Kamis, 15 Januari 2015

CRITICAL BOOK REVIEW

Mempertimbangkan Gagasan Amalinda Savirani


A.   Pendahuluan

Masyarakat dewasa ini dipengaruhi oleh dua prinsip. Prinsip tersebut mengarahkan semua usaha dan pemikiran setiap orang dalam rencana kerjanya. Prinsip yang pertama adalah bahwa “sesungguhnya harus dikerjakan karena secara tehnis mungkin dikerjakan”. Jika membuat senjata nuklir adalah mungkin, mereka harus menciptakannya. Jika rekayasa genetika adalah mungkin, mereka harus mengerjakannya dan begitu seterusnya. Prinsip kedua adalah meningkatkan efisiensi dan produksi (Erich Fromm, 1999).
Namun ternyata prinsip hidup di atas dari masyarakat dewasa ini bisa menimbulkan implikasi sosio-ekonomi-politik bagi kehidupan masyarakat itu sendiri. Dan implikasi yang pada mulanya mengarah kepada individu akhirnya bisa berkembang kepada spare lain seperti negara atau pemerintahan. Pada akhirnya negara tidak lagi menjadi institusi yang kredibel untuk menyelesaikan setiap permasalahan.
Tulisan sederhana ini bertujuan untuk mereview pemikiran Amalinda Savirani mengenai implikasi dari apa yang dia sebut Risk Society terhadap pemetaan dan masa depan ilmu politik dan pemerintahan serta sedikit memberi ‘catatan’ terhadap pemikirannya.

B.   Pokok-Pokok Pemikiran

Dalam sebuah tulisannya yang dimuat di Jurnal Transformasi volume 1, Nomor 1, September 2003, Amalinda Savirani, memaparkan pemikirannya mengenai Risk Society dan implikasinya terhadap pemetaan dan masa depan ilmu politik dan ilmu pemerintahan. Menurutnya masyarakat dunia saat ini sedang tertimpa apa yang dikenal dengan Risk Society yaitu proses perkembangan masyarakat modern yang ditandai dengan meningkatnya resiko kehidupan sosial, ekonomi dan politik (halm. 64). Hal ini terjadi menurutnya karena tekhnologi yang selama ini menjadi alat kontrol manusia terhadap alam dan masa depan justru menjadi sumber ketidakpastian hidup itu sendiri.
Sedangkan implikasi dari Risk Society dalam ranah politik adalah melemahnya posisi negara karena kemunculan fenomena sub politic, everyday politics, daily politics, life politics atau disebut juga sebagai secondary reality of political practices. Gagasan mengenai demokrasi perwakilan liberal menjadi tidak relevan karena ternyata gagasan tersebut memunculkan dua persoalan utama yakni tingkat akuntabilitas pemerintah yang terpilih sangat rendah, dan kedua, peran publik dalam pengambilan keputusan juga sama rendahnya (halm. 69).
Sementara implikasi dari Risk Society terhadap ilmu politik dan pemerintahan terdapat minimal dua hal, pertama terjadi pergeseran kosa kata misalnya dari government ke governance. Kemudian kedua, implikasi dari pergeseran kosa kata tersebut adalah adanya pergeseran metodologi ilmu politik dan pemerintahan.
Di penghujung tulisannya Savirani dengan optimis menawarkan gagasan reinvention of politic. Menurutnya untuk menjawab fenomena daily politic ilmu politik dan pemerintahan harus ditempatkan dalam dinamika yang terus bergerak sehingga nantinya daily politic tidak akan menjadi ancaman tetapi justru akan memperkaya kajian ilmu politik dan pemerintahan.

C.   Analisa dan Kritik

Munculnya fenomena Risk Society sebenarnya merupakan imbas dari hubungan antara negara dan masyarakat. Hubungan antara negara dan masyarakat merupakan persoalan klasik, Thomas Hobbes pada abad ke-17 telah mempersoalkan hakikat hubungan antara keduanya. Kemudian setelah itu muncul banyak pemikir yang berbicara tentang hubungan keduanya seperti Karl Marx, Max Weber, Robert Dahl, Paul Schmitter dsb. Namun biasanya para ahli ilmu politik menggolongkan pandangan-pandangannya menjadi dua golongan, yaitu Pluralis dan Marxis.
Dalam pandangan kaum Pluralis, negara adalah arena tempat berbagai golongan dalam masyarakat berlaga, masing-masing golongan (interest groups) membawa kepentingan ke dalam negara, lalu satu per satu memajukan kepentingannya kepada negara untuk disetujui. Jadi negara dalam hal ini berada pada posisi netral dari berbagai kelompok kepentingan. Sementara menurut pandangan Marxis, negara merupakan alat menjalankan kepentingan kaum borjuis yang dalam rumusan terkenal dalam The Communist Manifesto, negara adalah “komite eksekutif” kelas borjuis (I. Wibowo, 2000)
Untuk menjembatani dua kutub pemikiran tersebut, muncullah sintesa yang ditawarkan oleh Anthony Giddens dengan teori strukturasinya (Anthony Giddens, 1984). Menurut Giddens, untuk memahami hubungan antara negara dan masyarakat bisa dijelaskan dengan memahami kata kunci struktur dan agensi. Tetapi kata struktur dan agensi di sini jangan dipandang sebagai dua hal, tetapi harus dipandang sebagai dualitas, dalam arti keduanya saling mempengaruhi dan hal ini berlangsung secara terus menerus, tanpa henti. Hubungan antara negara dan masyarakat menurut Giddens bukanlah hubungan yang statis, selama-lamanya tak berubah, antara yang menentukan dan yang ditentukan, atau antara yang kalah dan yang menang. Yang penting menurut Giddens adalah adanya Dialectic of Control.
Dalam konteks negara yang menganut sistem demokrasi perwakilan liberal, Risk Society menjadi alat kritik terhadap posisi netral negara sebagai tempat terakumulasinya berbagai kepentingan warga negara. Fenomena Risk Society kemudian melahirkan ‘politik pinggiran’ (meminjam istilah Savirani) yang ditandai dengan Pertama, kemunculan aktor atau agen (pelaku politik) baru seperti kelompok profesional, tenaga kerja terdidik, dsb. Kedua, aktor baru tersebut kemudian ikut berkompetisi dengan pelaku politik resmi dengan cara tidak resmi. Ketiga, isu yang dibawa bukan untuk meruntuhkan kekuasaan otoritarian, melainkan lebih pada isu-isu sehari-hari yang dekat dengan kerhidupan individu. Keempat, adakalanya fenomena daily politic berlangsung dalam institutional void. Kelima, everyday politic membawa pemahaman baru tentang masyarakat yaitu bahwa masyarakat merupakan entitas yang terdiri dari struktur yang bersifat terbuka dan tidak stabil, yang selalu mengembang, menyesuaikan diri, bergerak, menguap, yang menciptakan sendiri kesempatan dan juga resiko baru, yang bersumber dari masalah tertentu dan bukan masalah yang lain.
Untuk kasus Indonesia, menurut penulis Risk Society justru tidak berdampak besar terhadap posisi negara. Dengan kata lain, meskipun muncul fenomena Risk Society namun posisi negara tetap eksis dan tidak melemah. Sebaliknya masyarakat masih sangat berharap pemerintah bisa turun tangan mengatasi persoalan sosial ekonomi yang dihadapi masyarakat. Lebih jauh penulis berasumsi bahwa fenomena Risk Society adalah designed issue oleh kaum kapitalis yang menginginkan posisi negara melemah, sehingga non-pemerintah (khususnya mereka, para pemilik modal) memiliki kewenangan dan akses yang sama dengan pemerintah untuk ambil bagian dalam setiap kebijakan dan pembagian keuntungan. Yang lebih parah kalau pemerintah sendiri malah ‘bersekongkol’ dengan kaum kapitalis untuk sharing power dan natural resources. Kita harus berhati-hati dan kritis terhadap segala fenomena politik, kita harus bisa menganalisa secara tajam what is behind the agenda. Dalam kamus politik tidak ada sesuatu yang gratis sebagaimana kata Harold Laswell politik sangat berkaitan erat dengan pendistribusian dan kekuasaan, politic is who gets what, when and where.
Perubahan kosa kata government ke governance kalau kemudian hanya merupakan paketan lembaga-lembaga funding kapitalis, secara politis-akademis harus kita kritisi dan kalau perlu mengambil sikap yang tegas. Apalagi institusi pendidikan, ia harus independen, kritis dan  jangan sampai mau menjadi agen kapitalis.
Jadi gagasan reinvention of politic harus dilakukan secara hati-hati apalagi dalam konteks Indonesia, jangan seperti yang diduga oleh Savirani sendiri yang dianggapnya city-based. Tetapi bahwa perlu ada refresh dalam dunia politik pemerintahan baik akademik maupun praktis, penulis sangat setuju dan mendukung. Pemerintah (negara) harus bisa meningkatkan akuntabilitas publiknya dan pada saat bersamaan peran masyarakat dalam setiap proses pengambilan keputusan harus juga ditingkatkan.
Deskripsi persoalan, kritik dan kemudian tawaran yang diajukan oleh Savirani secara akademik memang sudah cukup baik tapi dia belum bisa menjelaskan secara komprehensif relevansi gagasan-gagasannya dalam konteks Indonesia, pandangannya masih sangat umum, padahal konteks negara dan bentuk pemerintahan yang berbeda jelas akan sangat mempengaruhi gagasan dan kerangka teoritik yang digunakan.

D.   Penutup

Munculnya fenomena Risk Society dalam masyarakat modern sebagai akibat dari melemahnya kontrol manusia terhadap dampak tekhnologi telah secara mendasar mempengaruhi topografi dan konjungtur ilmu politik dan pemerintahan, mau tidak mau kalau tidak ingin ketinggalan zaman dan tenggelam bersama sejarahnya disiplin ilmu tersebut harus mampu beradaptasi dan melakukan revitalisasi dalam dirinya.
Gagasan Amalinda Savirani mengenai reinvention of politic bisa jadi merupakan salah satu alternasi bagi ilmu politik dan pemerintahan dalam  mempertahankan eksistensi dirinya serta tetap bisa memberikan sumbangsihnya bagi kehidupan dan peradaban manusia. semoga. (saif_struggler@yahoo.co.id ,Yogyakarta, 3 Oktober 2005)


DAFTAR PUSTAKA



Fromm, Erich, Revolusi harapan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.

Giddens, Anthony, The Constitution of Society, Cambridge: Polity Press, 1984

I. Wibowo, Negara dan Masyarakat, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000


Savirani, Amalinda, Ilmu Pemerintahan Masa Depan: mengadvokasi Politik Pinggiran, Yogyakarta: Jurnal Transformasi, Volume 1, Nomor 1. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar