Senin, 12 Januari 2015

MAKALAH HADITS HUKUM

HAKIM DALAM MENGAMBIL KEPUTUSAN

PEMBAHASAN
A.    Teks Hadits dan Terjemahannya
اخرجه البخاري ومسلم عن عمرو بن العاص انه سمع رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : إذا حكم الحاكم فاجتهد ثم اصاب فله اجران, وإذا حكم فاجتهد ثم أخطأ فله اجر.
                                                                                  
Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari ‘Amr bin al-‘Ash bahwasanya ia mendengar Rasul saw. bersabda :”Apabila seorang hakim memutuskan suatu perkara dengan ijtihadnya kemudian ijtihadnya itu benar maka baginya dua pahala, dan apabila ia memutuskan suatu perkara dengan ijtihadnya kemudian ijtihadnya keliru, maka ia mendapatkan satu pahala”[[1]]

B.     Keyword/Kata Kunci Hadits
·         Ijtihad : sebuah usaha yang sungguh-sungguh, yang sebenarnya bisa dilaksanakan oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas dalam Al Quran maupun hadis dengan syarat menggunakan akal sehat dan pertimbangan matang.[[2]]


C.    Kontek Munculnya Hadits
Diriwayatkan oleh Ahmad dari Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash ia berkata : ”Telah datang kepada Rasul saw. dua orang yang bertikai”.
Lalu Rasul saw. berkata kepada ‘Amr : ”Putuskan di antara keduanya, wahai ‘Amr!”.
‘Amr berkata : ”Engkau lebih utama melakukan itu daripada aku, wahai Rasulullah!”.
Rasul saw. bersabda : ”Sekalipun begitu tidaklah mengapa”.
‘Amr berkata : ”Apabila aku memutuskan di antara keduanya, maka aku akan mendapatkan apa?”.
Rasul saw. bersabda : ”Jika engkau memutuskan di antara keduanya, dan keputusanmu itu benar maka engkau akan mendapatkan dua kebaikan, dan apabila engkau berijtihad dan ternyata ijtihadmu itu salah, maka bagimu satu kebaikan”.[[3]]

D.    Korelasi Dengan Hadits Lain
Larangan Memutuskan Perkara Dalam Keadaan Marah
وَعَنْ ابي بَكْرَة رَضِيَ الله عَنْهُ قالَ :" سَمِعْتُ رَسُوْلُ الله صَلى الله عَليْهِ وَالسّلمَ يَقولُ : لايَحْكُمُ اَحَدٌ بَيْنَ اثنَيْنِ وَهُوَغَضْبَانٌ"(متفق عليه)

“Dari Abu bakrah Mengabarkan : “saya mendengar Nabi Muhammad SAW bersabda :”Seorang Hakim tidak boleh memutuskan persengketaan diantara dua orang dalam keadaan marah”. ( Riwayat: Bukhari-Muslim).[4]

E.     Penjelasan Isi Hadits
Dalam hadits di atas dijelaskan bahwa apabila seorang hakim memutuskan suatu perkara dengan ijtihadnya kemudian ijtihadnya itu benar maka baginya dua pahala, dan apabila ia memutuskan suatu perkara dengan ijtihadnya kemudian ijtihadnya keliru, maka ia mendapatkan satu pahala. Maka dalam memutuskan perkara dengan ijtihad, seorang hakim tidak pernah disalahkan, karena benar ataupun salah dia dalam mengambil keputusan tetap mendapatkan imbalan (pahala).
Namun dalam mengambil keputusan tersebut hakim tidak boleh seenaknya dalam mengambil keputusan, karena keputusan hakim dipertanggung jawabkan keputusanya di akhirat, karena hakim dianggap sebagai orang sang adil dalam mengambil keputusan.
Namun hakim juga manusia yang merupakan makhluk ciptaan Allah SWT, yang dalam artian tidak mungkin luput dari kesalahan. Karena itu hakim dalam berijtihad dalam mengambil keputusan itu benar maka akan mendapatkan dua kebaikan, dan apabila berijtihad dan ternyata ijtihadnya itu salah, maka satu kebaikan.

F.     Pemaknaan Kontektual
Dalam Kotektual Pengembangan pemikiran penggunaan ijtihad pada akhir-akhir ini banyak dilakukan orang. Maksudnya menggunakan istilah ijtihad bukan sebagaimana pengertian ijtihad yang dikemukakan oleh ahli ushul fiqih yakni terbatas pada permasalahan hukum saja. Penggunaan istilah ijtihad berkembang dalam arti yang lebih luas berbeda dengan yang tersurat dalam hadits yang terfokus pada masalah hukum saja.[5]
Namun pengembangan pemikiran terhadap arti ijtihad ini boleh saja bahkan perlu diteruskan dalam penafsiran al-Qur’an maupun al-Hadits yang belum dituntaskan oleh para ulama pada masa lampau. Persoalan yang perlu dicermati dalam mengartikan ijtihad dalam arti yang lebih luas ialah metodologinya. Apakah disamakan dengan metode penetapan hukum dalam arti sempit ataukah perlu qaidah-qaidah baru.
Bagi orang yang menggunakan istilah ijtihad dalam arti yang lebih luas itu sebenarnya tidaklah menyimpang dari segi bahasa. Karena kata ijtihad dari segi bahasa adalah usaha yang sungguh-sungguh untuk mendapatkan sesuatu (makna).
Dalam memutuskan perkara, seorang hakim harus menggunakan akal sehat dan pertimbangan yang matang, bukan hanya memutuskan perkara dengan seenaknya saja atau tanpa berfikir panjang, apalagi memutuskan perkara tersebut dengan emosi atau dalam keadaan marah. Karena apabila dalam keadaan marah ditakutkan keputusan yang diambil oleh hakim akan tidak adil keputusannya.

BAB III
PENUTUP
A.   Kesimpulan
Pertimbangan atau yang sering disebut juga considerans merupakan dasar putusan. Apa yang dimuat dalam bagian pertimbangan dari putusan tidak lain adalah alasan-alasan hakim sebagai pertanggungjawaban kepada masyarakat mengapa ia sampai mengambil keputusan demikian, sehingga oleh karenanya mempunyai nilai obyektif.
Maka dalam mengambil keputusan haruslah didasarkan pada akal sehat dan pertimbangan yang matang, tanpa didasarkan emosi atau perasaan apapun. Namun nyatanya itu sangatlah sulit, bagai mana tidak? Jika semisal ada anggota keluarga kita yamg terjerat masalah dan kita yang menjadi hakim akan sangat sulit memutuskan menggunakan akal sehat dan pertimbangan yang matang.
Namun itu semua adalah resiko menjadi hakim dalam memutuskan perkara, karena hakim  pada dasarnya adalah seseorang yang adil dalam mengambil keputusan.

B.   Saran
Demikianlah dalam hal ini penulis akhiri makalah ini tak lupa mohon maaf kepada semua pihak, kritik dan saran, Penulis harapkan. Demi perbaikan penulisan makalah ini selanjutnya.



[1] http://www.artikel-islam.com/ibnumajah/hukum-hukum/hakim-melakukan-ijtihad-lalu-menemukan-kebenaran/
[2] http://id.wikipedia.org/wiki/Ijtihad
[3] http://www.artikel-islam.com/ibnumajah/hukum-hukum/hakim-melakukan-ijtihad-lalu-menemukan-kebenaran/
[4] http://raiscrazy.blogspot.com/2012/06/larangan-memutuskan-perkara-dalam.html
[5] Suara MuhammadiyahEdisi 16 2002

Tidak ada komentar:

Posting Komentar