Mempertimbangkan
Gagasan Amalinda Savirani
A.
Pendahuluan
Masyarakat dewasa ini dipengaruhi oleh
dua prinsip. Prinsip tersebut mengarahkan semua usaha dan pemikiran setiap
orang dalam rencana kerjanya. Prinsip yang pertama adalah bahwa “sesungguhnya
harus dikerjakan karena secara tehnis mungkin dikerjakan”. Jika membuat senjata
nuklir adalah mungkin, mereka harus menciptakannya. Jika rekayasa genetika
adalah mungkin, mereka harus mengerjakannya dan begitu seterusnya. Prinsip kedua
adalah meningkatkan efisiensi dan produksi (Erich Fromm, 1999).
Namun
ternyata prinsip hidup di atas dari masyarakat dewasa ini bisa menimbulkan
implikasi sosio-ekonomi-politik bagi kehidupan masyarakat itu sendiri. Dan
implikasi yang pada mulanya mengarah kepada individu akhirnya bisa berkembang
kepada spare lain seperti negara atau pemerintahan. Pada akhirnya negara
tidak lagi menjadi institusi yang kredibel untuk menyelesaikan setiap
permasalahan.
Tulisan
sederhana ini bertujuan untuk mereview pemikiran Amalinda Savirani mengenai
implikasi dari apa yang dia sebut Risk Society terhadap pemetaan dan
masa depan ilmu politik dan pemerintahan serta sedikit memberi ‘catatan’
terhadap pemikirannya.
B.
Pokok-Pokok
Pemikiran
Dalam sebuah tulisannya yang dimuat di
Jurnal Transformasi volume 1, Nomor 1, September 2003, Amalinda Savirani,
memaparkan pemikirannya mengenai Risk Society dan implikasinya terhadap
pemetaan dan masa depan ilmu politik dan ilmu pemerintahan. Menurutnya masyarakat
dunia saat ini sedang tertimpa apa yang dikenal dengan Risk Society yaitu
proses perkembangan masyarakat modern yang ditandai dengan meningkatnya resiko
kehidupan sosial, ekonomi dan politik (halm. 64). Hal ini terjadi menurutnya
karena tekhnologi yang selama ini menjadi alat kontrol manusia terhadap alam
dan masa depan justru menjadi sumber ketidakpastian hidup itu sendiri.
Sedangkan implikasi dari Risk
Society dalam ranah politik adalah melemahnya posisi negara karena
kemunculan fenomena sub politic, everyday politics, daily politics, life
politics atau disebut juga sebagai secondary reality of political
practices. Gagasan mengenai demokrasi perwakilan liberal menjadi tidak
relevan karena ternyata gagasan tersebut memunculkan dua persoalan utama yakni
tingkat akuntabilitas pemerintah yang terpilih sangat rendah, dan kedua, peran
publik dalam pengambilan keputusan juga sama rendahnya (halm. 69).
Sementara implikasi dari Risk
Society terhadap ilmu politik dan pemerintahan terdapat minimal dua hal, pertama
terjadi pergeseran kosa kata misalnya dari government ke governance.
Kemudian kedua, implikasi dari pergeseran kosa kata tersebut adalah
adanya pergeseran metodologi ilmu politik dan pemerintahan.
Di penghujung
tulisannya Savirani dengan optimis menawarkan gagasan reinvention of politic.
Menurutnya untuk menjawab fenomena daily politic ilmu politik dan
pemerintahan harus ditempatkan dalam dinamika yang terus bergerak sehingga
nantinya daily politic tidak akan menjadi ancaman tetapi justru akan
memperkaya kajian ilmu politik dan pemerintahan.
C.
Analisa
dan Kritik
Munculnya fenomena Risk Society sebenarnya merupakan imbas dari
hubungan antara negara dan masyarakat. Hubungan antara negara dan masyarakat
merupakan persoalan klasik, Thomas Hobbes pada abad ke-17 telah mempersoalkan
hakikat hubungan antara keduanya. Kemudian setelah itu muncul banyak pemikir
yang berbicara tentang hubungan keduanya seperti Karl Marx, Max Weber, Robert
Dahl, Paul Schmitter dsb. Namun biasanya para ahli ilmu politik menggolongkan
pandangan-pandangannya menjadi dua golongan, yaitu Pluralis dan Marxis.
Dalam pandangan kaum Pluralis, negara adalah arena tempat berbagai golongan
dalam masyarakat berlaga, masing-masing golongan (interest groups)
membawa kepentingan ke dalam negara, lalu satu per satu memajukan
kepentingannya kepada negara untuk disetujui. Jadi negara dalam hal ini berada
pada posisi netral dari berbagai kelompok kepentingan. Sementara menurut
pandangan Marxis, negara merupakan alat menjalankan kepentingan kaum borjuis
yang dalam rumusan terkenal dalam The Communist Manifesto, negara adalah
“komite eksekutif” kelas borjuis (I. Wibowo, 2000)
Untuk menjembatani dua kutub pemikiran tersebut, muncullah sintesa yang
ditawarkan oleh Anthony Giddens dengan teori strukturasinya (Anthony Giddens,
1984). Menurut Giddens, untuk memahami hubungan antara negara dan masyarakat
bisa dijelaskan dengan memahami kata kunci struktur dan agensi. Tetapi kata
struktur dan agensi di sini jangan dipandang sebagai dua hal, tetapi harus
dipandang sebagai dualitas, dalam arti keduanya saling mempengaruhi dan hal ini
berlangsung secara terus menerus, tanpa henti. Hubungan antara negara dan
masyarakat menurut Giddens bukanlah hubungan yang statis, selama-lamanya tak
berubah, antara yang menentukan dan yang ditentukan, atau antara yang kalah dan
yang menang. Yang penting menurut Giddens adalah adanya Dialectic of Control.
Dalam konteks negara yang menganut sistem demokrasi perwakilan liberal, Risk
Society menjadi alat kritik terhadap posisi netral negara sebagai tempat
terakumulasinya berbagai kepentingan warga negara. Fenomena Risk Society kemudian
melahirkan ‘politik pinggiran’ (meminjam istilah Savirani) yang ditandai dengan
Pertama, kemunculan aktor atau agen (pelaku politik) baru seperti
kelompok profesional, tenaga kerja terdidik, dsb. Kedua, aktor baru
tersebut kemudian ikut berkompetisi dengan pelaku politik resmi dengan cara
tidak resmi. Ketiga, isu yang dibawa bukan untuk meruntuhkan kekuasaan
otoritarian, melainkan lebih pada isu-isu sehari-hari yang dekat dengan
kerhidupan individu. Keempat, adakalanya fenomena daily politic berlangsung
dalam institutional void. Kelima, everyday politic membawa
pemahaman baru tentang masyarakat yaitu bahwa masyarakat merupakan entitas yang
terdiri dari struktur yang bersifat terbuka dan tidak stabil, yang selalu
mengembang, menyesuaikan diri, bergerak, menguap, yang menciptakan sendiri
kesempatan dan juga resiko baru, yang bersumber dari masalah tertentu dan bukan
masalah yang lain.
Untuk kasus
Indonesia, menurut penulis Risk Society justru tidak berdampak besar
terhadap posisi negara. Dengan kata lain, meskipun muncul fenomena Risk
Society namun posisi negara tetap eksis dan tidak melemah. Sebaliknya
masyarakat masih sangat berharap pemerintah bisa turun tangan mengatasi
persoalan sosial ekonomi yang dihadapi masyarakat. Lebih jauh penulis berasumsi
bahwa fenomena Risk Society adalah designed issue oleh kaum
kapitalis yang menginginkan posisi negara melemah, sehingga non-pemerintah
(khususnya mereka, para pemilik modal) memiliki kewenangan dan akses yang sama
dengan pemerintah untuk ambil bagian dalam setiap kebijakan dan pembagian
keuntungan. Yang lebih parah kalau pemerintah sendiri malah ‘bersekongkol’ dengan
kaum kapitalis untuk sharing power dan natural resources. Kita
harus berhati-hati dan kritis terhadap segala fenomena politik, kita harus bisa
menganalisa secara tajam what is behind the agenda. Dalam kamus politik
tidak ada sesuatu yang gratis sebagaimana kata Harold Laswell politik sangat
berkaitan erat dengan pendistribusian dan kekuasaan, politic is who gets
what, when and where.
Perubahan kosa kata government ke governance kalau kemudian
hanya merupakan paketan lembaga-lembaga funding kapitalis, secara
politis-akademis harus kita kritisi dan kalau perlu mengambil sikap yang tegas.
Apalagi institusi pendidikan, ia harus independen, kritis dan jangan sampai mau menjadi agen kapitalis.
Jadi gagasan reinvention
of politic harus dilakukan secara hati-hati apalagi dalam konteks
Indonesia, jangan seperti yang diduga oleh Savirani sendiri yang dianggapnya city-based.
Tetapi bahwa perlu ada refresh dalam dunia politik pemerintahan baik
akademik maupun praktis, penulis sangat setuju dan mendukung. Pemerintah
(negara) harus bisa meningkatkan akuntabilitas publiknya dan pada saat
bersamaan peran masyarakat dalam setiap proses pengambilan keputusan harus juga
ditingkatkan.
Deskripsi
persoalan, kritik dan kemudian tawaran yang diajukan oleh Savirani secara
akademik memang sudah cukup baik tapi dia belum bisa menjelaskan secara
komprehensif relevansi gagasan-gagasannya dalam konteks Indonesia, pandangannya
masih sangat umum, padahal konteks negara dan bentuk pemerintahan yang berbeda
jelas akan sangat mempengaruhi gagasan dan kerangka teoritik yang digunakan.
D.
Penutup
Munculnya
fenomena Risk Society dalam masyarakat modern sebagai akibat dari
melemahnya kontrol manusia terhadap dampak tekhnologi telah secara mendasar
mempengaruhi topografi dan konjungtur ilmu politik dan pemerintahan, mau tidak
mau kalau tidak ingin ketinggalan zaman dan tenggelam bersama sejarahnya
disiplin ilmu tersebut harus mampu beradaptasi dan melakukan revitalisasi dalam
dirinya.
Gagasan
Amalinda Savirani mengenai reinvention of politic bisa jadi merupakan
salah satu alternasi bagi ilmu politik dan pemerintahan dalam mempertahankan eksistensi dirinya serta tetap
bisa memberikan sumbangsihnya bagi kehidupan dan peradaban manusia. semoga. (saif_struggler@yahoo.co.id
,Yogyakarta, 3 Oktober 2005)
DAFTAR PUSTAKA
Fromm,
Erich, Revolusi harapan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.
Giddens,
Anthony, The Constitution of Society, Cambridge: Polity Press, 1984
I. Wibowo,
Negara dan Masyarakat, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000
Savirani, Amalinda, Ilmu
Pemerintahan Masa Depan: mengadvokasi Politik Pinggiran, Yogyakarta: Jurnal
Transformasi, Volume 1, Nomor 1.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar