedewi MS, Hukum benda, Yogyakarta, Liberty, hlm. 68
[26] P.N.H. Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum Perdata Indonesia, Jakarta, Djambatan, hlm 219
[27] Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta, Intermasa, hlm. 71
[28] Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta, Intermasa, hlm. 75
[29] C.S.T. Kansil, Modul Hukum Perdata, Jakarta: Pradnya Paramita, 1991, hlm. 169
[30] P.N.H. Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum Perdata Indonesia, Jakarta, Djambatan, hlm. 224
[31] Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta, Intermasa, hlm. 75
[32] P.N.H. Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum Perdata Indonesia, Jakarta, Djambatan, hlm. 224
[33] P.N.H. Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum Perdata Indonesia, Jakarta, Djambatan, hlm. 225

[34] Sri Soedewi MS, Hukum Benda, Yogyakarta, Liberty, hlm. 119
[35] P.N.H. Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum Perdata Indonesia, Jakarta, Djambatan, hlm. 226
[36] Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta, Intermasa, hlm. 77
[37] Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta, Intermasa, hlm. 77
[38] Sri Soedewi MS, Hukum Benda, Yogyakarta, Liberty, hlm. 97
[39] Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta, Intermasa, hlm. 79
[40] Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta, Intermasa, hlm. 78
[41] Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta, Intermasa, hlm. 79
[42] P.N.H. Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum Perdata Indonesia, Jakarta, Djambatan, hlm. 228
[43] P.N.H. Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum Perdata Indonesia, Jakarta, Djambatan, hlm. 228
[44] P.N.H. Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum Perdata Indonesia, Jakarta, Djambatan, hlm. 228
[45] P.N.H. Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum Perdata Indonesia, Jakarta, Djambatan, hlm. 230
[46] Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta, Intermasa, hlm. 230
[47] Sri Soedewi MS, Hukum Benda, Yogyakarta, Liberty, hlm. 103

[48] Sri Soedewi MS, Hukum Benda, Yogyakarta, Liberty, hlm. 104
[49] P.N.H. Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum Perdata Indonesia, Jakarta, Djambatan, hlm. 232

[50] Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta, Intermasa, hlm. 88
[51] Sri Soedewi MS, Hukum Benda, Yogyakarta, Liberty, hlm. 33
[52] P.N.H. Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum Perdata Indonesia, Jakarta, Djambatan, hlm. 235
[53] Sri Soedewi MS, Hukum Benda, Yogyakarta, Liberty, hlm. 35
[54] H.F.A. Vollmar, Pengantar Studi Hukum Perdata (terjemahan I.S. Adiwimarta), Jakarta, Rajawali, 1992, hlm. 367
[55] P.N.H. Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum Perdata Indonesia, Jakarta, Djambatan, hlm. 236
[56] Pasal 1 angka 1 UU Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan
[57] P.N.H. Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum Perdata Indonesia, Jakarta, Djambatan, hlm. 238

[58] Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis, Jakarta, Sinar Grafika, hlm. 127
[59] Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis, Jakarta, Sinar Grafika, hlm. 126
[60] Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis, Jakarta, Sinar Grafika, hlm. 128
[61] Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis, Jakarta, Sinar Grafika, hlm. 128

Tidak ada komentar:

Posting Komentar