HAKIM DALAM MENGAMBIL KEPUTUSAN
PEMBAHASAN
A.
Teks
Hadits dan Terjemahannya
اخرجه
البخاري ومسلم عن عمرو بن العاص انه سمع رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : إذا
حكم الحاكم فاجتهد ثم اصاب فله اجران, وإذا حكم فاجتهد ثم أخطأ فله اجر.
Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim
dari ‘Amr bin al-‘Ash bahwasanya ia mendengar Rasul saw. bersabda :”Apabila
seorang hakim memutuskan suatu perkara dengan ijtihadnya kemudian ijtihadnya
itu benar maka baginya dua pahala, dan apabila ia memutuskan suatu perkara
dengan ijtihadnya kemudian ijtihadnya keliru, maka ia mendapatkan satu pahala”[[1]]
B.
Keyword/Kata
Kunci Hadits
·
Ijtihad : sebuah usaha yang
sungguh-sungguh, yang sebenarnya bisa dilaksanakan oleh siapa saja yang sudah
berusaha mencari ilmu untuk memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas dalam Al
Quran maupun hadis dengan syarat menggunakan akal sehat dan pertimbangan
matang.[[2]]
C. Kontek Munculnya Hadits
Diriwayatkan oleh Ahmad
dari Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash ia berkata : ”Telah datang kepada Rasul saw.
dua orang yang bertikai”.
Lalu Rasul saw. berkata
kepada ‘Amr : ”Putuskan di antara keduanya, wahai ‘Amr!”.
‘Amr berkata : ”Engkau
lebih utama melakukan itu daripada aku, wahai Rasulullah!”.
Rasul saw. bersabda :
”Sekalipun begitu tidaklah mengapa”.
‘Amr berkata : ”Apabila
aku memutuskan di antara keduanya, maka aku akan mendapatkan apa?”.
Rasul saw. bersabda :
”Jika engkau memutuskan di antara keduanya, dan keputusanmu itu benar maka
engkau akan mendapatkan dua kebaikan, dan apabila engkau berijtihad dan
ternyata ijtihadmu itu salah, maka bagimu satu kebaikan”.[[3]]
D. Korelasi Dengan Hadits Lain
Larangan Memutuskan Perkara Dalam Keadaan Marah
وَعَنْ ابي بَكْرَة
رَضِيَ الله عَنْهُ قالَ :" سَمِعْتُ رَسُوْلُ الله صَلى الله عَليْهِ
وَالسّلمَ يَقولُ : لايَحْكُمُ اَحَدٌ بَيْنَ اثنَيْنِ وَهُوَغَضْبَانٌ"(متفق
عليه)
“Dari Abu bakrah Mengabarkan : “saya mendengar Nabi Muhammad SAW
bersabda :”Seorang Hakim tidak boleh memutuskan persengketaan diantara dua
orang dalam keadaan marah”. ( Riwayat: Bukhari-Muslim).[4]
E.
Penjelasan
Isi Hadits
Dalam hadits di atas dijelaskan
bahwa apabila seorang hakim memutuskan suatu perkara dengan ijtihadnya kemudian
ijtihadnya itu benar maka baginya dua pahala, dan apabila ia memutuskan suatu
perkara dengan ijtihadnya kemudian ijtihadnya keliru, maka ia mendapatkan satu
pahala. Maka dalam memutuskan perkara dengan ijtihad, seorang hakim tidak
pernah disalahkan, karena benar ataupun salah dia dalam mengambil keputusan
tetap mendapatkan imbalan (pahala).
Namun dalam mengambil keputusan
tersebut hakim tidak boleh seenaknya dalam mengambil keputusan, karena
keputusan hakim dipertanggung jawabkan keputusanya di akhirat, karena hakim
dianggap sebagai orang sang adil dalam mengambil keputusan.
Namun hakim juga manusia yang
merupakan makhluk ciptaan Allah SWT, yang dalam artian tidak mungkin luput dari
kesalahan. Karena itu hakim dalam berijtihad dalam mengambil keputusan
itu benar maka akan mendapatkan dua kebaikan, dan apabila berijtihad dan
ternyata ijtihadnya itu salah, maka satu kebaikan.
F. Pemaknaan Kontektual
Dalam
Kotektual Pengembangan pemikiran penggunaan ijtihad pada akhir-akhir ini banyak
dilakukan orang. Maksudnya menggunakan istilah ijtihad bukan sebagaimana
pengertian ijtihad yang dikemukakan oleh ahli ushul fiqih yakni terbatas pada
permasalahan hukum saja. Penggunaan istilah ijtihad berkembang dalam arti yang
lebih luas berbeda dengan yang tersurat dalam hadits yang terfokus pada masalah
hukum saja.[5]
Namun
pengembangan pemikiran terhadap arti ijtihad ini boleh saja bahkan perlu
diteruskan dalam penafsiran al-Qur’an maupun al-Hadits yang belum dituntaskan
oleh para ulama pada masa lampau. Persoalan yang perlu dicermati dalam
mengartikan ijtihad dalam arti yang lebih luas ialah metodologinya. Apakah
disamakan dengan metode penetapan hukum dalam arti sempit ataukah perlu
qaidah-qaidah baru.
Bagi
orang yang menggunakan istilah ijtihad dalam arti yang lebih luas itu
sebenarnya tidaklah menyimpang dari segi bahasa. Karena kata ijtihad dari segi
bahasa adalah usaha yang sungguh-sungguh untuk mendapatkan sesuatu (makna).
Dalam
memutuskan perkara, seorang hakim harus menggunakan akal sehat dan pertimbangan
yang matang, bukan hanya memutuskan perkara dengan seenaknya saja atau tanpa
berfikir panjang, apalagi memutuskan perkara tersebut dengan emosi atau dalam
keadaan marah. Karena apabila dalam keadaan marah ditakutkan keputusan yang
diambil oleh hakim akan tidak adil keputusannya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pertimbangan
atau yang sering disebut juga considerans merupakan dasar putusan. Apa yang
dimuat dalam bagian pertimbangan dari putusan tidak lain adalah alasan-alasan
hakim sebagai pertanggungjawaban kepada masyarakat mengapa ia sampai mengambil
keputusan demikian, sehingga oleh karenanya mempunyai nilai obyektif.
Maka
dalam mengambil keputusan haruslah didasarkan pada akal sehat dan pertimbangan
yang matang, tanpa didasarkan emosi atau perasaan apapun. Namun nyatanya itu
sangatlah sulit, bagai mana tidak? Jika semisal ada anggota keluarga kita yamg
terjerat masalah dan kita yang menjadi hakim akan sangat sulit memutuskan
menggunakan akal sehat dan pertimbangan yang matang.
Namun
itu semua adalah resiko menjadi hakim dalam memutuskan perkara, karena
hakim pada dasarnya adalah seseorang
yang adil dalam mengambil keputusan.
B.
Saran
Demikianlah dalam hal ini penulis akhiri makalah ini
tak lupa mohon maaf kepada semua pihak, kritik dan saran, Penulis harapkan.
Demi perbaikan penulisan makalah ini selanjutnya.
[1] http://www.artikel-islam.com/ibnumajah/hukum-hukum/hakim-melakukan-ijtihad-lalu-menemukan-kebenaran/
[2] http://id.wikipedia.org/wiki/Ijtihad
[3] http://www.artikel-islam.com/ibnumajah/hukum-hukum/hakim-melakukan-ijtihad-lalu-menemukan-kebenaran/
[4] http://raiscrazy.blogspot.com/2012/06/larangan-memutuskan-perkara-dalam.html
[5]
Suara MuhammadiyahEdisi 16 2002
Tidak ada komentar:
Posting Komentar